Search

Di Antara 100 Tokoh Dunia

Pembelaannya pada kaum lemah dan kaum terpinggirkan tak diragukan. Kritiknya kadang membuat daya kejut di lingkungan kulturalnya: pesantren. Komitmennya terus berkembang, menghargai kebhinnekaan dan merawat keberagaman. Tahun ini, Majalah Time memberikan predikat Sinta Nuriyah dalam ’100 Tokoh Berpengaruh Dunia’.

 

Kehadirannya  ditunggu-tunggu anak-anak yatim piatu, Juga ibu-ibu janda serta para dhuafa, fakir, miskin. Nyai Hj Sinta Nuriyah menjadi figur yang akrab di hati mereka. Apalagi, dalam setiap kegiatan Ramadhan yang dijalani: Sahur Keliling.

Sesampai di lokasi acara, mereka pun menunjukkan wajah cerianya. Di sinilah kesempatan emas.  Hj Sinta Nuriyah mengajak anak-anak secara aktif memahami empat pilar kebangsaan. Dengan sabar dan jiwa keibuan, ia mengajak anak-anak untuk memahami apa itu Indonesia.

“Saya sadar, kita tinggal di negara apa? Dasar negaranya apa? Lalu apa semboyannya?” kata Bu  Nyai melempar pertanyaan kepada anak-anak dan ibu-ibu.

Tak sedikit anak-anak menjawab dengan pelan tapi pasti. Secara perlahan anak-anak menjawab, “Kita tinggal di negera Indonesia”.

“Lalu apa dasar negaranya?” tanya Sinta Nuriyah berlanjut.

Mereka menjawab, “Pancasila”.

“Pancasila ada berapa?”

“Ada lima.”

”Siapa yang bisa menjawab akan dikasih hadiah,” pancing Sinta Nuriyah.

“Satu, Ketuhanan yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Lima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Demikia jawaban mereka dengan suara kompak.

Lalu yang terakhir, “Semboyannya negara Indonesia apa?”

“Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi satu jua.”

“Yang beda apanya?” lanjut Ibu Negara ke-4 RI ini melontarkan pertanyaan.

“Berbeda agamanya, sukunya, bahasanya, budayanya, adat istiadatnya, dan makanannya,” kata anak-anak sambil dituntun Nyai Sinta Nuriyah.

Terbawa kata makanan, istri KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur, almaghfurlah) ini rupanya menguji anak-anak tentang makanan di daerahnya. “Makanan khas Gresik apa saja?”

“Nasi krawu, pudak, dan otak-otak bandeng.”

“Nanti Bu Sinta apa dibawakan pudak nggak?” Tanya Sinta dengan rasa senang karena anak-anak sudah tahu makanan khas daerahnya. Spontan anak-anak menjawab “Iya”.

Kegiatan di Gresik pada 2017 direkam Aula Nisa, di antara Sahur Kelilingnya sebagai bagian rangkaian di sejumlah daerah lain selama bulan suci Ramadhan. Pada penghujung acara Nyai Sinta Nuriyah membagikan satu persatu hadiah yang telah disediakan kepada anak-anak yang aktif dan merespon setiap pertanyaan.

Merawat keberagaman

Catatan Aula Nisa, ternyata Sahur Keliling sebagai aktivitas rutin Nyai Sinta Nuriyah telah berjalan 18 tahun pada 2018 ini. Atas pertimbangan itulah, antara lain, Majalah Time menempatkan dalam deretan 100 Tokoh Dunia pada tahun ini.

Baca Juga:  Sri Mulyani Indrawati - Pikirkan Provinsi Baru

“Saya mulai mengajak mereka untuk melagukan Indonesia Raya, agar mereka tumbuh semangat kebangsaan mereka. Tumbuh kecintaan mereka kepada bangsa dan negara. Saya sampaikan itu tak keluar dari ajaran agama, karena hubbul wathan minal iiman. Cinta tanah air itu sebagian dari iman,” tutur Sinta Nuriyah.

Cinta tanah air berarti juga mencintai keberagaman di Indonesia. Hal itu, menurut Sinta Nuriyah, sesuai dengan makna puasa. “Apa sih ajaran puasa itu? Pada ujungnya mempererat tali persaudaraan yang sejati diantara anak bangsa. Bukankah ini sama paralel dengan situasi dan kondisi bangsa, kerukunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu harus kita jaga, harus kita bina,” kata perempuan kelahiran Jombang, 8 Maret 1948.

Sahur keliling mulai dijalani Sinta Nuriyah ketika suaminya, KH Abdurahman Wahid masih menjadi Presiden keempat Indonesia pada 2000. Ketika itu, Sinta mengunjungi sejumlah kawasan yang menjadi ‘tempat tinggal’ warga miskin.

“Kita hanya bersilaturahmi menyapa mereka dengan baik. Menanyakan bagaimana puasanya, dan apa yang menjadi kesulitan dalam kehidupannya. Kami banyak mendapatkan masukan, bagaimana kehidupan mereka. Bagaimana mereka berjuang untuk mencari sesuap nasi,” kata Sinta.

Aspirasi warga miskin yang didapat saat Sahur Keliling dijadikan masukan untuk membuat kebijakan yang berdampak pada kaum dhuafa itu. Sahur Keliling ini terus dilakukan Sinta, meski Gus Dur tak lagi menjadi presiden sejak Juli 2001.

Namun, selama 10 tahun terakhir, Sinta lebih menekankan masalah toleransi dalam setiap ceramahnya. “Intoleransi kian menguat. Kerukunan itu digoyang-goyang. Negara dan bangsa selalu diteror dan sebagainya. Saya merasa bahwa kebhinekaan itu harus diperkuat,” jelas Sinta.

Beberapa tahun terakhir ini, keberagaman dan toleransi di Indonesia menjadi sorotan karena diskriminasi terhadap minoritas seperti penutupan masjid dan gereja di sejumlah daerah. Juga ada kasus penodaan agama oleh Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok (mantan Gubernur DKI Jakarta), yang kemudian mendorong kelompok Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI menggelar rangkaian demonstrasi yang menuntut Ahok dihukum, bersamaan dengan masa Pilkada Jakarta. Ahok kemudian dihukum dua tahun penjara.

Dalam penelitian Lembaga Survei Indonesia menunjukkan dalam pilkada Jakarta kembali muncul pembelahan politik yang belum hilang saat pemilihan presiden 2014 lalu. Kondisi sosial dan politik itu menimbulkan kekhawatiran dalam diri Sinta Nuriyah. “Melihat yang tempo hari, itu ya 214, 212 saya rasanya sampai nangis hati saya,” kata Sinta.

Baca Juga:  Badriyah Fayumi, Penulisan Sejarah Bias Gender

“Apalagi bapak (Gus Dur, red) menjelang wafat ‘kan selalu yang dikhawatirkan adalah perpecahan bangsa ini. Jadi itulah yang membuat hati saya itu seperti dicambuk. Anak bangsa ini harus diselamatkan, negara ini harus diselamatkan”.

Gresik hanya merupakan salah satu kota yang dikunjunginya dalam acara Sahur Keliling selama bulan Ramadhan, dan sudah dijalaninya selama 17 tahun. Pada Ramadhan tahun 2018 ini, masuk 18 tahun Sinta berkeliling ke kota-kota di Pulau Jawa, serta Jambi di Sumatra dan Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Tjiong Tjwan Liem, panitia di Cirebon pada 2017, misalnya, mengakui atas permintaan untuk menggelar acara tersebut meningkat dari tahun ke tahun. “Banyak permintaan dari daerah untuk menggelar sahur keliling, tak semua kota bisa dikunjungi, akhirnya yang jaraknya berdekatan disatukan di satu wilayah,” kata dia.

Ketua Panitia penyelenggaraan acara bersama Sinta Nuriyah di Cirebon, Yohanes Muryadi mengatakan setiap tahun acara ini melibatkan anak-anak muda agar ikut dalam menyebarkan sikap toleran. “Kelompok radikal memengaruhi kaum muda, di mana-mana meningkat terus. Ini yang perlu kita waspadai. Kita gunakan agama untuk rukun. Toleransi itu penting sekali,” jelas Yohanes.

Setelah buka puasa bersama di Cirebon, Sinta menggelar sahur keliling di Indramayu. Dini harinya, bersama rombongan harus menempuh perjalanan selama lebih dari satu jam dari Kota Cirebon dengan kondisi jalan yang tak selalu mulus.

Sampai di sebuah Masjid di Desa Totoran Kecamatan Pasekan, Sinta Nuriyah masih tampak bersemangat memberikan ceramah dalam acara sahur keliling bersama dengan warga nelayan dan eks-buruh migran di Indramayu pada awal Juni 2017. Di Indramayu, yang menjadi panitia Sahur Keliling adalah keuskupan Bandung yang sudah terlibat dalam aktivitas ini sejak 2000 lalu.

“Misi acara sahur keliling ini sesuai dengan ajaran Katolik juga, memperhatikan kaum lemah merupakan visi misi universal, apalagi dengan situasi yang sekarang Sahur Keliling merupakan pengejawantahan dari Pancasila,” kata Romo Rudianto, perwakilan dari Keuskupan Bandung.

Sejak awal Sinta memang melibatkan kelompok agama minoritas dalam Sahur Keliling, dan kerap dilakukan di klenteng ataupun gereja. Ia pernah mendapatkan penolakan dari ormas Islam di Semarang dan Belitung.

“Berbuka di tempat seperti itu akan merontokkan akidah orang Islam, katanya begitu. Aduh kok murah banget ini orang Islam,” kata Sinta heran. “Akhirnya sesudah pidato, saya tanyakan,’Bapak ibu sekalian siapa yang tidak pernah makan di restorannya orang Cina?’ Tidak ada, semuanya pernah. ‘Siapa yang tidak pernah membeli kue buatan Cina?’ Enggak ada. Lha itu apa bedanya makan di sini dan di sana itu. Ya sudah kalau tidak ada bedanya mengapa di pertanyakan, dipersoalkan jika tak ada bedanya,” jelas Sinta.

Baca Juga:  Masalah Shalat Jamaah Perempuan

Meski begitu Sinta memilih pendekatan yang berbeda terhadap kelompok yang menentangnya.

“Cobalah kita dekati mereka dengan kasih sayang. Selama ini mereka ditempa dengan kekerasan sampai akhirnya hatinya membeku. Bila kita dekati dengan kasih sayang sebagai manusia pasti hatinya tersentuh. Tidak mungkin manusia itu tak punya nurani,” kata dia.

Pemahaman agama yang ‘hanya pada kulit’ membuat banyak orang mudah terprovokasi untuk menolak mereka yang berbeda dengan kelompoknya. “Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, dengan memakai senjata agama mereka langsung patuh. Itu yang mengkhawatirkan, bila seperti ini bagaimana kita mempertahankan (bangsa) ini,” kata Sinta, Pendiri dan Aktivis PUAN Amal Hayati Jakarta.

 

Toleransi, bela si Lemah

Aktif menyuarakan toleransi, kesetaraan dan anti-diskriminasi membuat sosok Sinta Nuriyah-Rahman diperhitungkan bukan hanya tingkat nasional tapi juga tingkat internasional. Sebelum mendapat predikat 100 Tokoh Dunia versi Majalah Time, Sinta Nuriyah telah menerima banyak penghargaan baik nasional dan tingkat nasional, seperti masuk ke dalam daftar 11 Perempuan Berpengaruh Dunia versi Majalah New York Times pada 2017.

Di hari-hati ketika kita kehilangan pijakan dan panutan, perempuan-perempuan Indonesia pun perlu mencontoh sosok Sinta Nuriyah sebagai panutan perempuan Indonesia.

Sosoknya memperjuangkan kesetaraan dan keserasian jender. Baginya, “Semua orang punya hak untuk menyembah Tuhan, tak hanya segelintir orang. Itu adalah ajaran Islam”.

Sinta Nuriyah merayakan hari ulang tahun ke-70 pada 8 Maret 2018 lalu diperingati bersama keempat putri dan cucu-cucunya di Jakarta. Memiliki banyak aktivitas kebangsaan tak membuatnya melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dari 4 orang putri: Alissa Qotrunada Munawaroh (Alissa Wahid), Zannuba Arifah Chafsoh-Rahman (Yenny Wahid), Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Mereka pun meneruskan cita-cita sang ayah.

Yenny Wahid menggeluti bidang politik, ikut jejak sang ayah. Namun, belakangan menggerakkan The Wahid Foundation (dulu: The Wahid Institute), mengelola kelas pemikiran Gus Dur. Sementara Alissa Wahid, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari berjuang melalui bidang: pendidikan, sosial, advokasi, riset hingga gerakan motivasi untuk orang muda. Si bungsu meneruskan perjuangan Gus Dur dalam bidang budaya.

Kini seluruh putri-putri Gus Dur-Sinta Nuriyah, melanjutkan perjuangan Gus Dur dan dirinya dalam menyuarakan toleransi dan anti-diskriminasi.

Ria Ahdia

 

 

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA