Search

Relevansi Strategi Dakwah Wali Songo bagi Perencanaan Strategis NU di Abad Ke-21
Oleh : Heri Junaidi, S.Sos.*)

Majalahaula.id – Wali Songo adalah figur kunci dalam penyebaran Islam di Nusantara pada abad ke-14 hingga ke-16, khususnya di Pulau Jawa, dengan strategi dakwah mereka yang penuh kebijaksanaan, akulturasi budaya, dan pendekatan humanis menjadikan Islam diterima dengan baik oleh masyarakat lokal. Wali Songo tidak hanya memperkenalkan ajaran Islam, tetapi juga mengadaptasi cara penyampaian yang sesuai dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat.

Sebagai organisasi yang berakar kuat pada nilai-nilai spiritual dan sosial, Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada tahun 1926 oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dan para ulama lainnya yang bertujuan untuk melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah dan sejalan dengan tradisi Wali Songo. NU mengusung konsep al-muhafadhah ‘ala al-qadim as-shalih wa al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Prinsip ini sangat relevan dalam menghadapi tantangan modern, seperti globalisasi, perubahan iklim, dan ketimpangan sosial.

Beberapa aspek relevansi strategi dakwah Wali Songo yang dapat diimplementasikan oleh NU di Abad Ke-21dalam mengembangkan visi dan misi dakwahnya, yakni : Pertama, Pendekatan Inklusif dan Humanis. Wali Songo dikenal karena 1) Pendekatan dakwah yang inklusif. Wali Songo menyadari pentingnya membangun hubungan harmonis di tengah masyarakat yang beragam secara budaya dan agama. Mereka tidak hanya berdakwah kepada masyarakat Muslim, tetapi juga membangun relasi dengan pemeluk agama lain untuk menciptakan perdamaian. Pendekatan ini berhasil menciptakan suasana toleransi dan kohesi sosial yang kuat. 2) Mengedepankan dialog. Wali Songo menggunakan pendekatan dialogis untuk menyampaikan ajaran Islam. Mereka berdialog dengan masyarakat tanpa memaksakan keyakinan. Pendekatan ini menunjukkan rasa hormat terhadap keberagaman pemikiran dan kepercayaan. Contohnya, Sunan Bonang dikenal dengan metode diskusi filosofis untuk menjelaskan konsep ketuhanan dan kehidupan kepada masyarakat yang masih memeluk kepercayaan Hindu-Buddha. 3) Menekankan Nilai Kemanusiaan. Pendekatan humanis Wali Songo terlihat dari perhatian mereka terhadap nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan, kesejahteraan, dan kepedulian sosial. Sunan Drajat, misalnya, dikenal sebagai wali yang sangat peduli terhadap orang miskin dan lemah. Beliau mengajarkan umat Islam untuk membantu sesama tanpa memandang status sosial. 4) Pemanfaatan Simbol dan Ritual Lokal. Wali Songo memasukkan elemen-elemen Islam ke dalam simbol dan ritual lokal. Misalnya, tradisi slametan dan tahlilan adalah perpaduan antara budaya lokal dengan ajaran Islam. Dengan cara ini, masyarakat tidak merasa terasing dengan ajaran baru, melainkan merasakan kesinambungan dengan tradisi mereka. 5) Penghormatan terhadap keberagaman budaya masyarakat lokal. Wali Songo memahami pentingnya menjaga harmoni dalam masyarakat yang kaya dengan tradisi lokal. Mereka tidak langsung menentang adat istiadat yang telah lama dianut, melainkan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam praktik budaya yang ada. Misalnya adalah Tradisi Wayang. Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah untuk menyampaikan pesan-pesan Islam. Dalam cerita-cerita wayang, Beliau menyisipkan nilai-nilai tauhid, akhlak, dan ajaran Islam lainnya; Gamelan dan Seni Musik. Wali Songo memanfaatkan seni gamelan dan tembang Jawa untuk menyampaikan ajaran Islam dengan cara yang mudah diterima oleh masyarakat. NU dapat mengadaptasi pendekatan ini dengan menekankan nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan, terutama di tengah tantangan globalisasi dan isu pluralisme yang semakin kompleks.

Baca Juga:  Membangkitkan Potensi Santri Dalam Dunia Sepak Bola Kita

Kedua, Akulturasi Budaya. Strategi dakwah Wali Songo yang memadukan ajaran Islam dengan budaya lokal, seperti wayang, seni, dan tradisi, menunjukkan pentingnya memahami konteks lokal dalam menyampaikan pesan keagamaan. NU dapat terus mengembangkan pendekatan ini melalui program dan kegiatan pada bidang kebudayaan, pendidikan, dan seni yang relevan dengan generasi muda di era digital, sehingga nilai-nilai Islam tetap relevan dan menarik.

Ketiga, Kepemimpinan Visioner. Wali Songo tidak hanya berdakwah, tetapi juga menjadi pemimpin yang mampu membangun tata sosial yang harmonis dan berkelanjutan. NU, sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, dapat meneladani kepemimpinan visioner ini dengan merancang program-program strategis yang mendukung pembangunan umat di bidang pendidikan, ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat.

Baca Juga:  Pesantren dan Penguatan Literasi Keuangan Syariah

Keempat, Pemanfaatan Teknologi. Jika Wali Songo menggunakan media seni dan budaya sebagai alat dakwah, NU di abad ke-21 harus memanfaatkan teknologi modern, seperti media sosial, platform digital, dan konten kreatif untuk menyebarkan pesan Islam yang moderat dan damai. Strategi ini akan sangat efektif untuk menjangkau generasi muda yang lebih akrab dengan dunia digital.

Kelima, Penekanan pada Pendidikan. Wali Songo sangat menekankan pentingnya pendidikan untuk membentuk karakter masyarakat. NU dapat melanjutkan tradisi ini dengan memperkuat lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non-formal, termasuk pesantren, dengan kurikulum yang relevan untuk menghadapi tantangan global, seperti krisis moral, perubahan iklim, dan ketidakadilan sosial.

Keenam, Sinergi dengan Pemerintah dan Masyarakat. Wali Songo mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan berbagai pihak, termasuk penguasa lokal, untuk memastikan dakwah mereka berjalan efektif. NU dapat mengikuti jejak ini dengan memperkuat kemitraan strategis bersama pemerintah, masyarakat sipil, dan organisasi internasional dalam mengatasi isu-isu global, seperti radikalisme, kemiskinan, dan ketimpangan.

Baca Juga:  Sufisme NU Pasca Habib Luthfi Bin Yahya

Strategi dakwah Wali Songo tetap relevan sebagai inspirasi bagi perencanaan strategis NU di abad ke-21. Dengan mengadaptasi pendekatan inklusif, akulturasi budaya, pemanfaatan teknologi, dan pendidikan yang berorientasi pada pemberdayaan umat, NU dapat terus menjadi motor penggerak Islam moderat di Indonesia dan dunia. Implementasi nilai-nilai ini tidak hanya akan memperkuat peran NU, tetapi juga memperkuat harmoni dan keberlanjutan sosial di tengah tantangan global yang semakin kompleks.

 

 

*) Penulis adalah Wakil Ketua I MWCNU Panji dan Sekretaris Pengurus Cabang Badan Perencanaan Nahdlatul Ulama (PC BAPENU) Kabupaten Situbondo

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA