Majalahaula.id – Era global seperti yang terjadi sekarang ini membuat seolah tak ada lagi sekat antar-negara, termasuk Indonesia. Sehingga, tak heran jika kemudian muncul paham-paham yang tidak sama dengan kultur yang ada di Indonesia. Seperti paham ekstrem dan radikal yang sebelumnya tidak pernah ada. Penganutnya punya sudut pandang yang berbeda yang kemudian berubah menjadi etika dan prilaku yang berbeda.
“Ini kalau tidak ada Da’i atau Da’iyah yang menjelaskan maka ada peluang terjadinya disintegrasi bahkan mengarah ke instabilitas nasional,” ungkap Anik Maslachah, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Jatim saat menjadi keynote speaker Halaqah Da’I-daiyah se-Jatim di Juanda Sidoarjo. Disinilah, menurut Anik, pentingnya peran Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) untuk memahamkan bahwa Islam itu tidak sempit, dan Islam siap dalam moderasi beragama.
Menyongsong Satu Abad NU sekaligus Hari Santri, Pengurus Wilayah (PW) LDNU Jawa Timur menggelar Halaqah Da’i-da’iyah se-Jatim dengan tema “Urgensi moderasi dakwah aswaja berwawasan kebangsaan dalam bingkai NKRI”. Ketua PW LDNU Jatim, KH Ilhamullah Sumarkan mengaku tujuan diselenggarakan halaqah ini untuk koordinasi bersama para pengurus cabang NU Jawa Timur, dalam rangka sinergi dakwah.
Selain itu, kaitannya dengan pemerintahan, mendapat informasi dari setiap cabang mengenai daerah yang rawan terkait dengan kemurtadan, kristenisasi dan radikalisme yang ada di daerah tersebut. “Kami ingin memberikan motivasi sekaligus pembekalan agar tetap semangat mendakwahkan Islam yang rahmatan lilalami, Islam Aswaja, dalam arti kita adalah bagian dari NU yang dengan jelas akan terus memperjuangkan nilai Islam,” imbuh Kiai Sumarkan. Ditegaskannya, sebagai bagian dari negara NKRI, sehingga dakwah-dakwah LDNU harus berisi mengenai bagaimana menanamkan kepada masyarakat tentang cinta negara, karena itu juga bagian dari pada agama itu sendiri.
Kiai Sumarkan mengatakan, di luar NU, khususnya orang-orang yang mau memperjuangkan khilafah itu dianggap tidak ada dalam Islam nasionalisme. Yang ada Islam adalah keseluruhan, kalau perlu membuat negara itu bukan satu negara, tapi negara dunia. Hal tersebut tentu tidak sejalan dengan perjuangan NU dan bagaimanapun NU tetap memperjuangkan tentang adanya nasionalisme khususnya menjaga NKRI. “Jadi kami koordinasi itu, supaya teman-teman atau para da’i di daerah memperjuangkan hal itu. Karena ada beberapa orang yang terhalangi, ketika hendak mendakwahkan model khilafah dan hal tersebut mempengaruhi audien atau masyarakat. Maka, diberhentikan dengan cara kekuasaan atau struktural,” ungkap Ketua Lembaga Dakwah Khusus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur tersebut.
Menurut Kiai Sumarkan, di era sekarang ini, media sangat mempengaruhi perjalanan dakwah. Oleh karena itu, ia ingin pimpinan cabang juga intens berdakwah melalui media sosial. Tentu dengan bahasa yang menarik, karena itu perlu berguru ke gus-gus pondok yang kiprahnya sudah luas, yang juga menguasai ilmu, baik dari segi materi, logika, penguasaan tafsir, dan penguasaan sosiologi masyarakat. “Kami ingin pertemuan ini tidak usai di sini, tapi berlanjut hingga ke depan untuk memberikan arahan. Termasuk workshop, diklat, madrasah kader da’I kita usahakan. Selain itu, yang sudah kami laksanakan itu dakwah bil hal, ini berdakwah dengan bakti sosial dan santunan, sambil memberikan nasihat, ceramah tentang penguatan akidah,” ungkap dosen Tafsir Alquran Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya itu.
Musabaqah Da’I Da’iyah 3 Bahasa Meriahkan 1 Abad NU
Kiai Sumarkan mengatakan, acara halaqah ini digelar dalam rangka menyambut satu abad NU. “Dalam waktu dekat juga akan digelar musabaqah atau lomba da’i –da’iyah 3 bahasa, yang puncaknya nanti diadakan di PWNU di bulan Oktober mendatang,” ungkap Kiai Sumarkan.(Lina/Vin)