Majalahaula.id – Saya tulis judul ini berangkat dari tema khutbah Idul Adha di Masjid Baiturrahim Mentaras Dukun Gresik. Karena sudah kali ketiga di masjid ini dan kali kedua untuk Idul Adha, spontas gairah moderasi beragama muncul di detik-detik menuju mimbar Id. Alasan lain khawatir “Tu lagi tu lagi”. Berikut catatan refleksinya.
Idul Adha tahun ini di saat kita sebagai bangsa dan umat beragama dihadapkan pada tiga tantangan, pertama berkembangnya sikap dan praktik beragama secara ekstrim dan mengesampingkan nilai-nilai kemanusia. Kedua, berkembangnya klaim kebenaran dan pemaksaan tafsir keagamaan yang dipicu faktor politik, ekonomi dan budaya. Ketiga, berkembangnya semangat beragama tetapi tidak sejalan dengan kecintaan kepada bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tiga tantangan ini yang menjadi latar munculnya gerakan moderasi beragama.
Tantangan tersebut seiring dengan tingginya tingkat heteroginitas yang dimiliki bangsa Indonesia, baik suku, ras, bahasa maupun agama dan kepercayaan. Belum lagi budaya. Heteroginitas atau kemajemukan ini berpotensi terjadinya pembelahan sosial yang bisa berujung disintegrasi bangsa jika tidak dikelola dengan baik. Terlebih pengaruh media sosial yang banyak diwarnai ujaran kebencian dan hoax. Negara-negara Timur Tengah seperti Syiria tercabik-cabik, karena dipicu berita hoax, membangun opini yang menyebabkan ketidakpercayaan (distrust) rakyat dan umat kepada negara dan pemimpinnya. Adu domba antar ormas keagamaan dan membandingkannya, tapi di saat bersamaan internal ormas juga tidak lepas adu-domba melalui isu-isu remeh-temeh seperti yang terjadi akhir-akhir ini adalah fakta tak terbantahkan.
Berangkat dari tantangan dengan segala problem tersebut kita bisa belajar dari perjalanan hidup Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimassalam dalam membangun sikap kemanusiaan, keberagamaan dan kebangsaannya. Pertama, dalam menemukan konsep ketuhanan, Nabi Ibrahim tidak percaya begitu saja. Beliau melakukan “cek and ricek” (seleksi data) dan memaknainya (meaning) untuk sampai pada kesimpulan (conclusi) dan meyakininya (belief). Inilah yang disebut dengan tangga kesimpulan (ladder of inference) dalam teori Chris Argyris. Nabi Ibrahim dalam hal ini sudah melakukan pembelajaran refleksi (reflective learning) dan putaran refleksi (reflexive loop).
Perbedaan sikap, cara pandang dan aksi seseorang dalam teori ini dipicu oleh pengalamam nyata masing-masing indifidu (factual experience). Islam itu satu, tetapi ber-Islamnya yang bisa bermacam-macam, tergantung pengalaman, pengetahuan dan pemahaman atau cara pandangnya. Perbedaan penafsiran ini dipicu dalil yang digunakan berbeda atau dalil sama tapi konteksnya berbeda. Egosentris yang bisa membutakan juga bisa menjadi pemicu.
Watak manusia memang selalu berada pada dua wilayah, tertutup ‘n’ dan terbuka ‘u’. Tertutup ini biasanya diawali dengan mengunduh, tidak melihat dan merasakan karena tidak hadir (absensing) kemudian menolak kebenatan yang tujuannya adalah ingin menguancurkan. Ini yang dalam Alquran disebut wilayah ‘fujur’. Sedangkan terbuka biasanya setelah mengunduh, melihat dan merasakan karena kehadiran (presensing) hadir utuh sadar penuh untuk mendapatkan kebenaran atas dasar kesepahaman untuk dijadikan prototype baru dalam melakukan aksi nyata (amal salih). Karena itu Tuhan menjadikan umat berbeda dan tidak dipilih umat yang satu (umatan wahidah) agar berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat).
Sangat bijak jika misalnya warga Nahdlatul Ulama (NU) memuji keunggulan Muhammadiyah sebagai kakak yang berhasil membangun rumah sakit dan lembaga pendidikan. Begitu pula Muhammadiyah memuji keunggulan Nahdlatul Ulama sebagai adik yang sukses dalam kaderisasi ulama melalui pesantren. Itulah sejatinya umat beragama yang moderat seperti dipesankan dalam Alquran ‘wakazalika ja’alnakum ummatan wasathan litakunu syuhada-a ‘alannas wayakunarrasulu ‘alaikum syahida’. Umat yang tengah-tengah (moderat) adalah umat yang bisa saling menjadi saksi atas kebaikan masing-masing.
Maka, di sinilah diperlukan sikap toleransi dengan cara menghormati dan menghargai perbedaan sebagai forum eksternum. Umat beragama disilakan meyakini apa yang diyakininya sebagai forum internum tanpa harus menyalahkan apa lagi merendahkan umat lain yang berbeda keyakinan ataupun di wilayah publik. Dalam konteks mengajak kebaikan (dakwah) jalan terbaik versi Alquran adalah “Bil hikmah walmau’izatil hasanah wajadilhum billati hia ahsan”.
Kedua, perintah Allah kepada Nabi Ibrahim menyembelih putranya Ismail yang kemudian diganti seekor domba memberikan pesan keseimbangan antara cinta Tuhan dan cinta sesama (hablum minallah dan hablum minannas). Benar memang, kecintaan kepada Allah tidak boleh dikalahkan dengan kecintaan kepada selain-Nya. Kecintaan kepada keluarga, harta dan jabatan tidak boleh mengalahkan kecintaan kepada Allah SWT. Tetapi, di sisi lain Allah juga mengajarkan kepada umat manusia tidak boleh berlebihan dalam beragama. Karena ritualitasnya yang berlebihan kepada Allah hingga mengorbankan aspek-aspek kemanusiaan.
Agama itu menurut Sayyid Husein Nasir selalu bersinggungan antara normatifitas dan kolektifitas manusia. Sejalan dengan konsep Normatifitas dan Historisitas Amin Abdullah. Terkadang antara norma dan realitas tidak seiring. Perintah menyembelih adalah norma, tetapi atas izin Allah realitasnya diganti domba. Pesan ini mengisyaratkan agar kita tidak selalu memaksakan antara norma dan realitas, antara syariat dengan hakikat. Cerita Nabi Musa dan Nabi Hidlir adalah sekelumit contoh antara wilayah syariat dan hakikat.
Salam lintas agama misalnya secara normatif jika dikaitkan dengan akidah tidak boleh dicampur aduk. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam hal ini menyampaikan normanya. Tapi karena norma tidak hadir pada ruang kosong dengan kolektifitasnya, para ulama pun berbeda pandangan. Ada yang melarang secara tegas seperti Fatwa MUI, ada yang mubah jika ada illat, misalnya karena pejabat ataupun karena menjaga persatuan apa lagi darurat seperti di daerah konflik. Ini yang dikeluarkan oleh Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur beberapa tahun yang lalu. Pasti semua punya dasar baik yang melarang maupun yang membolehkan.
Dan, sejatinya fatwa ini tidak ‘harga mati’ seperti klarifikasi oleh Wakil Sekjen MUI Arif Fahrudi dalam detik.com bahwa pejabat publik atau pejabat di pemerintahan mendapat alasan syar’i atau udzur syar’i dengan syarat tidak diniatkan sebagai bentuk sinkretisme ibadah. Karena itu sejatinya persoalan salam lintas agama tidak perlu diperdebatkan lagi karena hal itu kontra produktif dan tidak akan pernah ada ujungnya. Maka, filosofi Jawa “Ngono yo ngono, neng yo ojo ngono”. Atau “Bener harus pener” bisa dijadikan pijakan. Artinya melaksanakan sesuatu yang benar harus diiringi dengan sikap bijak, “Bener tanpa pener bisa blunder”.
Ketiga, Nabi Ibrahim sangat mencintai tanah airnya seperti dalam doanya, “..Rabbij’al hâdzâ baladan âminan warzuq ahlahû minats tsamarâti man âmana minhum billâhi wal yaumil âkhir”. Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 126).
Dalam sejarahnya seperti ditulis Ahmad Suhendra dalam NU Online, Nabi Ibrahim pernah beberapa kali pindah tempat tinggal. Mulai dari Babilonia pindah ke Suriah, pindah lagi ke Palestina. Lalu, Nabi Ibrahim pindah ke Makkah. Di sana, Nabi Ibrahim merasakan kebahagiaan dan mendapatkan berbagai kenikmatan yang tidak didapatkan di tempat lainnya. Tidak heran, jika Nabi Ibrahim sangat mencintai Makkah.
Indonesia adalah negeri yang damai. Sudah selayaknya diperlakukan sebagaimana dilakukan Nabi Ibrahim di Makkah. Jika belajar dari Nabi Ibrahim, bangsa Indonesia yang 87.02 % pemeluk muslim ini bersama umat lain harus bisa merawat agar Indonesia bisa mencapai “Baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur”, “gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kertoraharjo”.
Pelajaran penting dari sejarah hidup Nabi Ibrahim adalah bagaimana merawat kemajemukan umat beragama. Pertama mengelola tafsir keagamaan dengan cara mengkaji secara mendalam, mengumpulkan bukti-bukti untuk disimpulkan dan diyakini sebelum bertindak. Kedua, pentingnya mengedepankan esensi ajaran agama. Hal ini untuk menjembatani antara benturan pemahaman agama secara ektrem yang cenderung eksklusif-legal formalistik dengan substantif-inklusif yang jika kebablasan bisa mengarah liberalistik. Ketiga, merawat Indonesia harus dilakukan sebagai perwujudan terhadap semangat beragama.
Ini sejalan dengan konsep Moderasi Beragama, yang diartikan sebagai cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanuaiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa. Konsep ini dijabarkan menjadi sembilan kata kunci yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, menghormati tradisi, kemanusiaan, adil, berimbang, kemaslahatan umum, dan taat konstitusi. Dengan demikian sejarah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sejatinya sudah memberikan pesan moderasi beragama, baik secara epistemologis, ontologis maupun aksiologis.
Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I adalah Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya dan Ketua PC ISNU Sidoarjo. Saat ini mendapat tugas Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama serta menjadi pengajar di IAI Al Khoziny dan UNUSIDA.