Majalahaula.id – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) kembali menegaskan bahwa NU tidak mau terlibat di dalam politik praktis. Gus Yahya juga menekankan tekadnya untuk melakukan transformasi konstruksi organisasi NU di bawah kepemimpinannya.
Selama ini, lanjut Gus Yahya, konstruksi politik praktis masih sangat dominan di dalam organisasi NU. Sebab konstruksi ini dibentuk dan dimapankan sejak 1952 saat NU berfungsi sebagai partai politik hingga mengundurkan diri dari politik praktis pada 1984. “Makanya sekarang ini kita mau kembali kepada prinsip hasil Muktamar tahun 1984. Kita nggak mau terlibat di dalam politik praktis,” ujar Gus Yahya dalam Pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) di Hotel Acacia Jakarta, hari Senin (26/12/2022).
Karena konstruksi politik praktis di tubuh NU itu sudah menjadi kemapanan selama 32 tahun, pada rentang waktu sejak 1952 hingga 1984, maka tidak mudah untuk mentransformasikan kemapanan konstruksi itu menjadi sesuatu yang lain. Bahkan Gus Yahya menyebut bahwa lembaga-lembaga, struktur, mekanisme-mekanisme, dan pola pikir orang-orang NU masih sangat dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan politik praktis sampai sekarang. Hal ini menjadi tantangan tersendiri yang harus diatasi Gus Yahya sebagai nakhoda NU.
“Maka kita harus mengatasi dulu tantangan untuk mengendalikan mindset (pola pikir) politik praktis yang masih ada sampai sekarang. Lebih dari itu, saya ingin mentransformasikan secara lebih sistematis ke arah satu pembentukan konstruksi yang merupakan satu sistem pemerintahan,” kata Gus Yahya. Menurut Gus Yahya, konstruksi keorganisasian yang pas bagi NU adalah sistem pemerintahan. Sebab NU memiliki warga yang bukan anggota terdaftar. Warga dimaksud ini adalah orang-orang yang dengan alasan apa pun mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari NU.
“Saya dapat data, katanya NU ini sudah 50,3 persen dari seluruh populasi Indonesia. Ada yang mengatakan, 59,2 persen dari populasi Muslim. Yang terakhir malah 60,2 persen dari seluruh populasi Muslim Indonesia mengaku sebagai warga NU. Ini luar biasa,” tuturnya. Ia menyebut, NU tidak punya membership (keanggotaan) tetapi memiliki fellowship (persahabatan). Sebab sebagian besar umat Islam di Indonesia secara sukarela merasa menjadi bagian dari NU.
“Ini warga nggak peduli dengan pengurus. Warga pokoknya merasa NU, tapi mereka nggak peduli dengan pengurusnya, siapa pun pengurusnya mereka tetap merasa NU,” tutur Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu. Karena itu, menurut Gus Yahya, peran yang harus diambil oleh jajaran struktur organisasi mulai dari PBNU hingga ranting NU adalah peran pemerintahan.
Dalam hal ini, NU tidak bisa mengatur atau mengendalikan warganya, sebagaimana pengurus organisasi kepada anggotanya. “(Tetapi) yang paling pas posisi untuk organisasi (NU) adalah menyediakan layanan untuk mereka (warga NU),” pungkas Gus Yahya.(Vin)