Para ulama zaman dahulu kalau berhubungan dengan masalah tauhid itu keras (tegas) sekali. Sampai ada ulama, Abdullah bin Abbas, mengetuk pintu rumah gurunya namun tidak ditemui. Syekh Abdul Qadir ketika berlatih mengaji dengan Syekh Hammad itu beberapa jam tidak ditemui. Rela menunggu meski cucu Nabi. Gurunya pun sengaja, agar terlatih menerima kebenaran karena logika yang haq, bukan karena servis sosial.
كَلِمَةُ حَقٍّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوْتُ
Karena kalimatnya, karena hujjahnya. Bukan karena servis sosial. Meskipun tentu karena kita makhluk sosial maka ada servis-servis sosial. Tapi itu yang kesekian, yang kedua, ketiga atau keempat. Tapi yang paling pokok adalah:
قُلْ فَلِلّٰهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ ۚ فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ اَجْمَعِيْنَ
Katakanlah (Muhammad), “Alasan yang kuat hanya pada Allah. Maka kalau Dia menghendaki, niscaya kamu semua mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 149)
وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ اٰتَيْنٰهَآ اِبْرٰهِيْمَ عَلٰى قَوْمِه
Dan itulah keterangan Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. (QS. Al-An’am: 83)
Maka ketika Nabi Muhammad diajak berdebat orang kafir, beliau menjawab:
قُلْ اَتُحَاۤجُّوْنَنَا فِى اللّٰهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْۚ
Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu hendak berdebat dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu. (Al-Baqarah: 39)
Jadi, dahulu kalau beradu argumentasi dengan orang kafir itu pakai logika. Kalau kamu tidak ikut saya membela kebenaran lewat logika, maka kamu akan mengukur lewat sosial. Bahaya kalau Anda mengukur kebenaran lewat teori sosial. Karena nanti kamu akan bersimpati kepada orang yang dalam posisi teraniaya.
Seperti Israel, mereka terus dibela Amerika karena mereka berkampanye bahwa orang Yahudi itu teraniaya atau korban, karena dulu dibantai oleh Nazi di Jerman. Sampai sekarang Israel menuntut Jerman dan Amerika memberi ganti rugi, karena dulu orang-orang Yahudi ditelantarkan di Polandia, Jerman dan tempat lainnya.
Karena merasa korban maka sekarang mereka berbuat zalim ke orang lain merasa sah, karena dulu mereka adalah korban yang dizalimi. Tidak akan ada selesainya. Makanya saya minta inilah hebatnya Al-Qur’an, kalau melatih kebenaran itu. Ya pokoknya
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ اِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا
Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap. (QS. Al-Isra: 81)
قُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيْدُ
Katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.” (QS. Saba: 49)
Perkara haq jika datang maka yang batil hilang. Haq itu logika. Sebut saja begini, ada orang melakukan kristenisasi dengan memberimu mie dan uang, kamu disuruh mengatakan bahwa Yesus itu Tuhan. Lalu ada orang utang kamu dan tidak mau bayar, tapi dia mengatakan: “Tidak mungkin Yesus itu Tuhan, karena dia lahir di bumi. Enak sekali jadi Tuhan di bumi, padahal tidak ikut menciptakan.”
Mestinya kamu ikut yang hutang tak mau bayar, meski dia keliru karena tidak mau bayar hutang tapi perkataannya benar. Tapi kalau ukuranmu sosial, kamu akan mengatakan: “Utang saja tidak dibayar malah mengajak.” Akhirnya ikut yang memberi saja karena kamu mengukur kebenaran pakai servis sosial. Paham ya?
Sebab menurut teori Al-Qur’an, jika sudah membicarakan kebenaran, maka
فَمَاذَا بَعْدَ ٱلْحَقِّ إِلَّا ٱلضَّلَٰلُ
Jika ada perkara yang haq maka lawannya adalah kesesatan. (QS. Yunus 32)
Tidak ada teori sosial untuk masalah ini. Kalau menurut teori sosial, maka nabi lebih hutang jasa pada Abu Lahab daripada Abu Bakar. Begitu lahir sudah dirawat Abu Lahab. Iya atau tidak? Baru ketemu Islam saat usia 40 tahun. Tapi kebenaran tidak bisa merujuk pada sosial. Kalau merujuk sosial maka Nabi Musa hutang jasa ke Fira’un yang merawatnya sejak kecil. Maka mengajilah agar tidak terlalu salah paham.
Sekarang orang Islam sendiri kadang suka ikut ajaran LSM yang kadang kacau. Pokoknya kalau sudah terzalimi lalu seakan-akan berhak menuntut apa saja. Saya pernah dicurhati: “Gus, orang waktu saya jadi karyawan tidak pernah digaji. Dulu saya dizalimi begini-begini, sekarang saya kaya dan orangnya sekarang melarat.”
Lalu saya jawab: “Kamu keliru, kalau mau fasiq (berbuat dosa) jangan mengajak saya, kiai kok kamu ajak fasiq.” Sebab begitu, karena dia merasa terzalimi saat jadi buruh maka mengajak orang lain agar membenci yang menzalimi.
اَلْإِحْسَانُ اَمْرُ اللهِ اِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Ihsan (berbuat baik) adalah perintah Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
Ihsan itu perintah Tuhan, meski kepada orang yang pernah zalim kita tetap diperintahkan ihsan. Kalau bisa, ya, dimaafkan, kalau tidak bisa jangan mengajak saya. Karena yang dizalimi itu kamu, bukan saya, kenapa saya diajak ikut zalim? Kalau kamu membalas kezalimannya itu pas (boleh), tapi kalau bisa, ya, dimaafkan, kalau mengajak saya berarti kamu zalim. Ketika dia menzalimi kamu tidak bersama saya, kok kamu membalas dia mengajak saya?
Tapi kadang ada juga kiai yang mau diajak menggunjing, lalu mendukung. Pada dasarnya Allah itu memerintahkan ihsan (berbuat baik):
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ.
Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan ihsan (baik) pada tiap-tiap sesuatu. (HR Muslim)
Allah mewajibkan orang berbuat kebaikan. Jika ada orang mengajak kejelekan, lalu membuat gerakan mengajak zalim pada orang yang pernah menzalimi. Maka kita harus menasihati.
Misal ada orang miskin bercerita “Saya sebetulnya dulu kaya, gara-gara tanah saya diambil saudara, tertipu bisnis, akhirnya saya jatuh miskin.” Lalu saya nasihati: “Ditipu orang dan miskin itu takdir, kamu yang sabar.” Dia menjawab: “Tidak bisa, Gus, akan saya tuntut di pengadilan.” Saya nasihati lagi: “Pengacara itu mahal. Pengadilan itu ribet nanti kamu malah tambah miskin.” Kok masih tidak terima juga, tetap saya nasihati: “Kamu sudah kehilangan harta ditambah kehilangan ikhlas, tambah repot.” Tidak bisa saya diprovokasi. Karena menggunjing orang itu hukum dasarnya haram. Lalu saya menzalimi orang yang tidak zalim ke saya itu haram.
Kebenaran itu absolut. Kalau ada orang mengajak anti kepada Allah betapa pun baik dan status sosialnya, tetap harus kita tentang. Karena ajakan tersebut sudah pasti salah. Lagi pula kalau kita hutang sosial pada orang tetap lebih banyak hutang kita kepada Allah SWT.
Misalkan saya 10 tahun dirawat orang nonmuslim, diutangi uang, dibuatkan rumah paling itu hanya 10 tahun. Kalau hutang jasa ke Tuhan itu sepanjang hidup, bahkan sejak kita lahir. Hakikatnya harta yang untuk merawat saya itu milik Allah. Paham ya?
Makanya ketika Fir’aun mengungkit-ungkit jasanya terhadap Nabi Musa, Allah menjawab, “Hai Fir’aun, kenapa engkau mengungkit-ungkit pemberianmu pada Musa, bukankah itu milik-Ku yang dimakan oleh kekasih-Ku.”
Pokoknya kalau mau masalah haq (kebenaran), maka Nabi SAW bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ
Tidaklah seorang hamba mengatakan Laa ilaha illallah, kemudian dia meninggal dengan berpegang teguh pada hal tersebut, melainkan dia pasti masuk surga. Walaupun dia berzina dan mencuri.
Meski pernah zina atau mencuri. Ini bukan berarti Nabi memperbolehkan zina. Bukannya Tuhan memperbolehkan zina. Zina sejak dulu tidak boleh. Ada yang tidak berzina karena takut Allah, ada yang karena tidak laku.
Maknanya kebenaran sejati bahwa Allah itu Tuhan merupakan kebenaran absolut. Meski yang menyampaikan itu orang yang berzina sekali pun, Allah tetaplah Tuhan.
Seperti 1 + 1 = 2, baik imam maupun copet akan memberikan jawaban yang sama. Tidak akan ada yang menjawab 4, pasti akan menjawab 2. Tak mungkin ada yang protes: “Tidak bisa, masa imam masjid jawabannya sama dengan copet?” Kebenaran absolut itu, ya, sama, baik diucapkan oleh imam masjid maupun copet, kalimat Laa ilaaha illallaah tetaplah benar.
Tidak boleh servis sosial itu kamu masukkan ke hati. Biasa saja, seperti saya menyukai kalian. Saya suka kalian karena kalian mengaji, orang mengaji itu wajib dihormati. Sudah itu saja, bukan karena kalian menservis saya. Tuhan yang menyuruh.
Nabi bersabda: “Nanti orang alim akan didatangi orang yang mengaji.” Nabi juga bersabda: “Jika ada orang yang ingin mengaji kamu sambut dan kamu ajar.” Jadi saya mengajar kalian ini karena menuruti perintah Nabi, bukan karena kamu. Paham ya?
Kamu berbuat baik pada istrimu, jangan karena servisnya mau kamu ajak tidur. Tapi karena perintah Allah untuk menggauli istri dengan baik. Tidak mau pun kamu harus tetap pelakukan baik. Ngambek pun harus kamu tetap baik, nanti lama-lama jeleknya habis. Kebaikanmu juga jangan-jangan ikut habis. Jika kamu bisa melakukan itu, maka kamu akan melakukan kebenaran sejati.
Dalam kitab Ihya ada cerita seorang ulama dipanggil oleh anak muda, “Wahai Pak Kiai, nanti datanglah ke rumah saya.” Setelah kiai datang, pemuda itu berkata: “Saya tidak butuh Anda.” Kiai pun pulang. Namun sesampai di rumah dipanggil lagi: “Pak Kiai, acaranya jadi, datanglah ke rumah!” Kiai pun datang lagi, sesampainya di sana: “Tidak jadi, silahkan Anda kembali.” Kiai pun pulang kembali. Kiai pun hanya tersenyum. Kejadian itu berulang sampai tiga kali. Akhirnya pemuda itu mencium lutut kiai: “Pak Kiai, kenapa Anda tidak tersinggung ketika berulangkali saya suruh ke rumah namun saya tolak, saya suruh kembali lagi.” Kiai menjawab: “Kamu itu tetanggaku, kata Nabi kalau diundang tetangga itu harus datang. Jadi saya pun datang. Kamu suruh pulang, saya pulang. Kamu undang lagi, saya pun datang. Saya mengikuti apa kata Nabi, bukan kamu. Kalau menuruti kamu saya pasti marah, karena kamu menipu saya.”
Jadi orang alim itu tidak memikirkan makhluk, yang ada hanya Allah dan perintah Rasulullah. Jadi saya mengajar kalian ini menjalankan wasiat Nabi:
مَنْ كَتَمَ عِلْمًا أَلْجَمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
“Barangsiapa menyembunyikan suatu ilmu, maka Allah akan mengikatnya dengan tali kekang dari api neraka pada Hari Kiamat.”
Pokoknya urusan kebenaran sejati itu ukurannya pakai ajaran. Ukurannya pakai ajaran, jangan sosial. Kalau sosial, nanti siapa pun yang mengatasnamakan diri korban maka Anda akan simpati. Maka saya minta hidup itu peganglah kebenaran. Pokoknya saya setuju:
كَلِمَةُ حَقٍّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوْتُ وَبِهَا نَبْعَثُ
Dengan kalimat haq (benar) kami hidup, dengannya kami wafat, dan dengannya kelak kami dibangkitkan.
Meski yang mengatakan kalimat bisa saja orang-orang pecundang.
أَمْ أَنزَلْنَا عَلَيْهِمْ سُلْطَٰنًا فَهُوَ يَتَكَلَّمُ بِمَا كَانُواْ بِهِۦ يُشْرِكُونَ
Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan, yang menjelaskan (membenarkan) apa yang (selalu) mereka persekutukan dengan Tuhan? (QS. Ar-Rum: 35)
Maka saya mohon agar kalian semua belajar hujjah. Dalam kitab tauhid, dikisahkan ada seorang badui diajak atheis, diajak tidak bertuhan. Si badui marah dan menjawab:
اَلْبَعْرَةُ تَدُلُّ عَلَى الْبَعِيْرِ وَاَثَرُ اْلأَقْدَامِ يَدُلُّ عَلَى الْمَسِيْرِ
Jika ada kotoran sapi pasti ada sapinya, meski saat ini sapinya tidak terlihat karena sudah lari. Jika ada jejak kaki pasti telah ada orang lewat meski sekarang orangnya sudah tidak tampak. Sama juga, adanya makhluk menunjukkan adanya Sang Khalik atau Sang Pencipta.
Jadi mulai dulu ulama itu sampai orang badui saja tahu logika cara menemukan Tuhan. Lha yang seperti ini sudah permanen, meski diservis oleh aliran tertentu yang menyesatkan tetap tidak akan mau, karena sudah memegang kebenaran permanen. Maka Allah berfirman:
قُلِ اللهُ يَهْدِيْ لِلْحَقِّ اَفَمَنْ يَّهْدِيْٓ اِلَى الْحَقِّ اَحَقُّ اَنْ يُّتَّبَعَ اَمَّنْ لَّا يَهِدِّيْٓ اِلَّآ اَنْ يُّهْدٰى
Katakanlah, “Allah-lah yang membimbing kepada kebenaran.” Maka manakah yang lebih berhak diikuti, Tuhan yang membimbing kepada kebenaran itu, ataukah orang yang tidak mampu membimbing bahkan perlu dibimbing? (QS. Yunus: 35)
Sebagian ayat yang keras:
فَمَاذَا بَعْدَ ٱلْحَقِّ إِلَّا ٱلضَّلَٰلُ
Maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan. (QS. Yunus 32)
Setelah kebenaran yang ada hanya kesesatan, meski dengan sekian servis dan bermacam hal lainnya. Pokoknya kalau tidak benar pasti sesat.
Sebagai makhluk sosial kita harus berbuat sosial, tapi sosial itu pahalanya ibadah sosial. Tapi kalau ibadah mahdhah harus pakai hujjah. Makanya saya bilang kenapa pahala shalat itu lebih baik daripada sedekah.
Orang shalat Dhuhur (maktubah) dengan orang sedekah 50 ribu untuk fakir miskin tapi dia tidak shalat Dhuhur, menurut Anda afdhal mana? Kalau menurut Nabi, tetap afdhal yang shalat Dhuhur meski tidak sedekah. Karena shalat Dhuhur itu ciri khas kamu beriman kepada Allah SWT. Kalau sedekah 50 ribu ke anak yatim itu biasa, karena orang yang tidak shalat, PSK atau copet pun bisa sedekah.
Maksudnya, kalau kamu iman kepada Allah caranya bagaimana? Shalatlah, Allah tak tampak pun tetap kita sujudi, tetap kita ruku’ sebagai bukti bahwa kita beriman. Kamu tidak boleh membanggakan amal sosial: “Saya tadi habis sedekah ke fakir miskin 100 ribu.” Karena orang fasik, orang PKI, orang komunis, orang Amerika pun punya ibadah sosial. *
* Disarikan dan dirangkum dari kajian dan ceramah Gus Baha di berbagai tempat. (Dino Turoichan)