Search

KH Ahmad Bahauddin Nursalim Bekerja adalah Ibadah Terbaik

Majalahaula.id – Dalam pandangan Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini, Rasulullah SAW dalam sabdanya menerangkan bahwa sebaik-baiknya ibadah adalah bekerja. “Ibadah terbaik adalah bekerja, kata Nabi. Orang biar tetap kerja sesuai dengan kemampuan masing-masing dan itu ibadah yang paling utama. Tidak ada yang berkata ‘ibadah terbaik adalah menemui tamu’. Memang termasuk kebaikan, tapi ibadah terbaik adalah kerja,” ungkap Gus Baha dalam tayangan Sebaik-Baiknya Ibadah Adalah Kerja.

Perihal bekerja ini, Gus Baha lantas mengisahkan pengalamannya ketika pergi ke pasar bersama anak-anaknya pada tanggal 2 Syawal atau sehari setelah lebaran. “Di tanggal 2 Syawal itu sudah ada penjual ayam. Saya menangis, ya Allah tanggal 2 Syawal sudah cari uang,” kata Gus Baha.

Baca Juga:  Idham Holik Psikotes Capres dan Cawapres

Gus Baha kemudian bercerita, ia spontan langsung membeli dagangan orang tersebut. Penjual di pasar itu kata Gus Baha juga ternyata mengenal dirinya. Sang penjual lalu bertanya: ”Beli berapa ayam Gus?” “Beli dua ratus ribu,” ujar Gus Baha. Jumlah pembelian tersebut lantas membuat sang penjual terkejut dan heran, buat apa beli ayam sebanyak itu? “Ya… dipakai untuk pelajaran,” kelakar Gus Baha.

Pengasuh Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA itu mengaku pengamalan ‘sebaik-sebaiknya ibadah’ tersebut juga diperolehnya dari almaghfurlah KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen. Mbah Maimoen dengan besar kekuasaan dan pengaruhnya, ia tetap menyambung kehidupan dengan hasil kerja yakni berniaga. “Ketika makan di rumahnya, yang ia makan adalah uang hasil jualannya,” kata dia.

Baca Juga:  Ulil Abshar Abdalla Akidah Jalan Tengah Al-Ghazali

Gus Baha sendiri menyebut bahwa ia sering menemani Mbah Maimoen makan. Dari kebersamaan tersebut akhirnya dapat menangkap sejumlah pesan yang disampaikan sang guru. Termasuk menghargai pekerjaan santri yang rela berjualan lauk pecel, misalnya. Mbah Moen, lanjutnya, biasa makan lauk pecel. “Pecel yang dijual pada santri-santrinya itu,” ucapnya.

Pengalaman ini juga ia teladani dari sang ayah yakni KH Nursalim. Meskipun begitu besarnya ketokohan ayahandanya, ketika di rumah makan sebagaimana orang biasa dan tidak berharap dilayani lebih. “Bapak saya juga begitu. Betapa besarnya bapak, sekalinya di rumah biasa,” tutupnya. (Ful)

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA