Search

TAKABUR LITAWADHU

Takabur berarti membesarkan/meninggikan, sombong. Lawan dari takabur adalah Tawadhu’ artinya merendah, bukan merendah dalam konteks imferior (rendah diri) atau pesimis (tidak yakin), tapi merendahkan hati sebagai bagian dari penerapan etika/akhlaq. Takabbur masuk di dalam kategori sifat al madzmumah (tercela), sedangkan tawadhu’ termasuk sifat al mahmudah (terpuji). Begitulah konsep dasar Takabbur dan Tawaddhu’, yaitu barang siapa tidak mau hidup tercela/dicela, maka tidak boleh takabbur, dan sebaliknya barang siapa ingin hidup terpuji/dipuji, maka harus tawaddu’.

Sebuah konsep dasar tentu memiliki konsep-konsep turunan yang kadang bahkan sering berbentuk sesuatu yang berlawanan dengan konsep dasarnya. Untuk bisa memahami konsep-konsep turunan dari sebuah konsep dasar, maka kita diwajibkan untuk tidak pernah berhenti dan terus belajar/ta’allum, atau kaum Santri biasa menyebutnya Ngaji. Ngaji bertujuan memahami konsep-konsep yang jika kita tidak memahaminya secara matang, maka dipastikan kita akan terjebak pada kesalahan dalam mengaktualisasikannya.

Saya punya seorang sahabat, namanya Jamil Shoim, umurnya masih cukup muda, 40 tahun. Beliau seorang Kyai Kampung dari desa Meranti kecamatan Pangkalan Kuras kabupaten Pelalawan yang darinya saya belajar secara Haliyah (sikap dan perilaku) mengenai pentingnya memahami segala sesuatu secara holistik dan komprehensif, di mana pemahaman akan sebuah konsep dasar harus terus ditingkatkan dengan berusaha memahami konsep-konsep turunannya. Misalnya konsep ajaran moral/etika mengenai Takabbur yang harus kita hindari dan Tawadhdhu’ yang harus kita laksanakan, justru kang Shoim (panggilan akrabnya) beberapa kali menunjukkan kepada saya sikapnya yang cenderung Takabbur (harusnya dihindari).

Baca Juga:  Perbanyaklah Dzikir Sebelum Catatan Amal Dilaporkan

Suatu ketika ada seorang sesepuh/orang tua kampung yang menyuruh seorang anak muda untuk mencarikan pinjaman sebuah kitab Jurumiyah (ilmu Nahwu) untuk satu keperluan dan sesepuh tersebut mengarahkan anak muda untuk meminjamnya kepada kang Shoim. Si anak muda kemudian mendatangi rumah kang Shoim, sesampainya di sana dan berjumpa dengan kang Shoim, anak muda kemudian menyampaikan maksud kedatangannya untuk meminjam kitab Jurumiyah. Kang Shoim menjawabnya dengan ketus bahwa dia tidak menyimpan kitab Jurumiyah di rumahnya, karena semua isinya ada di sini (isyarah menunjuk ke kepalanya, maksudnya otak). Jawaban seperti ini menjadikan anak muda membatin betapa sengak/takabburnya kang Shoim.

Di lain kesempatan, saya pernah membersamai kang Shoim dalam kegiatan santunan korban kebakaran di suatu kampung. Selesai kegiatan, kami singgah di rumah salah satu sesepuh di kampung tersebut yang kami kenal. Kami kemudian ngobrol banyak hal bersama tuan rumah. Tak ketinggalan kopi dan beberapa makanan kecil disuguhkan untuk menemani kami ngobrol. Seperti biasa kang Shoim sangat menikmati obrolan bersama kopinya sambil menghisap rokoknya secara istiqomah (tak pernah berhenti merokok ????). Saat kami mengobrol tiba-tiba kang Shoim melihat sesuatu di luar rumah yang menarik perhatiannya, dan rupanya itu adalah tanaman milik tuan rumah. Kang Shoim mengambil makanan, bangkit dari duduknya, kemudian berjalan menghampiri objek perhatiannya sambil memakan kue yg diambilnya sebelum bangkit. Di sini saya menyaksikan hal yg tidak lazim, di mana seorang Kiai makan sambil berjalan, hal ini secara etika tentu tidak patut.

Baca Juga:  Jangan Berbuat Zalim, Doa Orang Terzalimi Mustajab

Protes akan hal ganjil yang saya saksikan dan mendapatkan kesempatan untuk membully (yg ini adalah hobi saya ????), saya pun nyeletuk, ” masa kyai kok mangan karo mlaku (makan sambil berjalan)”. Mendengar celetukan saya, kang Shoim menimpali dengan santai, ” La mangan karo mlaku we diceluk Kiai, la nek aku mangan karo njagong, mengko aku dianggep wali lak gawat, wong-wong iso keblinger (makan sambil jalan saja dipanggil Kiai, jika saya makan sambil duduk, nanti saya dianggap wali, gawat, orang2 bisa tersesat)”. Makjleb.

Haliyah kang Shoim yang kadang takabbur, sengak, dan tak patut seketika menjadi jelas bagi saya bahwa maksud beliau menzhahirkan sifat-sifat madzmumah tersebut sebenarnya adalah sebaliknya, yaitu beliau ingin tercela di hadapan manusia, supaya bisa terpuji di hadapan yg Kuasa. Dalam konteks ini, yang dilakukan kang Shoim adalah Takabbur Littawadhhu’, sombong dengan tujuan merendah. Begitulah sikap orang yg Alim, beliau tidak terjebak pada pemahaman konsep dasar, tapi juga jeli dengan konsep-konsep turunannya secara matang, sehingga syetan penggoda kesulitan untuk menjebak orang-orang seperti ini. Pantaslah para Kyai sering mengatakan bahwa tidurnya orang Alim lebih banyak pahalanya dari pada sholatnya orang bodoh.

Di sinilah saya sering membantah orang-orang yg mengatakan bahwa lebih baik bodoh tapi berakhlaq dari pada ‘alim tapi tidak berakhlaq. Coba pikirkan sahabat-sahabatku, bagaimana kita mau berakhlaq sementara kita bodoh dan tidak paham ilmunya?. Dari mana jalannya kita menjustifikasi kebodohan sementara kebodohan itu sendiri adalah sebuah kesalahan?. Terimkasih buat kang Shoim yang telah memudahkan saya memahami hal-hal sulit seperti ini sehingga saya bisa lebih kritis dan bisa terus memperbaiki setiap motif yang mendorong saya untuk berbuat. Panjenengan adalah Guruku, Kiaiku.

Baca Juga:  Lahirkan Hafidz Muda Kebanggaan Pesantren

Dan tepat seminggu yang lalu, ketika saya berada di Bandung bersama sahabat-sahabat Ansor dan Banser kota Bandung, saya mendapatkan kabar bahwa kang Shoim resmi ditunjuk sebagai Komandan Satkorcab Banser Kabupaten Pelalawan. Saat ini kang Shoim adalah pilihan terbaik untuk memegang tongkat komando Banser Pelalawan, dan pilihan atas beliau merupakan hasil ijtihad para punggawa PC Ansor Pelalawan bersama PW Ansor dan Satkorwil Banser Riau. Saya yakin ijtihad mereka dibimbing oleh para Ulama Mu’assis Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Kita sam’an wa tho’atan saja dan haqqul yakin beliau akan bisa memimpin Banser Pelalawan lebih baik lagi.

Sahabat-sahabatku, kita juga patut bangga, Komandan kita seorang Kiai, the real Kiai, not so called Kiai. Kebanggaan ini tentu hrs kita nyatakan secara positif degan menjadikan militansi dan kualifikasi sebagai sebuah paket karakter yg melekat pada kita semua.

AHMAD JAZULI, ST.
Wakil Ketua PC GP Ansor Kabupaten Pelalawan

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA