Search

Membaca, Realisasi Belajar Sepanjang hayat

Majalahaula.id – Semakin membaca, kelihatan sekali bodohnya saya.” Kutipan itulah yang penulis rasakan kala menikmati lembar demi lembar buku yang penulis baca.

Perlu diketahui, buku yang penulis baca adalah hasil meminjam dari perpustakaan kampus. Buku tersebut, penulis masukkan di dalam tas, sejajar dengan laptop dan juga alat tulis.

Buku -hasil meminjam- berharga sekali. Ia selalu ada, manakala tas tersebut penulis bawa. Kemana pun dan di mana pun, ia menjadi “teman” dekat agar waktu jeda yang ada tidak sia-sia. Melainkan kaya manfaat sebagai sarana upgrade diri.

Kesadaran kecil tersebut, jujur penulis tersentak kala membaca bukunya Ngainun Naim (2010:96) yang provokatif. Beliau menyampaikan “bila dalam sehari diluangkan membaca, dua hingga tiga jam, kita akan menjadi ahli”.

Kalimat tersebut bagi penulis keren sekali di tengah aktivitas membaca masih banyak dilupakan siapa saja. Bukan berarti penulis mengeneralisir. Tetapi, penulis menyampaikan fakta empiris yang tersaji, bila membaca buku -yang fokus dengan topik tertentu- menjadi tergerus tidak nampak dilakukan seiring dengan derasnya infromasi digital.

Tidak ayal, perilaku menunggu lebih jamak digunakan untuk mentelengi gadget daripada membaca buku. Era kini, perilaku tersebut terlihat langka dilakukan siapa saja. Alhasil, aktivitas membaca menjadi sesuatu yang sulit membudaya di sekitar kita.

Baca Juga:  Membangkitkan Potensi Santri Dalam Dunia Sepak Bola Kita

Padahal, itu bertolak belakang dengan penegasan Dalman (2014:1), kita “terbiasa” membaca itu bukan karena kebetulan. Akan tetapi, kita belajar dan berlatih membaca teks yang terdiri atas kumpulan huruf-huruf yang bermakna. Jika demikian, budaya membaca itu lahir dari rutinitas kecil membaca lembar demi lembar halaman buku yang kita lakukan. Tanpa itu, budaya membaca selamanya akan sulit terwujud.

Pernyataan kecil penulis tersebut, hakikatnya ingin menyentil siapa saja yang abai membaca. Penulis merasakan betul, bagaimana merutinkan diri membaca hakikatnya menjadi bagian usaha mengamalkan sunah Kanjeng Nabi.

Salah satunya, pesan terselip yang beliau sampaikan, bahwa mencari ilmu itu tidak terbatas ruang dan waktu. Yang menurut M. Ainur Rasyid (2017:31) tidak ada batasan minimal tentang berapa lama pendidikan harus ditempuh. Melainkan, kewajibannya dalam Islam dilakukan sepanjang hayat.

Hal ini selaras dengan hadis Nabi riwayat Bukhari, bila perintah “menuntut ilmu itu dimulai dari ayunan sampai liang lahat”. Jika demikian, pesan terselip lainnya yang bisa diambil bila mencari ilmu itu dilakukan selama kehidupan manusia.

 

Terkait operasionalisasi mencari ilmu sepanjang hayat, hal itu selaras dengan penegasan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Bab I, pasal 1, ayat 10, yang secara gamblang membagi ruang jenjang penyelenggaraan pendidikan terdiri dari formal, nonformal, dan informal.

Baca Juga:  Kesejarahan dan Semangat Transformasi Al-Qur’an

Secara detail pada ayat 11, mendefinisikan bila jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, menengan (pertama, atas serta kejuruan) dan tinggi (PT). Pada ayat 12, nonformal diartikan jalur pendidikan di luar formal yang dilaksanakan terstruktur dan berjenjang. Sedangkan ayat 13, menyebut informal sebagai jenjang pendidikan yang ada pada jalur keluarga dan masyarakat.

Jika demikian, hakikatnya mencari ilmu tidak terbatas pada jenjang “formal”. Ada jenjang nonformal dan informal yang juga perlu diketahui dan dimengerti perannya yakni sebagai etape kultural.

Artinya, kita tidak menjadi puas dengan telah belajar satu, dua disiplin ilmu. Kita tidak bangga dengan belajar dari satu sekolah ke sekolah berikutnya. Kita juga tidak berpuas diri dengan telah finish dari PT bergengsi. Melainkan, semangat belajar tersebut kuat, menyala- nyala melintasi ruang dan waktu hingga napas terakhir.

Hanya saja, fakta yang ada mencari ilmu masih sebatas jenjang formal. Sehingga ketika beralih mencari ilmu melalui jenjang nonformal dan informal selain diabaikan juga ada kesan “tidak penting”.

Asumsi seperti itu memang tidak bisa disalahkan. Hanya saja kita perlu banyak kembali kepada amanat Kanjeng Nabi Muhammad Saw, bila proses mencari ilmu itu sekali lagi tidak memiliki batas. Terlebih, hidup di dunia ini memerlukan banyak skill untuk melaluinya. Sehingga, kebahagian selama hidup di dunia bisa direngkuh. Bahkan, tak sebatas bahagia dunia saja. Kehidupan akhirat juga memerlukan ilmu agar terwujud juga bahagia yang hakiki.

Baca Juga:  Ahl-Kitab dalam Islam (2): Status Kitab Suci

Agar pengetahuan di dunia bisa diraih, membaca, dan sekali lagi membaca kudu membudaya pada diri. Setelah membudaya kepada diri, bisa kita lakukan perluasan kepada orang-orang terdekat (suami-istri, bapak-ibu, kakak-adik, saudara) untuk senantiasa mencintai aktivitas membaca.

Terhadap aktifitas diri yang sregep membaca sebagai misal, kita tidak perlu malu dikatakan “kutu buku” yang dalam KBBI online diartikan sebagai orang yang senang membaca dan menelaah buku di mana saja. Jikalau pun ada orang yang bertanya, kenapa kok selalu membaca? Dijawab saja secara logis dan sederhana, bila yang kita ketahui masih sedikit dari pada yang belum diketahui.

Jawaban ini, bagi penulis sebagai bentuk kejujuran diri bila pengetahuan (sebagai hasil baca) bisa diperoleh di mana saja. Tidak ada lagi ruang dikotomis membaca hanya ketika menyandang status pelajar, mahasiswa, akademisi. Tetapi, membaca (yang berbuah pengetahuan) adalah aktivitas abadi siapa pun, kapan dan di mana pun sebagai pengantar predikat makhluk mulia dari Allah Swt.

* Penulis adalah Dosen Prodi PAI UNUGIRI Bojonegoro.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA