Surabaya – Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) bekerja sama dengan UNICEF, menyusun rencana intervensi gizi untuk bencana erupsi Gunung Semeru di Lumajang. Penyusunan ini didukung Dinas Kesehatan Jawa Timur dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim, serta Pemerintah Kabupaten Lumajang. Kegiatan penyusunan ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kerjasama Unusa-UNICEF dalam penyusunan rencana kontinjensi Gizi saat Tanggap Darurat Bencana.
Seksi Keluarga Gizi Masyarakat (KGM) Dinkes Provinsi Jawa Timur, Afidah Andani, S.KM menjelaskan, penanganan gizi dalam situasi bencana menjadi bagian penting untuk menangani pengungsi secara cepat dan tepat. “Permasalahan kesehatan dan gizi saat bencana juga merupakan akibat dari rusaknya berbagai sarana dan prasarana fisik seperti rusaknya sarana pelayanan kesehatan, terputusnya jalur distribusi pangan, rusaknya sarana air bersih dan sanitasi lingkungan yang buruk,” tambahnya, Kamis (9/12).
Dikatakannya, bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan masyarakat baik yang disebabkan oleh faktor alam atau non alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. “Kerusakan fisik sebagai dampak bencana menjadi hal yang sangat tampak. Namun, dampak yang lebih mendasar ialah timbulnya permasalahan kesehatan dan gizi pada kelompok masyarakat korban bencana,” ungkapnya.
Afidah menuturkan, posisi wilayah Jawa Timur, baik secara geografis maupun demografis, memang termasuk kawasan yang rawan terjadinya bencana alam maupun non alam. Mulai dari gempa tektonik, tsunami, banjir dan angin puting beliung. “Karena itulah masalah gizi menjadi persoalan yang bisa timbul karena saat bencana ketersediaan pangan dan gizi akan sangat berkurang,” imbuhnya.
Menurut Afidah, persoalan pangan dan gizi dapat berdampak besar pada anak-anak, balita, ibu hamil dan masyarakat pada umumnya. Bantuan makanan yang sering terlambat, tidak berkesinambungan, dan terbatasnya ketersediaan pangan lokal dapat memperburuk kondisi yang ada.
“Karena menjadi hal yang penting, sudah seharusnya upaya penanganan gizi dalam situasi bencana selalu menjadi rangkaian kegiatan yang dimulai sejak sebelum terjadinya bencana, pada situasi bencana yang masuk dalam tahap tanggap darurat, maupun pasca bencana,” ungkapnya.
Afidah menjelaskan, dalam penanganan bencana alam, persoalan seperti kesehatan nutrisi menjadi kunci utama dalam kesehatan masyarakat. “Apalagi pada kondisi bencana alam dan situasi krisis, kesehatan masyarakat dapat mengalami perubahan drastis. Karena itu, perlu dilakukan perbaikan kesehatan, termasuk melakukan pemeliharaan usai pemulihan,” imbuhnya.
Dadang Iqwandy, ST, MT, Kasi Pencegahan BPBD Jatim mengungkapkan, tidak kurang dari 500 buah gunung berapi yang tersebar di Indonesia, sekitar 126 di antaranya adalah gunung berapi aktif dan 7 dari gunung aktif tersebut seringkali meletus. Oleh karenanya, penting bagaimana masyarakat mengetahui bagaimana melakukan mitigasi bencana alam gunung berapi.
“Bencana bisa datang kapan saja tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu. Oleh karena itu, kita harus siap kapan pun dan dimanapun berada. Hal yang terpenting adalah tetap mengikuti arahan dari petugas yang berwenang,” ungkapnya.
Dadang menambahkan, kontinjensi adalah suatu kondisi yang bisa terjadi, tetapi belum tentu benar-benar terjadi. Perencanaan kontinjensi merupakan suatu upaya untuk merencanakan sesuatu peristiwa yang mungkin terjadi, tetapi tidak menutup kemungkinan peristiwa itu tidak akan terjadi.
“Kontinjensi atau perencanaan ke depan sangat diperlukan, terlebih dalam keadaan tidak menentu saat ini, yang mana perlu skenario, tujuan, tindakan manajerial, dan sistem untuk menanggapi kejadian bencana agar dapat mencegah, atau mengatasi secara lebih baik keadaan atau situasi darurat yang dihadapi,” ungkapnya. (Humas Unusa)