Search

Kemana Civil Islam dari NU?
Oleh Moch Eksan

Majalahaula.id – Dalam sesi wawancara di Keep Talking dengan Eep Saefulloh Fatah, Sukidi menyebutkan bahwa Civil Islam adalah pijakan Presiden Joko Widodo dalam membangun kekuasaan. Jokowi begitu kuat lantaran Ormas Islam dapat dijinakkan, sehingga sampai menjelma menjadi Machiavelli Jawa, Pinokio Jawa dan Hitler Jawa.

Labelisasi demikian buruk pada kekuasaan Jokowi berbalut permisifisme, hipokritisme dan represifisme, karena NU dan Muhammadiyah sudah menjadi bagian dari kekuasaan rezim tersebut. Negeri ini kehilangan peran Ormas Islam sebagai civil society yang kritis terhadap pemerintah. Suatu kekuatan non pemerintah yang punya kemampuan narasi banding dari policy negara.

NU dalam perkembangan terakhir, semakin runtang-runtung dengan pemerintah. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Dr (HC) Yahya Cholil Staquf, malah bangga dengan program kerjasama antara NU dengan berbagai kementerian yang dinilai sebagai prestasi.

Apalagi, para pejabat teras PBNU ada yang menjadi anggota kabinet atau menjadi penyelenggara negara daerah atau kampus. Mereka yang langsung atau tidak, telah menumpulkan pisau analisis NU dalam merespon kebijakan negara dan dinamika kebangsaan.

Jargon kampanye Gus Yahya menghidupkan Gus Dur, ternyata hanya lips service. Gus Yahya mengalami krisis tema dalam mendinamisasi wacana kebangsaan. Awalnya, banyak yang berharap, Gus Yahya menjadi little Gus Dur yang sukses sebagai simbol perlawanan rakyat, selaku arus utama pemikiran publik, dan selalu menyediakan wacana banding dari negara.

Realitasnya, ekspektasi publik yang terlalu besar kepada Gus Yahya tersebut, taklah sebanding dengan pesona intelektual Gus Dur. Tampaknya, Gus Yahya belum kulino dengan pergulatan pemikiran kelas dunia. Ditambah dengan tradisi literasi yang belum sekuat tokoh pujaannya itu.

Baca Juga:  Idul Fitri Bukanlah Hari Kemenangan

Jujur harus diakui, NU kehilangan civil Islam dalam pengertian Robert W Hefner. Bagaimana tidak? NU cenderung pasif terhadap wacana dan gerakan antidemokrasi dari penguasa untuk mempertahankan kekuasaan dengan mengotak-atik konstitusi dan cawe-cawe terhadap kekuasaan kehakiman.

Gus Yahya bahkan sampai 3 tahun memimpin PBNU, belum pernah memberikan respon terhadap maraknya kasus money politic dalam pemilu, kecenderungan dinastik politik yang menguat, dan sumberdaya politik dan ekonomi yang dikuasi oleh sekelompok oligarki. Respon NU sangat penting untuk mengkoreksi praktek demokrasi yang kian jauh dari nilai demokrasi yang diperjuangkan oleh Gus Dur, yaitu:

Pertama, nilai demokrasi yang diperjuangkan Gus Dur adalah demokrasi yang berbasis kuasa rakyat. Terutama wong cilik. Bukan kuasa modal. Negara didirikan dengan tujuan untuk melindungi rakyat kecil. Gus Dur tahu persis pandangan Imam Syafi’i, manzilul imam ‘alal ra’iyyah kamanzilil waliyyi ‘alal yatim (posisi pemimpin atas rakyat seperti posisi wali atas anak yatim).

Suburnya praktek money politic telah menutup peluang para aktivis maju dan terpilih menjadi pejabat negara yang dipilih melalui pemilu. Jabatan tersebut banyak diisi oleh para pengusaha yang berkelebihan uang. Kuasa modal mengambilalih kuasa rakyat dalam politik elektoral.

Dalam politik elektoral, Gus Dur punya pengalaman menarik. Gus Dur menjadi presiden ke-4 tak mengeluarkan modal sedikit pun. Apalagi memang tak punya modal finansial. Gus Dur terpilih pada Sidang Umum Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) karena politik moral bukan politik modal.

Sebab itu, Gus Dur selalu berseloroh, bahwa Gus Dur menjadi presiden hanya bermodal dengkul. Dan dengkulnya pun bukan dengkul dirinya tapi dengkul Amien Rais. Ini bukti bahwa moral politik di atas modal modal politik. Kini, bersamaan dengan maraknya pragmatisme, kondisi di atas justru terbalik.

Baca Juga:  Spiritualitas Haji, Buku Karya Rektor UINSA Yang Menjadi Pengobat Rindu Makkah Madinah

Kedua, Gus Dur merupakan salah satu tokoh reformasi bersama dengan Megawati Soekarno Putri, Amien Rais, Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang mendorong reformasi. Salah satu sebab reformasi adalah maraknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pemerintahan Orde Baru.

Barang tentu, demokrasi yang diperjuangkan Gus Dur adalah demokrasi yang anti-KKN, bukan justru sebaliknya. Pada saat demokrasi menyemarakkan politik dinasti, apalagi untuk memuluskan agenda politik dinasti ini mengotak-atik aturan dan menyalahgunakan kekuasaan, maka praktek demokrasi yang berjalan semakin jauh dari nilai demokrasi Gus Dur.

Kata Gus Dur, tidak ada satu pun jabatan di dunia ini yang harus dipertahankan mati-matian. Sebab di atas politik kekuasaan itu adalah kemanusiaan. Merubah aturan, menggunakan aparatur negara, dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya, semua itu menentang nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dalam pandangan Gus Dur, kekuasaan diraih dan digunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Seperti kaidah yang dipegah-teguh Gus Dur, tasharraful imam ‘ala ra’iyyah manutun bil mashlahah (tindakan pemimpin itu harus mengacu pada kemaslahatan).

Ketiga, Gus Dur menentang pemusatan kekuasaan dan kekayaan pada segelintir orang. Islam kata Gus Dur agama yang menghendaki keadilan sosial. Zakat adalah mekanisme distribusi kekayaan dan terapi sosial atas ketimpangan dan kesenjangan yang berlatar perbedaan penguasaan kekayaan negara.

Dalam berbagai tulisannya bertema keadilan sosial, ayat Alquran yang acapkali dikutip oleh Gus Dur, kaila yakuna dulatan bainal aghniyai minkum (Supaya harta itu jangan beredar diantara orang kaya di antara kamu Q.S Al-Hasyr:7). Ini dalil pemerataan ekonomi yang menjamin keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Baca Juga:  Tantangan Pembelajaran Al-Qur’an Masa Kini Menurut Quraish Shihab

Fenemona konglomerasi pada Orde Baru dan oligarki pada Orde Reformasi, merupakan gejala lazim ketidakberdayaan negara menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan ekonomi. Yang paling bertanggungjawab adalah pemerintah yang lambat mewujudkan welfare state. Semua warga tanpa terkecuali berhak untuk menikmati kekayaan negara untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran.

Selama 21 bulan memerintah Indonesia, Gus Dur menaikkan gaji aparatur negara, baik ASN, TNI/Polri maupun pensiunan. Kenaikan gaji ini untuk meningkatkan pendapatan penyelenggara negara sebagai stimulus pertumbuhan dan pemerataan ekonomi sekaligus.

Diharapkan, jumlah kelas menengah meningkat untuk mengurangi gap antara si kaya dan si miskin yang menganga. Mereka bisa menjadi jembatan emas yang menghubungkan warga negara papa dan kaya. Aparatur negara itu menjadi katalisator yang mempererat harmoni sosial.

Alhasil, hilangnya civil Islam di NU sungguh merugikan NU dan Indonesia. Sebelum semua terlambat, NU mesti mengingat kejayaan peran dan kiprah NU selama 15 tahun kepemimpinan Gus Dur. Bahwa, negeri ini membutuhkan NU sebagai kekuatan civil society. Sebuah Ormas Islam yang mandiri, mampu mengatur diri sendiri, dan mampu bersuara kritis pada pemerintah.

Kerjasama NU dengan kementerian, konsesi tambang yang dikelola NU, serta keberadaan kader NU di kabinet, jangan sampai mematikan api Gus Dur vis a vis negara. Justru peran moral force dan social control NU semakin berbasis data yang solid dan valid. Sehingga, pemerintah memiliki lawan bertanding yang imbang dalam membuat keputusan berkualitas.

Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA