Search

Pondok Pesantren Mansyaul Huda 2 Senori Tuban, Gunakan Sistem Salaf dengan Sentuhan Modern

Perkembangan kualitas pondok pesantren NU di desa sangat pesat. Seperti yang dialami ponpes Mansyaul Huda 2 Senori Tuban. Meski sudah berdiri hampir satu abad. Tetapi pesantren yang pengajaranya masih salaf ini baru mengupayakan inovasi dalam sepuluh tahun terakhir.

Hal ini juga diungkapkan Abdul Muiz pengasuh pesantren, mengingat letak pesantren yang berada di desa yang mengakibatkan rata-rata santri berasal dari masyarakat tani. Belum maju, sehingga masih menggunakan pembelajaran lama. Jadi perlu adanya program-program baru agar santri tidak tertinggal.

Pesantren ini juga melakukan pembagian kelas menururt tingkat. Untuk bisa membedakan kemampuan santri. Sehingga tidak terjadi kesenjangan antara santri yang sudah mahir dengan yang baru memulai

Baca Juga:  Nikmati Kesegaran Angin di Pantai Kelapa di Tuban

“Meski kami belum memiliki sekolah sendiri, namun system pembelajaranya sinergi dengan lembaga pendidikan sekitrar. Selain itu hampir seluruh pengurus ponpes di Senori menjadi bagian tenaga pengajar di yayasan Sunnatunnur,”kata pria yang pernah kuliah S1 di Universitas Al Azhar Kairo Mesir.

Program Unggulan

Program unggulan di pesantren ini tidak jauh berbeda dengan pesantren pada umumnya. Karena masih termasuk pesantren salaf. Metode pengajaranya ada hafalan sekaligus pemahaman. Gus Muiz menerapkan terminologi ilmu hadis. Didalamnya ada belajar secara hafalan ada belajar secara pemahaman. Namanya istilahnya diroyah dan riwayah

“Anak-anak itu menghafal, setelah menghafal apa yang di hafalkan itu di ajarkan kembali ke temanya atau sorogan. Jadi setelah hafal baru ditambah. Kalau selama ini di pondok biasanya hafalan kitab. Disini ada jenjang kelasnya I’dad. Kelas jurumiyah. Setelah kelas jurumiyah kelas imriti. Setelah kelas imriti kelas aliyah. Setelah itu kelas mahasiswa. Yang besar-besar yang sudah lulus SMA itu,”tuturnya.

Baca Juga:  Rijalul Ansor Lobar Roadshow ke Pesantren

Sedangkan usia anak yang mondok di ponpes Mansyaul Huda 2. Dulu awal berdiri sekitar tahun 1990 an ada anak usia TK sampai MI. Kemudian seiring berjalanya waktu dibagi menjadi anak kecil dan dewasa. karena pembagian antara anak kecil dan dewasa menemui problem di tengah jalan. Maka ponpes memutuskan untuk menerima santri usia dewasa saja.

“Yang dewasa ini sering entah ngerjain yang kecil. Anak kecil kan suka dikerjain dan sebagainya. Akhirnya sering bentrok yang besar dengan yang kecil. Setelah itu bapak memutuskan yang di terima yang besar saja. yang anak kecil akhirnya di alihkan ke pesantren lain. Santri dikatakan besar ya kalau sudah menginjak MTS dan MA. Dulu itu pas ada yang kecil-kecil itu pengurusnya yang repot memandikan juga. Mulai tahun 90 an yang kecil-kecil sudah tidak ada,”cerita pria yang pernah menempuh pendidikan magister di UIN Jogjakarta.

Baca Juga:  RMI Jateng Bahas Sinergitas Madin dengan Pesantren

Dy

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA