Majalahaula.id – Hakikatnya, persoalan pengkafiran (takfir) pasti terjadi, namun tetap harus di minimalkan (penerapannya), mengingat semangat kitab Faishal al-Tafriqah adalah toleransi ditengah kecenderungan orang mudah mengkafirkan karena perbedaan pendapat. Artinya, kata Gus Ulil, soal kafir-pengkafiran jangan dibuka panjang lebar, hawatir akan menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam tubuh umat Islam.
Jelasnya, dalam masalah furu’ (cabang) kita tidak boleh mengkafirkan siapapun. Sementara, dalam masalah ushul (pokok), kita boleh mengkafirkan namun dengan beberapa syarat. Dalam hal ini, ada banyak syarat yang harus dipenuhi sebelum menjatuhkan putusan bahwa seseorang itu kafir atau dikafirkan, diantaranya;
Pertama, terlebih dahulu kita meneliti teks atau nash agama yang ditakwil. Sekiranya ingin menelaah pendapat seseorang mengenai nash agama yang ditakwil, maka harus diteliti dahulu nash agama tersebut, apakah bisa ditakwil atau tidak. Karena, kita tidak mudah untuk mengenali suatu nash agama yang bisa ditakwil atau tidak, bahkan tidak sembarang orang yang benar-benar bisa mengenalinya.
Itu sebabnya, hanya orang yang sudah terlatih (ahli) dan terbiasa meneliti nash-nash agama yang benar-benar bisa mengenali nash agama yang bisa ditakwil dan tidak. Tak hanya itu, untuk mengerti nash agama, seseorang harus mengerti bahasa Arab (ilmu retorika, leksikografi), memahami maknanya, serta memahami budaya penggunaan metafora dan ungkapan penyerupaan dari bangsa Arab.
Sekiranya, ada suatu nash agama yang kualitas kebenarannya bersandar pada konsensus ulama, maka ketahuilah bahwa hal ini paling samar kedudukannya. Sebab, syarat ijma’ atau konsensus haruslah mencakup sejumlah orang yang benar-benar ahli dalam menguraikan nash agama, berkumpul di satu tempat yang jelas, bersepakat terhadap perkara tersebut dengan pernyataan jelas.
Pun juga, kesepakatan yang sama harus disuarakan oleh kelompok ulama lain (satu sama lain sama-sama memverifikasi hal yang disepakati tersebut). Jika pun kelompok tersebut terpisah-pisah, secara tidak langsung mengharuskannya untuk korespondensi agar tercipta konsensus diantara semua kelompok. Alih-alih koresponden, sangat sulit untuk berpegang pada ijma’ karena perbedaan antara golongan yang tak bisa di tepis dan selalu ada.
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana jika ijma’ terjadi lalu ada yang mengingkarinya, apakah orang tersebut kafir? Memang ada sebagian orang yang sepakat menjadi kafir, dan ada pula yang berpendapat tidak menjadi kafir. Begitu juga sebaliknya, jika ada ijma’ di suatu waktu atau generasi lalu, namun dikemudian hari ada ahli yang berpikir ulang dan mencabut ijma’ tersebut maka, secara otomatis ijma’ itu tidak berlaku. Dan, untuk mengetahui update (perkembangan) seperti ini sangatlah sulit. Ini memberikan pemahaman bahwa kita tidak mudah untuk mengkafirkan orang lain.
Kedua, adalah teliti dulu teks atau nash agama yang ditinggalkan makna dzahirnya tersebut. Jelasnya, menelaah terlebih dahulu sumber nash agama, apakah teks tersebut sah dan mutawatir berasal dari sumber yang tidak terputus hingga Rasulullah Saw, atau sebaliknya berasal dari sumber yang kurang banyak namun disepakati oleh para sahabat dari Rasulullah Saw.
Namun, jika sudah terkonfirmasi mutawatir atau tidak maka, selanjutnya kita meneliti para perawinya. Ada kemungkinan jumlah minimal untuk bisa disimpulkan suatu nash tersebut kuat kedudukannya, sehingga tidak ada celah bahwa nash tersebut bisa ditakwil karena sudah sangat jelas makna dzahirnya.
Hal lain yang tidak kalah penting, ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits populer karena, yang disebutkan di posisi kedua adalah statusnya belum tentu mutawatir. Bisa jadi, suatu nash mutawatir karena dikisahkan banyak orang di suatu generasi ke generasi hingga generasi sekarang (tidak putus generasi dan inilah definisi mutawatir) dan ada suatu nash mutawatir hanya di satu generasi saja (otomatis tidak mutawatir karena tidak lanjut ke generasi berikutnya).
Misalnya, al-Qur’an adalah nash mutawatir karena dari generasi Rasulullah Saw yang berlanjut ke masa sahabat lalu ke generasi seterusnya dan seterusnya tanpa putus hingga sampai generasi kita sekarang. Sedangkan, hadits mutawatir hanya sedikit jumlahnya dan umumnya yang banyak adalah hadits ahad karena jumlah perawinya sedikit (kurang dari jumlah minimal perawinya agar bisa jadi hadits mutawatir) namun bukan berarti hadits ahad itu tidak sahih.
Adapun diluar konteks al-Qur’an (misal hadits dan berita sejarah) maka, jadi samar atau sulit untuk diketahui status mutawatirnya kecuali, oleh orang-orang ahli sejarah yang mumpuni (kokoh) pengetahuannya sehingga bisa mengetahui riwayatnya. Kadang-kala bisa ditemui kisah atau berita yang diceritakan oleh banyak orang, namun tetap muncul keraguan (berdasarkan insting) mengenai kebenaran kisah dan berita tersebut.
Bisa saja diduga telah terjadi konspirasi kebohongan sehingga menceritakan kisah dan berita tersebut, misalnya karena fanatisme mazhab. Sehingga, mendorong sejumlah orang bersekongkol meriwayatkan suatu hadits yang bohong demi keuntungan mazhabnya. Contoh lain misalnya, masalah imamah dan penunjukkan Sayyidina Ali setelah Rasulullah Saw wafat berdasarkan hadits yang secara jelas menunjuk sayyidina Ali, lalu hadits tersebut didaku golongan Syiah sebagai hadits mutawatir. Artinya, jika ada pertentangan tentang hadits mutawatir antara mazhab yang berbeda maka, sebaiknya berhati-hati sebelum memutuskan seseorang tersebut kafir atau tidak. Wallahu a’lam bisshawab.
)* Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid dan Kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.