Search

Ahl-Kitab dalam Islam (3): Status di Hari Kemudian

Majalahaula.id – Status dihari kemudian, dalam arti golongan yang selamat atau tidak, terpulang pada Tuhan. Status ini sepenuhnya menjadi hak prerogatif Tuhan yang tidak dapat dipertanyakan dan diperdebatkan. Sebagian ulama menganggap bahwa ajaran-ajaran para nabi sebelum Nabi Muhammad tidak berlaku lagi karena, bagi mereka, al-Qur’an merupakan wahyu Ilahi telah menghapus dan membatalkan ajaran sebe lumnya.

Namun, ada pula ulama yang berpendapat bahwa ajaran Nabi Musa dan Isa as tetap berlaku dan sah. Salah seorang pakar Islam kontemporer, Mahmoud Ayoub, melontarkan kritik pada perkembangan teologi dan hukum Islam yang menetapkan secara pasti doktrin penghapusan ajaran ajaran Yahudi dan Kristen oleh al-Qur’an.

Menurut Ayoub, al-Qur’an tidak menetapkan bahwa ia telah menghapus keabsahan Taurat dan Injil, demikian pula Nabi Muhammad tidak mensyaratkan kelompok ahl al-kitab untuk meninggalkan agama mereka sebagai imbalan untuk hidup berdampingan dan bersama-sama dengan umat Islam.

Al-Qur’an menggunakan sebutan ahl al-kitab terhadap orang orang Yahudi dan Kristen guna menunjukkan keakraban. Ahl dalam Bahasa Arab merujuk pada hubungan keluarga, di mana tidak ada hubungan antar manusia dengan sesamanya yang lebih dekat dari hubungan keluarga. Al-Qur’an tampaknya ingin menjelaskan bahwa antara umat Islam, Yahudi, dan Kristen tentang hubungan yang erat bagaikan sebuah keluarga.

Baca Juga:  Mendorong Kemandirian Ekonomi Pesantren

Untuk memperkuat penegasan tersebut, yaitu agar jalinan kekeluargaan tidak terputus, banyak sekali ditemukan anjuran dalam al-Qur’an untuk berlaku baik terhadap ahl al-kitab. Al-Qur’an bahkan mengajak mereka untuk menyatukan pandangan dalam rangka tidak henti-hentinya menjelaskan bahwa, al-Qur’an pada dasarnya mencari titik temu tertentu. Ditambah lagi, Nabi Muhammad sejalan dan melengkapi ajaran-ajaran Taurat dan Injil.

Dalam al-Qur’an sendiri, pada beberapa bagian, ditunjukkan kesaksian ahl al-kitab akan kebenaran al-Qur’an, dan untuk itu hubungan baik dengan mereka harus dijaga dan dipertahankan. Ayat-ayat dalam al-Qur’an yang dimaksud antara lain (10: 94): Allah berfirman “Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah pada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu-ragu.”

Pada ayat lain, al-Qur’an memerintahkan (agar hubungan antara umat Islam dan ahl al-kitab dapat terpelihara sebaik-baiknya) (29: 46): “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahl al-kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah, Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu: dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.”

Bertolak dari sumber ini, kiranya dapat dipahami mengapa Islam membenarkan kepada umatnya untuk menikahi wanita ahl al-kitab dan menerima cara penyembelihan hewan mereka (QS. Al-Maidah 5: 5).

Baca Juga:  Betulkah kita ini, Nderek Kiai sampai Mati?

Khusus terhadap pemeluk agama Kristen dari ahl al-kitab, al-Qur’an memuji sikap sebagian dari mereka menunjukkan keakraban dan persahabatan (QS. 5: 82). Terciptanya yang keakraban dibuktikan sendiri oleh Nabi atas perkawinannya dengan Maria al-Qubtiyah, yang sebelumnya beragama Kristen Koptik. Semua ini menggambarkan keakraban hubungan antara Kristen dan Islam.

Bertitik tolak dari bukti-bukti yang diberikan tersebut, Rasyid Ridha berkesimpulan bahwa pada dasarnya, agama Kristen memang tidak bertentangan dengan Islam. Pertentangan tercipta tidak lain berasal dari ajaran para penganut agama Kristen yang menyimpang. Oleh karena itu, lanjut Ridha, al-Qur’an sama sekali tidak mengutuk agama Kristen, yang memperoleh peringatan keras adalah penganutnya yang menyimpang dari jalan yang diberikan oleh Isa as.

Terhadap hal ini, Charis Waddy (salah seorang pemuka Kristen) berkomentar sebagai berikut: “The Quran critici zes both Christian and Jews for neglecting the truths their Scriptures teach, and misunderstanding them. It can be admitted with humility that there is truth in this criticism” (Al-Qur’an mengritik penganut Kristen dan Yahudi atas kelalaian serta kesalah pahaman atas kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh kitab-kitab suci mereka. Dengan segala kerendahan hati kritik tersebut dapat diakui bahwa terdapat kebenaran atas kritik tersebut).

Baca Juga:  Kenangan Abadi Bersama Kiai Masyhudan: Guru Bahasa Arab yang Penuh Ketulusan dan Keceriaan

Keakraban yang terjalin antara Islam pada masa formatifnya dan umat Kristen jauh berbeda dengan hubungan Islam dan penganut Yahudi. Penganut Yahudi dari segi doktrin dan hukum lebih mendekati Syari’ah Islam. Sayangnya, hubungan Islam-Yahudi berkembang cenderung ke arah permusuhan. Penyebab utama memburuknya hubungan keduanya adalah ulah beberapa kelompok Yahudi yang berusaha mengusir dan membunuh Nabi Muhammad, selain konspirasi mereka dengan Arab Jahiliah Mekkah dalam rangka menggagalkan misi Islam (QS. 9: 13).

Aksi Yahudi tersebut di jawab umat Islam dengan mengumumkan perang terhadap suku-suku Yahudi, khususnya terhadap Bani Qaynuqa’, Bani Nadir, dan Bani Quraizah, yang kemudian disusul dektrit Nabi Muhammad untuk mengusir segenap penghuni Yahudi dari Madinah. Permusuhan antara kelompok Yahudi dan umat Islam juga terekam dalam al-Qur’an (5: 82).

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA