Search

Songkok Indonesia Kenalkan Identitas Santri

Topi Indonesia memiliki sebutan dan ciri khas masing-masing. Ada yang menyebut Songkok, Peci, Kopyah dan lain-lain. Awal mula Songkok dipergunakan oleh santri dengan warna khas putih. Lambat laun mulai dijadikan identitas nasional berwara hitam. Nah, bagaimanakah popularitas songkok dalam bisnis.

AULA, Mojokerto – Membaca peluang bisnis merupakan kunci sukses dalam membuka usaha. Seperti itulah yang dilakukan Muhammad Zainurrofiq. Berlatar belakang sebagai ustad sempat membuatnya tidak terpikir untuk membuka usaha. Karena dalam dunia bisnis, siapapun harus siap dengan konsekuensi dengan kerasnya persaingan usaha, bahkan juga harus siap untuk bangkrut.

Nah, itulah yang sempat dirasakan oleh Gus Rofiq sapaan akrab Muhammad Zainurrofiq. Kepada Majalah Aula, Rofiq menceritakan, jika dirinya sempat mengalami masa-masa krisis dalam menjalankan usaha songkoknya. Awal menjalankan usahanya, sempat mengalami kesulitan dalam ekonomi. Waktu itu, ia baru melangsungkan pernikahan.

Dengan membawa tanggung jawab baru, ia mengaku bingung untuk mencari pekerjaan. Satu sisi ia mengajar di Internasional School  Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto. Di sisi lain atas dasar istikharah Kiai, berkehendak lain. “Saya diminta untuk pulang dan membuka usaha sendiri dan membuka yayasan sendiri,” kata suami dari Ning Aprita Ardiana ini.

Karena itu, hasil istikharah tidak sekedar omong-omongan.  Akhirnya ia memutuskan pulang ke Dusun  Gusten, Desa Ngastemi, Bangsal Mojokerto. Di kala itu, merupakan masa-masa sulit bagi Rofiq. Bagaimana tidak, jika sebelumnya dirinya sudah begitu berpikir kondisi perekonomian keluarga, sebab sebagai seorang guru ditambah dengan tunjangan guru bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Namun semua itu tiba-tiba hilang, lantaran dirinya memilih fokus dalam bidang usahanya yang baru. “Akhirnya saya belajar sedikit demi sedikit untuk belajar usaha mulai dari ternak ayam kampung kecil-kecilan. Alhamdullilah mulai dari 6 ekor sampai menjadi 60 ekor,” cerita pria lulusan Pondok pesantren Raudlatul Ulum Kencong Kepung , Kediri ini.

Merambah Bisnis Songkok

Kesuksesan Gus Rofiq membuka bisnis ternak ayam kampung ternyata belum membuat dirinya puas. Dengan latar belakang dirinya sebagai seorang guru dan ustadz di kampungnya, Rofiq pun mulai tertarik untuk merambah bisnis lain yang dirasa bisa bermanfaatkan bagi dirinya. Dari situlah dirinya kemudian mencoba membuat usaha songkok.

Baca Juga:  Berdayakan Penyandang Disabilitas Untuk Mandiri Secara Finansial

Namun sebelum membuka usaha itu, Rofiq sebelumnya mencoba menjualkan songkok milik orang lain. Tapi beberapa kali dirinya memasarkan selalu gagal.  “Awalnya, saya menjual songkok milik orang lain ternyata tidak ada kepuasan. Dua kali saya menjualkan juga gagal lagi. Jadi tidak ada keuntungan, malahan punya hutang Rp 25 juta, itu pun belum produksi dan masih mengambil dari orang,” cerita Rofiq kepada Majalah Aula.

Tidak hanya itu, dirinya pun beberapa kali mendapat teguran dari pelanggan. “Karena menjualkan songkok milik orang lain selalu gagal. Akhirnya saya memutuskan untuk memproduksi sendiri dan menjualnya,” tutur Rofiq yang akhirnya mendirikan UD Songkok Indonesia ini.

Pilihan menggeluti bisnis songkok ini, kata Rofiq, lantaran songkok sulit diproduksi oleh pabrikan. Karena proses pembuatan songkok dilakukan secara manual dengan menggunakan mesin jahit. Apalagi, songkok merupakan ciri khas orang Indonesia dan mendunia. “Saat ini modal saya Rp 25 juta, lalu biaya uji cobanya menghabiskan Rp 50 juta lebih, tapi saya yakin usaha ini bakal bisa besar,” terang pemilik hak paten “Songkok Filosofi” ini.

Dengan modal kenyakinan dan dasar dari hadis Rasulullah SAW, “kullun muyassarun lima khuliqa lahu (Segala sesuatu akan dimudahkan untuk apa yang ia diciptakan untuk kita), Rofiq pun akhirnya bisa bangkit dari keterpurukan tersebut. “Saya rasa perjalanan saya ini lebih mudah dari pada di dzalimi dengan kebohonan,” kata putra dari Tamman Abadi.

Menjadi pebisnis songkok sekaligus seorang guru ngaji di salah satu madrasah diniyah. Rofiq sempat diminta oleh seorang anak untuk menjadi santrinya. Namun dalam hati kecilnya ia mengatakan, bahwa jika menerimanya lalu apa yang akan diajarkan untuk anak tersebut. Akhirnnya ia memutusan menerima anak tersebut.

“Orang mencari ilmu kan ya baik, masa saya mau menolaknnya. Permintaan itu saya terima tapi dengan satu syarat yaitu harus lapor ke RT, dan bisa mempengaruhi karyawan lainnya yang bertato. Istilahnya dakwah kepada merekalah,” cerita pria kelahiran Mojokerto 11 Desember 1988 ini.

Baca Juga:  Menteri Teten Luncurkan Chatbot Jagoan, Pelaku UMKM Diminta Memanfaatkan Betul

Menurutnya, awalnya hanya 3 santri saja. Dalam jangka 3 bulan bertambah menjadi 30 santri. “Pesan bapak saya sebelum wafat, beliau mengatakan hiduplah dengan menghidupi orang lain.  Jangan hidup dengan kehidupanmu sendiri. Menjadi guru minimal memulai pendidikan ibtidaiyah,” tambah guru pondok pesantren Darussalam ini.

Manajemen pesantren yang kini di sesuaikan dengan pesantren Darussalam Sumbersari, Kencong, Kepung, Kediri ini, awalnya hanyalah majelis taklim yang diikuti oleh masyarakat saja. Namun kini masyarakat bisa memanggilnya dengan sebutan pesantren. “Walaupun saya sendiri merasa belum pantas. Harapan besar saya bisa memberikan kontribusi kepada masyarakat tidak hanya pendidikan Islam ubudiyah saja, tapi juga memberikan contoh amaliahnya dan muamalahnya,” tambahnya saat itu.

Bangun Santri Mandiri

Selain mengadakan lapangan pekerjaan, Rofiq juga mempersiapkan karyawannya untuk bisa mandiri. Yaitu dengan memberikan tanggung jawab kepada para karyawan untuk bisa mengkoordinir karyawan lainnya. Dari 10 karyawan, terdapat 2 kepala karyawan putra dan putri. Dengan usaha ini, karyawan akhirnya bisa menjahit, melukis, membuat cat,  sampai marketing atau pemasaran.

“Di Lamongan saya mempunyai kepala produksi yang mempertanggung jawabkan semua produksi yang ada di sana, sampai dengan marketing. Dari pada ikut di pabrik, alangkah baiknnya membuka usaha sendiri dengan kemampuan yang mereka miliki, yaitu dengan membuat produk songkok. Akhirnya tawaran tersebut sudah kita terapkan sampai sekarang, namun saya juga meminta untuk kualitas yang bagus dan prioritas dari kerjasama tersebut,” ungkapnya.

Pesantren yang menerapkan sistem belajar sambil bekerja ini, juga memiliki guru ngaji lainnya yang merupakan lulusan dari pesantren Darussalam Kediri. Setelah 3 bulan itu ada 2 santri lagi yang datang, ia pun ingin mengabdikan ilmunya pesantren ini. Sedangkan waktu itu santri yang bagroundnya lulusan sekolah negeri agak kesulitan untuk menerima ilmu agama. Karena di awal pertemuan dirinya menyempatkan diri untuk mengajari para santri.

“Silahkan kalian nanti buat produk yang lebih besar. Tapi saat ini tolong tinggalkan kenangan disini sebagai sumber daya pesantren, insyaallah akan ada rezeki lebih banyak,” permintaan Rofiq ketika di wawancarai.

Baca Juga:  Pengukuhan PC HPN Surabaya, Afiliasi Pengusaha untuk Ekonomi NU Digital

Persaingan dalam dunia bisnis diakui Rofiq, tidak ada hentinya. Karena tak jarang pebisnis songkok yang lain justru membanting harga dengan cukup murah. Namun semua itu bisa dilaluinya.

Bahkan dirinya kini mulai bersaing di kalangan pasar atas. “Saat ini ada 3 kategori merek Songkok Filosofi, di antaranya meriah kelas dengan kemasan merah yang di bandrol dengan harga Rp 300-350 ribuan untuk 1 kodi, kalau di hitung perbiji Rp 15.000. Exclusive edision, songko yang di dalamnya terdapat simbol yang bertuliskan songkok Indonesia dibandrol dengan harga Rp 450 ribu per kodi. Dan songkok dengan merek Lucx dengan harga Rp 670 ribu per kodi, songkok satu ini sengaja tidak dikasih bordil, sebab menyesuaikan pasaran atau pembelinya. Saya menilai kualitas barang itu ada tiga hal, ada kekuatan, kerapian, kenyamanan,” jelasnya.

Di Jawa Timur sendiri ada beberapa daerah yang menjadi distributor songkok Indonesia. Salah satunya yaitu Pasuruan. “Memang untuk daerah Surabaya belum kami jajaki. Sebab melihat kondisi produksi yang kurang stabil,” ungkapnnya.

Beberapa kali ia juga mendapat pesanan dari dalam negeri dan luar negeri. Seperti India bahkan sampai Libanon. “Waktu itu saya iseng-iseng membuat songkok bertuliskan NKRI harga mati, PCI NU Libanon justru tertarik untuk memesan Songkok Filosofi di sini. Karena waktu itu kita tidak paham terkait ekspor, maka mereka datang ke Indonesia untuk mengambil songkok yang ia pesan, tanpa ragu dan malu ia memakainnya bersama teman-temannya di Libanon sana,” ungkapnnya dengan bangga.

Memiliki target dalam pemasaran memang sangat penting, apalagi Songkok Filosofi asal Mojokerto ini yang sudah di pesan sampai ke luar negeri. “Target saya yang menjadi prioritas bisnis songkonya yaitu lembaga travel dan Ikatan Seni Hadrah Indonesia (ISHARI),” harapnya.

Bisnis yang ia kelola selama 3 tahun, ia gunakan sebagai biaya hidup para santri-santrinya. Sebab, santri yang tinggal di pesantren tidak di pungut biaya sedikitpun. Mulai dari makan, tempat hingga dan pesangon hasil mereka bekerja. “Permintaan saya hanya satu, yaitu belajarlah dengan betul-betul,” tambahnya. * Diah/Lina

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA