Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melontarkan catatan kritis terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kini siap dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Di antaranya terkait pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dengan ancama pidana penjara, juga terkait ancaman pidana mati.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Pemajuan HAM Komnas HAM, Mimin Dwi Hartono mengaku tidak sepakat dengan pasal penyerangan atas harkat dan martabat presiden/wapres. Menurutnya pasal itu berpotensi membatasi secara sewenang-wenang hak atas kebebasan berekspresi.
“Setiap pejabat negara harus memiliki akuntabilitas. Komnas HAM merekomendasikan SNP Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi,” ujarnya dalam risalah Webinar LP3ES dikutip dari Republika.co.id, Ahad kemarin.
SNP tersebut sebenarnya juga bisa dimanfaatkan dalam menolak pasal RKHUP yang berpotensi membatasi secara sewenang-wenang hak atas kebebasan berkumpul dan berorganisasi. “Pasal penghinaan pada pemerintah yang sah, berpotensi membatasi secara sewenang-wenang hak atas kebebasan berekspresi,” ujar Mimin.
Dia juga tidak sepakat dengan pidana mati yang terdapat di draft RKUP yang dianggap melanggar hak hidup. “Terkait hukuman mati, merupakan bentuk dari pelanggaran hak hidup yang merupakan supreme rights meskipun pidana mati menjadi pidana alternatif. Komnas HAM merekomendasikan SNP Hak untuk Bebas dari Segala Bentuk Penyiksaan,” ucap Mimin.
Kemudian, Komnas HAM juga menyayangkan kategori pelanggaran HAM berat sebagai tindak pidana biasa dalam RKUHP. Padahal pelanggaran HAM berat merupakan extraordinary crime. “Komnas HAM merekomendasikan SNP Pemulihan Hak-hak Korban Pelanggaran HAM yang Berat,” ucap Mimin.
Selain itu, Mimin menyinggung pasal mengenai penodaan agama dalam RKUHP yang berpotensi membatasi secara sewenang-wenang hak atas kebebasan berekspresi dan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Oleh karena itu, Komnas HAM merekomendasikan SNP Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi serta SNP Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
“Untuk pasal mengenai kekuatan ghaib, mengancam pidana bagi mereka yang melakukan praktik-praktik tradisional diantaranya untuk tujuan kesehatan. Komnas HAM merekomendasikan SNP Hak atas Kesehatan,” tegas Mimin.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, pasal yang berkaitan dengan penyerangan kehormatan terhadap presiden dan wakil presiden tetap ada dalam draf final revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP). Namun, dia menegaskan, yang terkena tindak pidana adalah orang yang melakukan penghinaan, bukan kritik.
“Jadi yang dilarang itu penghinaan, bukan kritik,” ujar pria yang akrab disapa Eddy itu di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (06/07/2022).
NF