Majalahaula.id – Hingga kini, sejumlah kritik dilayangkan pasca disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh DPR RI pada Selasa (06/12/2022). Reaksi negatif dan kritik tajam terkait KUHP juga datang dari PBB, Human Rigths Watch (HRW), dan pihak lain yang menyoroti pasal-pasal yang ada di dalamnya.
Reaksi PBB dan sejumlah ahli hak asasi manusia (HAM) terkait pasal-pasal kontroversial yang dianggap semakin menggerus kebebasan dan nilai demokrasi sejatinya tidak berlebihan, pasalnya banyak yang menilai UU KUHP disahkan dengan mengabaikan minimnya partisipasi dan masukan publik, termasuk komunitas pers.
Melansir Tempo, dampak dari disahkannya UU KUHP oleh DPR RI, langsung dirasakan oleh Mugni Ilma, jurnalis media online asal Nusa Tenggara Barat (NTB). Mugni mengalami intimidasi verbal dan diancam pidana menggunakan KUHP oleh perwira di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda NTB. Penyebabnya, Mugni dituduh mencemarkan nama baik karena menulis berita dugaan fee yang mengalir ke personel tim penyidik Ditreskrimsus yang sedang menangani kasus kosmetik ilegal.
Padahal menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, berita yang ditulis Mugni dipastikan sudah memenuhi unsur fakta dan kaidah jurnalistik tentang asas keberimbangan. “Berita yang ditulis sudah melalui proses verifikasi dan konfirmasi. Secara kaidah maupun kode etik tidak ada yang dilanggar,” ujar Ketua AJI Mataram, Muhammad Kasim.
Dari kasus tersebut, lanjut Kasim, dapat dilihat bahwa KUHP telah menjadi alat untuk mengintimidasi. Tak heran bila hal itu menimbulkan kekhawatiran yang dapat membahayakan insan pers, seperti yang telah disampaikan oleh Dewan Pers.
Sebelumnya, Ketua Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers, Arif Zulkufli menyebut UU KUHP berpotensi membungkam lantaran dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika menjalankan tugas jurnalistik. “Tidak hanya mengancam dan mencederai kemerdekaan pers, namun juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi,” kata Arif.
Secara lebih rinci dirinya menyebutkan beberapa pasal yang sangat tidak mendukung bagi kebebasan pers tersebut. Dan kalau hal tersebut tetap diberlakukan bukan tidak mungkin akan mengancam kebebasan berpendapat yang melekat dalam diri pers itu sendiri. (Ful)