Search

Salam Rasulullah kepada Kalangan yang Peduli

Jagat maya sedikit berguncang dengan kabar bahwa ada seseorang yang menendang sesajen di kawasan Semeru. Dirinya berujar bahwa erupsi yang menimpa kawasan setempat disebabkan ulah warga yang membuat sesajen. Karena itu, dengan tanpa beban dan seolah sebagai bentuk pengejawantahan atas perintah agama, ditendanglah sesajen tersebut. Menurutnya kala itu, banyak perilaku masyarakat Lumajang yang salah, dan itu harus diluruskan. Tradisi menyediakan sesajen merupakan tindakan yang tidak dibenarkan agama Islam.

Perilaku pria yang kemudian diketahui bernama Hadfana Firdaus saat menendang dan melempar sesajen di lokasi erupsi Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang itu viral di berbagai media sosial (medsos). Aksinya terekam dalam video yang kemudian beredar luas. Kala itu, Hadfana tampak menyingkirkan sejumlah sesajen sambil memekikkan takbir. Setelah dilaporkan oleh Pimpinan Cabang (PC) Ansor Lumajang ke Polres Lumajang, akhirnya Hadfana ditangkap polisi di Bantul, Yogyakarta, pertengahan bulan Januari.

Mengomentari hal itu, cendekiawan muslim Indonesia Profesor HM Quraish Shihab mengajak umat Islam agar tetap menghormati kepercayaan orang lain. “Menghormati itu bukan berarti setuju. Itu (sudah) adatnya (orang yang berbeda keyakinan), itu kebiasaannya, itu kepercayaannya. Kenapa diganggu,” ujar Prof Quraish dalam bincang santai dengan putrinya, Najwa Shihab, di Channel YouTube Najwa Shihab. Lebih lanjut, alumnus Pesantren Darul Hadis Al-Faqihiyah Malang, Jawa Timur, itu menjelaskan, tujuan menghormati tradisi orang berlainan keyakinan adalah untuk menjaga kerukunan lintas agama. Jika umat Islam tidak bisa menghormati keyakinan umat lain, kerukunan antarumat bakal sulit tercipta.

Mendasari argumennya, Prof Quraish mengutip Al-Qur’an surat al-An’am ayat 108 yang artinya: Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah. Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

“Memaki saja tidak boleh, apalagi menendang,” terang pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) itu. Soal praktik sesajen dinilai sebagai bentuk perbuatan syirik (menyekutukan Allah) dan  konsekuensinya mendapat siksa dari Allah, lanjut Prof Quraish, itu menjadi hak prerogatif-Nya kelak di hari pambalasan. Selain itu, turun atau tidaknya murka bagi pelaku juga atas izin Allah. Manusia tidak memiliki hak untuk mengadili.  “Tidak apa-apa, nanti Tuhan yang akan menentukan di hari kemudian, apa pandangan Tuhan, keputusan Tuhan terhadap mereka. Jadi mestinya, itu jangan ditendang,” ujar pria kelahiran Sidrap, Sulsel, 1944 itu.

Baca Juga:  Warisan dari Non Muslim

Pada kesempatan itu, Prof Quraish juga menjelaskan bahwa adat dalam pandangan Islam dibagi menjadi tiga. Pertama, adat yang sesuai ajaran Islam dan biasa disebut dengan istilah ma’ruf. Untuk jenis ini, umat Muslim dianjurkan untuk menegakkannya. “Manusia diperintahkan untuk menegakkan yang ma’ruf. Apa yang kamu anggap baik di dalam masyarakatmu dan itu sejalan dengan tuntunan agama atau tidak bertentangan, tegakkan itu,” tegas Prof Quraish.  Kedua, adat yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Sikap umat Muslim pada jenis kedua ini adalah tetap menghormatinya, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an surat Al-Kafirun ayat 6 yang artinya, ‘Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.’ Ketiga, adat yang bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi masih bisa ‘diislamkan’. Untuk  jenis adat yang ini, sikap umat Muslim adalah tetap mengakomodasinya sembari menghilangkan nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam, sebagaimana sudah banyak dilakukan oleh para Wali Songo.

Dalam hal ini, Prof Quraish mencontohkan adat tradisi siraman, yaitu salah satu prosesi dari rangkaian pernikahan dalam adat Jawa dengan memandikan calon pengantin yang biasa dilakukan satu hari sebelum prosesi. Praktik mandinya tidak apa-apa karena Islam sangat menganjurkan kebersihan. Akan tetapi, jika terdapat nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam, tinggal diluruskan.  “Jadi, jangan terlalu kaku. Di setiap daerah ada adatnya, ada kebiasaannya. Dan kembali lagi, setiap amal (perbuatan) itu tergantung dengan niatnya,” tegasnya.

Kisah berikut mungkin dapat menjadi perenungan bagi kaum muslimin dalam berdakwah. Bahwa suatu ketika pesan tidak biasa dari Rasulullah SAW diterima Abdullah bin al-Mubarak saat kesempatan melakukan ibadah haji. Abdullah yang kala itu tertidur singkat di Hijir Ismail berjumpa Nabi, memperoleh amanat yang membuatnya sedikit bingung. Dalam mimpi itu Nabi berujar: “Saat pulang ke Baghdad nanti, pergilah ke sebuah kampung, carilah orang Majusi (penyembah api) bernama Bahram. Kirimkan salamku untuknya dan sampaikan bahwa Allah ridla terhadap dirinya.”

Baca Juga:  Membaca Yasin dan Tiga Permohonan Di Malam Nisfu Sya’ban

Seperti dikisahkan dalam al-Aqthaf ad-Daniyyah, Abdullah tak membenarkan mimpi itu begitu saja. ”La haula wa la quwwata illa billahil ’aliyyil ’adlim. Ah, ini mimpi dari setan. Mana mungkin Bahram dapat kiriman salam dari Nabi.” Abdullah pun bangun, wudlu, shalat, lalu thawaf. Tak disangka, mimpi serupa datang lagi pada kesempatan lain. Peristiwa ini berulang hingga tiga kali. Akhirnya ulama generasi tabi’in ini bertekad akan menunaikan amanat Rasulullah sepulang ibadah haji.

Benar bahwa Bahram yang ditemui di sebuah kampung di Baghdad ternyata memang seorang Majusi, dengan usia yang cukup renta. ”Apakah Anda memiliki perbuatan yang baik di mata Allah?” tanya Abdullah. ”Saya gemar memberi utang kepada banyak orang. Saat melunasi diwajibkan jumlah pembayaran melebihi jumlah utang semula,” sahut Bahram. “Itu haram. Karena termasuk riba. Ada perbuatan lain?”  ”Anak saya empat putri dan empat putra. Karena sayang menjadi pasangan orang lain, saya jodohkan mereka sesama saudara sekandung.” ”Itu juga haram. Ada lagi?” ”Saat menikahkan putra-putri saya, tata cara pesta memakai aturan Majusi.” ”Itu haram. Perbuatan lainnya?” ”Putri saya cantiknya bukan main. Tak ada satu pun pemuda yang pantas berpasangan dengan dirinya. Sebab itu saya jadikan istri sendiri anak saya itu. Malah pernikahan dilaksanakan secara mewah, dihadiri lebih dari seribu tamu undangan.” ”Itu juga haram. Ada yang lain?”

Bahram meladeni pertanyaan Abdullah bin al-Mubarak dengan sabar. Kali ini ia bercerita tentang pengalamannya bertemu seorang Muslimah masuk rumahnya pada suatu malam untuk menyalakan obor. Anehnya, ketika keluar, obor itu dipadamkan lagi, begitu seterusnya hingga tiga kali berturut-turut. Rasa curiga memaksa Bahram membuntuti kepulangan perempuan Muslimah. Hingga masuk ke gubuk, tiga gadis kecil terdengar merengek menanyakan makanan kepada ibunya karena kelaparan. Air mata perempuan Muslimah itu pun meleleh. Dia merasa dihimpit situasi serba sulit, antara anaknya yang kelaparan dan rasa malu mengemis makanan kepada orang kafir Majusi.

Baca Juga:  Ketua Muslimat NU Indragiri Hilir Riau Bantu Dhuafa

”Mengetahui kondisi itu, saya segera kembali ke rumah. Saya penuhi nampan dengan berbagai makanan, lalu saya antarkan ke rumah perempuan Muslimah itu,” Bahram menceritakan. Abdullah bin al-Mubarak menyimpulkan bahwa perbuatan terakhir inilah yang membuat Rasulullah mengirimkan salam khusus kepada Bahram, si Majusi. Mendengar salam Rasulullah, seketika pak tua ini memutuskan masuk Islam. ”Asyhadu an lailaha illallah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah.” Bahram tersungkur tak sadarkan diri, hingga akhirnya meninggal dunia.

Betapa kisah di atas memberikan sinyal kepada kaum Muslimin bahwa kepedulian kepada kalangan dluafa dan mustadlafin hendaknya menjadi ukuran kebaikan. Tidak memandang apakah yang bersangkutan adalah dari agama berbeda, selama memiliki kepedulian dengan penderitaan sesama dapat dijadikan sebagai contoh, teladan dan uswah hasanah. Itu juga yang dipesankan baginda Nabi Muhammad lewat mimpi salah seorang hamba pilihan. Umat Islam hendaknya terus belajar kepada siapa saja yang mempunyai sifat sensitif kepada saudaranya yang serba kekurangan serta membutuhkan bantuan. Apalagi saat ini banyak saudara seiman, dan juga mereka yang tidak seagama mengalami musibah. Ada banjir, tanah longsor, erupsi gunung, dan seterusnya. Belum lagi tetangga, keluarga dan saudara sekitar yang mengalami kesulitan hidup.

Saat itulah kaum muslimin harus hadir dan memberikan bantuan sesuai kemampuan. Bahwa mengurangi beban umat, serta memberikan solusi adalah ciri agama ini yakni menebar kebaikan kepada siapa saja. Dengan nilai luhur yang demikian, maka keberadaan kaum Muslimin akan menjadi solusi bagi kesulitan yang dihadapi saudaranya. (Syaifullah)

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA