Search

Sistem Khilafah dan Demokrasi

Pertanyaan:

Paham keagamaan Islam bertipe ekstrem menunjuk sistem khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang Islami dan kaffah, sedang demokrasi yang cenderung menawarkan pilihan sikap dipandang tidak dikenal dalam Islam, karena hal itu mengurangi loyalitas pada syariah. Sampai saat ini ternyata masih ada yang mempermasalahkan hal seperti ini. Pertanyaan saya: (1) Apakah sistem khilafah dalam pemerintahan yang Islami merupakan konsep baku dan tunggal? (2) Tidak bijakkah demokrasi diintregasikan untuk membangun suasana kondusif pada struktur masyarakat yang Bhinneka Tunggal Ika?

Dian Fathul, Kediri

 

Jawaban:

Bapak Dian Fathul yang dirahmati oleh Allah:

  1. Sistem khilafah merupakan masalah ijtihadiyah sebagaimana hasil keputusan pada Konferwil Genggong tahun 2007, bukan i’tiqadiyah (keyakinan), jadi bukan merupakan konsep yang baku dan tunggal.
  2. Termasuk bijaksana selama tidak bertentangan dengan ruh asy-syar’i sebagai bentuk akhlaqul karimah.

 

Dasar Pengambilan Hukum

  1. Al-Ghaits al-Hami’ ‘ala Syarh Jam’u al-Jawami’, 790:

قُلْتُ: مُرَادُهُ أَنَّهُ ﷺ لَمْ يَسْتَخْلِفْ نَصًّا أَوْ تَصْرِيْحًا كَمَا قَدَّمْتُهُ وَقَدْ قَالَ النَّوَوِيُّ فِيْ شَرْحِ مُسْلِمٍ: فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمْ يُنَصِّ عَلَى خَلِيْفَةٍ وَهُوَ إِجْمَاعُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَغَيْرِهِمْ اهـ

Saya berkata: “Maksudnya Nabi Muhammad tidak mengganti nash atau penjelasan, sebagaimana aku dahulukan.” Dan sungguh an-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim: “Di situ ada dalil bahwa Nabi r tidak menegaskan pada khalifah, yaitu menurut versi ijma’ Ahlussunnah dan selain mereka.”

 

  1. Al-Mashdar as-Sabiq, 17:

لَقَدْ قَرَّرَ الْقُرْآنُ تَشْرِيْعًا وَحُدُوْدًا وَحَلَّلَ وَحَرَّمَ وَفَرَّضَ فَرَائِضَ مِنْهَا مَا يَقُوْمُ بِهِ الْمَرْءُ بِنَفْسِهِ وَمِنْهَا مَا هُوَ عَمَلٌ جَمَاعِيٌّ وَمِنْهَا مَا يَحْتَاجُ فِيْ تَنْفِيْذِهِ إِلَى مَنْ يَتَوَلَّى الْأَمْرُ فِيْهِ وَقَدْ نَصَّ الْقُرْآنُ بِصَرِيْحِ الْعِبَادَةِ الْمُسْلِمِيْنَ إِلَى طَاعَةِ هَؤُلآءِ (يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِى الْأَمْرِ مِنْكُمْ) … كَمَا نَدَّدَ الْقُرْآنُ بِالْاِسْتِبْدَادِ وَالْاِسْتِكْبَارِ وَأَثْنَى عَلَى الشُّوْرَى وَالْإِحْسَانِ وَالْعَدْلِ … وَلَكِنَّهُ لَمْ يُنَصِّ لَا عَلَى أُمَّةِ الْإِسْلَامِ يَجِبُ أَنْ يَتَطَابَقَ مَعَهَا مِلْكُ الْإِسْلَامِ أَوْ دَوْلَةُ الْإِسْلَامِ وَلَا عَلَى مَنْ يَخْلِفُ الرَّسُوْلَ فِيْ تَدْبِيْرِ شُؤُوْنِ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَلَا حَتَّى عَلَى ضَرُوْرَةِ أَنْ يَكُوْنَ هُنَاكَ مَنْ يَخْلِفُهُ فَىَذُلُّكَ بَلْ تَرَكَ الْمَسْئَلَةَ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَكَأَنَّهَا دَاخِلَةٌ فِيْ قَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنْتُمْ أَدْرَى بِشُؤُوْنِ دُنْيَاكُمْ اهـ

Baca Juga:  Memanfaatkan Barang Sitaan Penggusuran

Dalam Al-Qur’an telah ditetapkan syari’at, batasan-batasan, halal-haram, dan beberapa kewajiban; baik yang bersifat individual, kelompok, atau kewajiban yang realisasinya membutuhkan orang yang menangani. Al-Qur’an telah menjelaskan kewajiban menaati mereka, “Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada allah dan taatlah kalian kepada rasul dan pada orang-orang yang menangani urusan kalian”. Sebagaimana Al-Qur’an mencela perbuatan keras kepala, sombong, serta memuji musyawarah, perbuatan baik dan adil. Tapi, Al-Qur’an tidak menetapkan kewajiban bagi umat Islam melakukan hal tersebut dalam lingkup kerajaan Islam atau pun pemerintahan Islam dan tidak pula mewajibkan pengangkatan khalifah yang mengatur urusan umat walaupun dalam keadaan darurat. Semua masalah umat diserahkan pada umat Islam itu sendiri. Seakan-akan hal ini sudah tercakup dalam sabda Nabi Muhammad SAW: “Kamu sekalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”.

 

  1. Ad-Din wa as-Daulah wa Tathbiq asy-Syari’ah li Muhammad Abid al-Jabiri, 69:

وَأَمَّا الْعَنْصَرُ الثَّالِثُ فَهُوَ أَنَّ الْخِلَافَةَ بِحَسَبِ رَأْيِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ إِنَّمَا تَكُوْنُ بِالْاِخْتِيَارِ وَلَيْسَ بِالنَّصِّ، ذَلِكَ لِأَنَّهُ مَا دَامَ الصَّحَابَةُ قَدْ تَدَاوَلُوْا بَعْدَ وَفَاةِ رَسُوْلِ اللهِ، وَاخْتَلَفُوْا ثُمَّ اتَّفَقُوْا وَبَايَعُوْا أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّ ذَلِكَ يَعْنِيْ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ لَمْ يَعْهِدْ إِلَى أَحَدٍ بِالْخِلَافَةِ مِنْ بَعْدِهِ غَيْرَ أَنَّ الْإِخْتِيَارَ فِيْ نَظَرِيَّةِ الْخِلَافَةِ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ لَا يَتَجَاوَزُ تَقْرِيْرُ أَنَّ النَّبِيَّ لَمْ يُنَصِّ لِأَيِّ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ. أَمَّا كَيْفِيَّةُ اخْتِيَارِ الْخَلِيْفَةِ فَهَذَا مَوْضُوْعٌ تَقَرَّرَ فِيْهِ مَوَازِيْنُ الْقَوِيِّ. فَمَنْ قَامَ يَطْلُبُ الْخِلَافَةَ لِنَفْسِهِ وَغَلَبَ بِشَوْكَتِهِ وَاسْتَطَاعَ أَنْ يَجْمَعَ النَّاسَ حَوْلَهُ رَاضِيْنَ أَوْ مَكْرُوْهِيْنَ فَهُوَ الْخَلِيْفَةُ اهـ

Baca Juga:  Halaqah Fikih Peradaban Bahas Konsep Negara Islam

Unsur ketiga yaitu bahwa khalifah menurut Ahlussunnah merupakan sebuah pilihan, bukan nash. Karena pada zaman para sahabat telah terjadi beberapa pergantian kekuasaan setelah Rasulullah SAW wafat. Mereka berselisih kemudian sepakat dan membaiat sahabat Abu Bakar as-Shiddiq. Sebab hal tersebut (yakni Rasulullah SAW tidak menetapkan kekhalifahan pada seseorang setelah beliau wafat) bukan pilihan sistem khilafah menurut Ahlussunnah wal jama’ah tidak sampai menetapkan bahwa Nabi Muhammad tidak mengangkat seseorang setelahnya. Adapun metode pemilihan khalifah harus ditetapkan dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang, orang yang sanggup menguasai dan sanggup membuat masyarakat menaatinya, baik rela maupun terpaksa maka dia adalah seorang khalifah.

 

  1. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, VI/661-662:

الْإِمَامَةُ الْعُظْمَى أَوِ الْخِلَافَةُ أَوْ إِمَارَةُ الْمُؤْمِنِيْنَ كُلُّهَا تُؤَدِّيْ مَعْنًى وَاحِدًا وَتَدُلُّ عَلَى وَظِيْفَةٍ وَاحِدَةٍ هِيَ السَّلْطَةُ الْحُكُوْمِيَّةُ الْعُلْيَا وَقَدْ عَرَفَهَا عُلَمَاءُ الْإِسْلَامِ بِتَعَارِيْفَ مُتَقَارِبَةٍ فِيْ أَلْفَاظِهَا مُتَّحِدَةٍ فِيْ مَعَانِيْهَا تَقْرِيْبًا عِلْمًا بِأَنَّهُ لَا تُشْتَرَطُ صِفَةُ الْخِلَافَةِ وَإِنَّمَا الْمُهِمُّ وُجُوْدُ الدَّوْلَةِ مُمْثِلَةٌ بِمَنْ يَتَوَلَّى أُمُوْرُهَا وَيُدِيْرُ شُؤُوْنُهَا وَيَدْفَعُ غَائِلَةَ الْأَعْدَادِ عَنْهَا اهـ

Imamatul ‘Udzma, khilafah, dan imamatul mukminin memiliki makna yang sama dan memiliki tujuan yang sama pula yaitu sulthanah hukumiyah ’ulya. Para ulama mendefinisikan dengan definisi yang berbeda-beda redaksinya namun substansinya sama, yaitu kekhalifahan bukan suatu syarat. Yang paling vital ialah wujudnya sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh orang yang mampu menguasai dan mengurusi urusan pemerintahan dan menjaga keutuhan Negara dari serangan musuh.

 

  1. Al-Jihad fi al-Islam, 81:

يُلَاحِظُ مِنْ مَعْرِفَةِ هَذِهِ الْأَحْكَامِ أَنَّ تَطْبِيْقَ أَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ الْإِسْلَامِيَّةِ لَيْسَ شَرْطًا لِاعْتِبَارِ الدَّارِ دَارَ الْإِسْلَامِ وَلَكِنَّهُ حَقٌّ مِنْ حُقُوْقِ دَارِ الْإِسْلَامِ فِيْ أَعْنَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ. فَإِذَا قَصُرَ الْمُسْلِمُوْنَ فِيْ إِجْرَاءِ الْأَحْكَامِ الْإِسْلَامِيَّةِ عَلَى اخْتِلَافِهَا فِيْ دَارِهِمُ الَّتِيْ أَوْرَثَهُمُ اللهُ إِيَّاهَا فَإِنَّ هَذَا التَّقْصِيْرَ لَا يَخْرُجُهَا عَنْ كَوْنِهَا دَارَ الْإِسْلَامِ وَلَكِنَّهُ يَحْمِلُ الْمُقَصِّرِيْنَ ذُنُوْبًا وَأَوْزَارًا اهـ

Baca Juga:  Akad Nikah Lewat Video Call

Dapat diketahui dari hukum-hukum ini bahwa perealisasian hukum-hukum syariat Islam bukanlah syarat distatuskannya suatu negara sebagai Darul Islam. Namun hal tersebut merupakan hak Darul Islam yang ditetapkan kepada kaum muslim. Ketika kaum muslim gegabah dengan tidak menerapkan hukum-hukum Islam yang telah diwariskan Allah di negara mereka, maka kecerobohan ini tidak sampai mengubah status Darul Islam. Akan tetapi kaum muslim menanggung dosa atas kecerobohannya.

 

  1. Syarh Sullam Taufiq:

مَا الْمُرَادُ بِخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ قَالَ الْمُوَافَقَةُ لِلنَّاسِ مَا عَدَا الْمَعَاصِيَ اهـ

Apa maksud pergauilah manusia dengan budi pekerti yang baik? Ali berkata: Yaitu menyesuaikan pada manusia selain urusan maksiat.”

 

  1. At-Tasyri’ al-Jana`i, I/223:

إِذَا الْقَوَانِيْنُ وَاللَّوَائِحُ مُتَّفَقَةٌ عَلَى نُصُوْصِ الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ أَوْ مُتَمَسِّيَةٌ مَعَ مَبَادِئِ الشَّرِيْعَةِ الْعَامَّةِ وَرُوْحِهَا التَّشْرِيْعِيَّةِ وَجَبَتِ الطَّاعَةُ لَهَا وَحَقَّتِ الْعُقُوْبَةُ عَلَى مَنْ خَالَفَهَا أَمَّا إِذَا جَاءَتِ الْقَوَانِيْنُ وَاللَّوَائِحُ خَارِجَةً عَلَى نُصُوْصِ الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ أَوْ خَارِجَةً عَلَى مَبَادِئِ الشَّرِيْعَةِ الْعَامَّةِ وَرُوْحِهَا التَّشْرِيْعِيَّةِ فَهِيَ قَوَانِيْنُ وَلَوَائِحُ بَاطِلَةٌ بُطْلَانًا مُطْلَقَةً وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُطِيْعَهَا بَلْ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يُحَارِبَهَا وَسَيُبَيِّنُ فِيْمَا يَلِيْ أَسْبَابَ هَذَا الْبُطْلَانِ بَعْدَ أَنْ نَتَكَلَّمَ عَنْ نَظَرِيَّةِ الْبُطْلَانِ ذَاتُهَا اهـ

Undang-undang yang sesuai dengan nash Al-Qur’an dan sunnah atau sesuai dengan pokok-pokok syariat umum yang luhur wajib ditaati dan orang yang melanggar syariat berhak untuk dihukum. Undang-undang yang keluar dari nash Al-Qur’an dan sunnah atau keluar dari pokok ajaran syariat umum dan seluruhnya, maka undang-undang itu merupakan undang-undang yang batil. Tidak diwajibkan bagi seorang pun untuk menaatinya. Bahkan diwajibkan bagi setiap muslim untuk menentangnya dan mencela sisi kebatilannya.

 

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA