Majalahaula.id – Hampir semua aspek kehidupan tidak bisa menghindar dari “gangguan” perkembangan peradaban yang beberapa dekade terakhir berubah dengan sangat atau super cepat.
Dunia transportasi “terusik” oleh hadirnya ojek dalam jaringan (daring), yang juga merambat pada dunia kuliner. Usaha kuliner kini tidak lagi hanya bisa mengandalkan pola lama, yakni orang datang ke warung atau restoran untuk memenuhi kebutuhan perut. Pengusaha kuliner harus bersahabat dengan perkembangan teknologi antar-pesan yang difasilitasi oleh platform di ojek daring.
Perkembangan terbaru, dunia pendidikan, kini “terbangunkan” oleh hadirnya kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI). AI kini menjadi perbincangan hangat karena peranti mesin itu sudah merambah ke ranah paling primordial yang dimiliki manusia, yakni rasa.
AI bukan hanya mampu membuat karya tulis ilmiah berbasis data dan analisa, melainkan juga bisa dan hasilnya bagus untuk menggarap karya fiksi, seperti puisi, cerita pendek, bahkan sebuah novel. Ini baru berbicara kecanggihan AI dari generasi pertama. AI yang secara pasti kini terus dikembangkan kecanggihan dan kepintarannya, sehingga bukan perkara sulit untuk terus menghasilkan karya yang mampu menyerupai karya manusia.
Dengan dalih apapun, termasuk agama, kita rasanya tidak mungkin menghindar dari pengaruh perkembangan teknologi, termasuk kehadiran AI. Pilihan kita hanya satu, menerima, kemudian memanfaatkan AI untuk ikhtiar kemaslahatan hidup. Tidak ada ruang untuk pilihan “memusuhi” atau menolak AI.
Universitas Nurul Jadid (unuja) Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, yang merupakan salah satu lembaga pendidikan di bawah naungan Pondok Pesantren Nurul Jadid berupaya menyauti “terpaan angin” atau disrupsi dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi massal itu. Pengasuh dan para kiai di ponpes itu menyadari bahwa perkembangan teknologi membawa dampak pada berbagai sektor kehidupan, termasuk di bidang pendidikan Islam.
Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Nurul Jadid (Unuja) Drs Hambali menyatakan bahwa dinamika yang terjadi pada lingkungan global membawa dampak positif sekaligus negatif pada dunia pendidikan. Di satu sisi, berkat dukungan teknologi yang berkembang pesat, kita merasakan kemudahan dalam melakukan berbagai aktivitas, namun di sisi lain, berbagai fasilitas itu juga diikuti dengan “sampah-sampah” yang jika tidak segera disadari justru menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk itulah Pascasarjana Unuja kemudian menggelar konferensi internasional bertajuk “Islamic Education in Global Context: Resilience and Transforming in a Time of Uncertainty” di Paiton, Probolinggo, Minggu (12/3).
Sebanyak 20 pakar pendidikan Islam dari berbagai negara terlibat dalam konferensi itu, baik secara daring maupun luring untuk menjadi pembicara. Mereka, antara lain, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI Prof. Muhammad Ali Ramdhani, Rektor Unuja K.H. Abd. Hamid Wahid, M.Ag. Pakar lainnya adalah Prof. Badruddin (UIN Sunan Gunung Djati Bandung), Prof. Khusnulridha (UIN KIai Ahmad Siddiq Jember), Prof. Dato Jamil Hamali (UTM Malaysia), dan Dr. M. Hery Syarifuddin (Dubes RI untuk Kenya).