Majalahaula.id – Berhaji ke Baitullah (Mekkah) di bulan Dzulhijjah yang disyariatkan menjadi Rukun Islam Ke-5 yang mengandung hikmah yaitu pertama, manifestasi penghambaan yang terlihat ketika berihram dengan berpenampilan sangat sederhana yang menampakkan perasaan butuh pertolongan dan rahmat Allah SWT yang bisa menghilangkan sekat kaya, miskin, tampan, jelek, kulit putih, kulit hitam, atau lainnya karena di sisi Allah SWT, semuanya sama kecuali atas dasar ketakwaannya sehingga tercipta spirit persatuan tanpa memandang status sosial. Kedua, mensyukuri atas nikmat Allah SWT, baik nikmat harta dan badan dengan menggunakannya pada jalan yang diridhoi oleh Allah SWT sehingga menyadari bahwa kehidupan manusia bukan semata-mata untuk materi dan nafsu birahi melainkan kondisi ruhani yang ada dalam posisi penghambaan yang kuat di sisi Allah SWT.
Di saat menunaikan haji, jamaah haji tidak diperkenankan untuk bertengkar, berperang, menumpahkan darah, menyakiti dan membunuh binatang, serta dilarang untuk merusak tanaman yang ada di Tanah Haram (Mekkah dan Madinah). Pengendalian diri, selama menunaikan ibadah haji, seharusnya juga menjadi kesadaran yang melekat pada setiap pribadi Muslim sebagai amaliyah rutin guna menumbuhkan kesadaran hidup dalam nuansa uswatun hasanah.
“Mentradisikan ziarah haji dengan bersilaturrahmi kepada jamaah haji yang sudah menunaikan ibadah haji yang merupakan adat yang perlu dilestarikan, karena ini sesuai dengan nafas Ahlussunnah wal Jama’ah An Nahdliyah, “kata Sekretaris Badan Perencanaan Nahdlatul Ulama (BAPENU) Kabupaten Situbondo Heri Junaidi, S.Sos. saat ziarah haji (1/8/2023)
“Nilai-nilai luhur kemanusiaan universal dalam berhaji menunjukkan bahwa bukan hanya ibadah yang berkaitan dengan Allah SWT (hablum minallah) semata, tetapi juga ibadah yang menuntut terwujudnya keshalehan sosial (hablum minannas). Sehingga dari perpaduan entitas tersebut mewujudkan kehidupan manusia yang baik (insan kamil) dan hajinya tergolong haji mabrur, Insya Allah, “pungkasnya. (hj)