Search

Kripto dan Bursa Berjangka Komoditi dalam Pandangan Hasil Bahtsul Masail LBM PWNU Jawa Timur

Berbicara tentang cryptocurrency yang dewasa ini marak dijualbelikan secara bebas lewat daring pada bursa crypto, maka tidak lepas dari pembahasan apakah cryptocurrency itu layak untuk disebut produk / komoditas (sil’ah)?

Secara umum, komoditi (sil’ah) memiliki pengertian yang sama dengan mabi’, yaitu sejenis barang yang bisa dijualbelikan dan diniagakan (di-trading-kan). Oleh karena itu, apabila cryptocurrency dikelompokkan sebagai sil’ah, maka cryptocurrency juga wajib memenuhi kriteria “barang” yang sah untuk dijualbelikan tersebut, yaitu: jika merupakan barang yang suci, bisa dimanfaatkan secara syara dengan pemanfaatan yang sebanding / sejalan dengan status hartawinya secara adat, bisa diserahterimakan secara hissy (inderawi) dan secara syar’i, ada dalam kuasa pihak yang berakad, bisa diketahui meski secara karaktersitik dengan jalan melihat, tidak ada akad riba, aman dari kerusakan sampai barang tersebut sampai di tangan pembelinya (qabdl). Dengan kata lain, sil’ah wajib terdiri dari barang yang bisa dijamin penunaiannya. (Hilyatul Ulama fi Ma’rifati Madzahib al-Fuqaha, Juz 4, halaman 55)

DIlihat dari sisi materiilnya, cryptocurrency juga wajib memenuhi standar 2 kriteria mabi’, yaitu sebagai (1) ain musyahadah (barang fisik), atau (2) sebagai syaiin maushuf fi al-dzimmah (barang berjamin aset). Termasuk aset yang bisa dijadikan jaminan barang ini, adalah aset yang terdiri atas ain (materi), dain (utang) dan fi’lin (pekerjaan, jasa/manafi’ dan hak). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Syeikh Bujairamy (w. 1221 H) di dalam Hasyiyah Bujairamy ala al-Khathib, Juz 3, halaman 4, bahwasannya:

(البُيُوعُ ثَلاثَةُ أشْياءَ) أيْ أنْواعٍ بَلْ أرْبَعَةٌ كَما سَيَأْتِي. الأوَّلُ. (بَيْعُ عَيْنٍ مُشاهَدَةٍ) أيْ مَرْئِيَّةٍ لِلْمُتَبايِعَيْنِ (فَجائِزٌ) لِانْتِفاءِ الغَرَرِ. (و) الثّانِي (بَيْعُ شَيْءٍ) يَصِحُّ السَّلَمُ فِيهِ (مَوْصُوفٍ فِي الذِّمَّةِ)

“Jual beli itu ada tiga perkara atau tiga macam, dalam satu wajah ada 4 macam. Pertama: jual beli barang fisik yang bisa disaksikan oleh dua orang yang saing melakukan akad, maka hukumnya adalah boleh karena ketiadaan gharar (penipuan). Kedua, jual beli sesuatu yang bisa ditunjukkan karakteritiknya dan berjamin.”

 

Berangkat dari sini, maka ditarik satu kesimpulan bahwasanya pada daarnya sil’ah itu harus berbentuk fisik, baik berupa ain musyahadah (fisik) maupun syaiin maushuf fi al-dzimmah (aset berjamin). Keduanya ini apabila ditilik dari sisi akad jual beli (bai’). Apabila ditilik dari sisi akad ijarah, maka minimal komoditas itu harus terdiri atas aset jasa (manfaat).

Baca Juga:  Berbeda dengan Muhammadiyah, NU Gelar Sholat Idul Adha tgl 10

Apakah Cryptocurrency memenuhi Kategori Sil’ah?

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua aset kripto cryptocurrency, pada dasarnya tidak memenuhi kategori sebagai sil’ah (komoditas) secara fikih, disebabkan:

  1. barangnya tidak memiliki wujud fisik sehingga tidak masuk kategori ain musyahadah. Di sisi lain, cryptocurrency juga tidak memiliki “fungsi sebagai jasa” sehingga tidak bisa disebut sebagai “harta manfaat.”
  2. Crypto juga bukan terdiri atas aset yang berjamin fisik, utang dan pekerjaan sehingga tidak masuk kategori syaiin maushuf fi al-dzimmah.

Karena tidak memenuhi dua kategori aset di atas, maka cryptocurrency juga tidak memiliki potensi untuk bisa diserahterimakan secara hissan (inderawi) dan syar’an. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa cryptocurrency adalah bagian dari aset ma’dum (fiktif) atau yang biasa dikenal dengan istilah harta mondial. Mentransaksikan aset ma’dum adalah ghairu jaizin (tidak diperbolehkan) dan dilarang secara syara’.

Resiko Akibat Cryptocurrency tidak Bisa Hadir dalam Wujud Fisik

Di satu sisi, selaku aset ma’dum (mondial), maka meniagakan cryptocurrency yang terdiri atas kriptografi murni adalah perumpamaan meniagakan barang fiktif. Di sisi lain, meniagakan crypto yang memiliki jaminan dibaliknya berupa seni virtual dan beberapa jenis pola lainnya, adalah perumpamaan melakukan transaksi bai’ habli hablah, yaitu transaksi jual beli anak hewan yang masih dalam kandungan. Keduanya merupakan yang dilarang oleh syara’.

Meniaggakan barang mondial adalah bagian dari tindakan memakan harta orang lain secara batil. Adapun meniagakan crypto yang sebagian di antaranya memiliki aset penjamin namun dalam bentuk virtual dan seni, adalah bagian dari transaksi jual beli yang fasad (rusak) karena illat gharar dan maisir (spekulatif). Kedua illat ini tidak bisa dishahihkan, sebab dalam transaksi kripto, tidak ada istilah khiyar. Jadi, pembeli harus menerima apa adanya seni dibalik aset kripto tersebut

Sulthanu al-Ulama al-Izz Ibn Abdi Al-Salam (w. 660 H), di dalam al-Ghayah fi Ikhtishari al-Nihayah, Juz 3, halaman 324 menjelaskan:

نهت السنّة عن بيع حَبَل الحَبَلة، وعن بيع الملاقيح والمضامين، وعن الملامسة والمنابذة، وعن بيع الحصاة، وكلُّ ذلك فاسد. فأمّا حَبَل الحَبَلة: فهو البيع بثمن مؤجَّل إلى نتاج النتاج، أو بيع نتاج النتاج قبل وجوده

Baca Juga:  Halaqah Fikih Peradaban Bahas Konsep Negara Islam

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang jual beli kandungannya kandungan, jual beli mulaqih, mudlammin, mulamasah, munabadzah dan jual beli hashah. Seluruhnya termasuk akad yang fasid. Adapun jual beli habl al-hablah, adalah jual bei dengan harga tempo terhadap kandungannya hewan yang masih ada dalam kandungan, atau jual beli kandungannya kandungan sebelum wujud (nampak fisik).”

Terbentuknya Harga Cryptocurrency

Karena ketiadaan aset fisik, sehingga cryotocurrency merupakan harta mondial, maka terbentuknya harga pada cryptocurrency adalah murni karena faktor adanya praktik taghrir dan al-Ghisy (praktik kecurangan). Keduanya dilarang olehh syara’ sebagaimana tertuang dalam al-Fiqh al-Manhajy ‘ala Madzhabi al-Imam al-Syafii, Juz 6, halaman 25 :

الأصل في تعامل المسلم مع غيره النصح وعدم الغش، لأن في ذلك أكلًا لأموال الناس بالباطل، وقد حذر رسول الله – ﷺ – من الغش أشد تحذير حين قال: «من غش فليس منّا» ومن الغش أن يكون في المبيع عيب يعلمه البائع، فيكتمه عن المشتري ولا يبيِّنه له

“Pondasi akad muamalah antara muslim dengan pihak lain adalah al-nushu dan ketiadaan kecurangan. Karena sesungguhnya di dalam praktik kecurangan ada tindakan memakan harta orang lain secara batil. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan keras akan bahayanya praktik kecurangan ini dengan sabdanya: “barang siapa berlaku curang, maka bukan termasuk golongan kami.” Termasuk tindakan curang adalah tahunya pihak pedagang atas aib barang dagangannya, namun ia sembunyikan dari pembeli, serta tidak menjelaskannya.”

Praktik kecurangan pada cryptocurrency ini yang menyebabkan tiimbulnya “harga” sehingga cryptocurrency seolah-olah menjadi barang berharga padahal sejatinya ia “tidak memiliki harga” sebab “fiktif (mondial)”. Seharusnya pihak yang membeli aset kripto adalah pihak yang menyuruh menambang, yaitu platform. Namun, faktanya justru pihak lain yang membeli aset kripto tersebut. Inilah bagian dari kecurangan tersebut.

Imbas Larangan Kripto sebagai Mata Uang

Sejak awal diterbitkannya, kripto diciptakan untuk menjadi mata uang menggantikan mata uang suatu negara. Di Indonesia,secara umum hal ini bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Oleh karenanya, cryptocurrency diubah oleh Bappebti dijaadikan Aset Kripto dengan dasar Peraturan Menteri Perdagangan.

Menjadikan kripto secara umum sebagai komoditi adalah tidak sah disebabkan tidak terpenuhinya kriteria komoditas secara syara’. Adapun secara khusus, menjadikan aset kripto yang memiliki aset penjamin sebagai komoditas, misalnya sebagian Tether dan Ethereum, hanya akan menambah perannya sebagai bagian dari instrumen spekulasi saja, dengan alasan:

  1. Aset penjaminnya tidak memiliki potensi untuk diserahterimakan
  2. Aset penjamin Ethereum, juga hadir dalam rupa bentuk digital. Misalnya Crypto Art
  3. Penggabungan aset penjamin dilakukan dengan jalan membeli cryptocurrency yang tidak memiliki aset penjamin lewat media opensea.
Baca Juga:  Sistem Khilafah dan Demokrasi

Berdasarkan hal ini, maka disimpulkan bahwa menjadikan cryptocurrency yang berjamin aset digital sebagai bagian dari komoditas yang diperdagangkan, adalah sama saja dengan melestarikan aset crypto yang tidak berpenjamin (fiktif). Oleh karenanya, hukumnya adalah dikembalikan ke asal keharamannya karena saddu al-dzari’ah.

 Pengaturan Perdagangan Cryptocurrency oleh Pemerintah

Acuan utama ta’rif komoditi dalam peraturan dan hukum serta perundang-undangan di Indonesia adalah mengacu pada UU No. 10 Tahun 2011. Di dalam UU ini, disampaikan bahwa “komoditi adalah semua barang, jasa, hak dan kepentingan lainnya dan setiap derivatif dari komoditi yang dapat diperdagangkan dan menjadi subjek kontrak berjangka , kontrak derivatif syariah, dan atau kontrak derivatif lainnya.

Secara umum, ta’rif ini senafas dengan statemen sil’ah dalam syara’. Berdasarkan UU ini pula, 2 jenis cryptocurrency sebagaimana yang telah disampaikan di muka, secara umum adalah tidak memenuhi standar selaku komoditi.

Cryptocurrency yang berpenjamin aset tidak bisa digunakan sebagai alat tukar di Indonesia sebab bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2011. Meski, cryptocurrency jenis ini bisa berlaku sebagai komoditas, akan tetapi mewadahinya dalam pasaran bursa, hanya akan memicu bagi lahirnya aksi spekulasi lain, sehingga dihukumi sebagai haram karena alasan saddu al-dzari’ah.

Cryptocurrency yang tak berpenjamin aset merupakan aset mondial (fiktif) yang kedudukannya sama dengan saham fiktif sehingga menjualbelikannya adalah termasuk transaksi ma’dum yang dilarang secara syara’.

Berbekal semua pertimbangan tersebut di atas, maka dapat ditarik satu kesimpulan bahwa mengatur dan mewadahi cryptocurrency dalam wadah bursa oleh pemerintah, merupakan tindakan yang mamnu’un syar’an (dilarang oleh syara’) sebab sama saja dengan tindakan pelegalan perdagangan aset fiktif (mondial) dan pelestarian perjudian (aksi spekulasi). Keduanya merupakan bagian dari yang dilarang oleh nash karena illat nyatanya merugikan. Wallahu a’lam bi al-shawab

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA