Search

KH Yahya Cholil Staquf Jelaskan Kriteria Ulama

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang lebih akrab disapa Gus Yahya ini menyebutkan beberapa kriteria hakikat seorang ulama. Salah satunya, ulama adalah orang yang mampu memandang umat dengan kacamata kasih sayang. Ia memastikan, seorang ulama akan bertindak untuk kemaslahatan umat dan tidak akan pernah menimbulkan kerusakan di tengah masyarakat.

“Al-ulama yanzhuruna ilal ummah bi ‘aynir rahmah. Ulama itu memandang kepada umat dengan pandangan kasih sayang untuk sungguh-sungguh menginginkan dan mengikhtiarkan kemaslahatan bagi umat. Tidak sembarangan memperturutkan emosi atau kepentingan-kepentingan parsial,” kata Gus Yahya dalam Dialog Buka Puasa Bersama bertajuk ‘Hakikat Ulama dan Keulamaan’, di Kanal Youtube BKN PDI Perjuangan, Jumat (08/04/2022).

Baca Juga:  Bukan Cari Menang Kalah, Tujuan Award Untuk Big Data NU

Menjadi seorang ulama itu, lanjut Gus Yahya, dibutuhkan ilmu yang bukan hanya berupa kumpulan informasi kognitif tentang wacana-wacana keagamaan, tetapi juga ilmu yang menjadi energi rohani sehingga tersambung langsung kepada hidayah Allah.

“Maka ulama ini akan sungguh-sungguh berpikir secara mendalam supaya jangan sampai tindakan-tindakannya menimbulkan kerusakan di tengah-tengah masyarakat,” kata putra dari ulama kenamaan yang dimiliki NU, KH Cholil Bisri ini.

Gus Yahya menyebut bahwa orang-orang yang kerap mengenakan atribut ulama tetapi justru mendorong pada perilaku kebencian dan kemarahan di antara kelompok masyarakat, bahkan mengobarkan kedengkian kepada pemimpin negara adalah mereka yang berpikir tidak terlalu dalam.

“Dia berpikir tidak terlalu dalam bahwa dengan melakukan itu semua, sebetulnya dia memicu kerusakan untuk semua orang. Tidak akan ada yang mendapatkan maslahat dari apa yang dilakukan,” tegas Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.

Baca Juga:  Zaskia Gotik Mantap Memakai Hijab

Menurut Gus Yahya, masyarakat bisa dikelola dengan baik apabila tercipta ketertiban sosial, sedangkan simpul dari tertib sosial adalah pemimpin. Dengan begitu, upaya mendiskreditkan pemimpin sama dengan merusak ketertiban sosial dan membuat kerusakan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

“Masyarakat tidak mungkin dibawa pada kemaslahatan atau kesejahteraan di tengah-tengah kekacauan. Maka kalau ada yang mengobarkan kebencian pasti dia tidak memandang kepada umat ini dengan pandangan kasih sayang, dia tidak sayang kepada umat,” tegas dia. (Ful)

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA