SEMARANG – Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang menambah doktor baru lagi. Salah satu tenaga pengajarnya, Khoirul Anwar lulus S3 dengan predikat cumlaude dalam ujian terbuka promosi doktor di aula Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Jrakah, Semarang, belum lama ini.
Khoirul Anwar yang alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jatim menyampaikan desertasi berjudul ‘’Pergeseran Hak Kebebasan Beragama Dalam Islam: Dari Sahifah Al-Madinah Ke Al-Syurut Al-‘Umariyyah’’.
Tim penguji terdiri Direktur Paascasarjana Prof Dr H Abdul Ghofur MAg, Sekretaris Sidang Dr H Muhyar Fanani MAg, Promotor Prof Dr H Muslich MA, Co-Promotor Drs H Abu Hapsin MA PhD, Penguji eksternal Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Drs KH Yudian Wahyudi MA PhD, tiga penguji Prof Dr H M Mukhsin Jamil MAg, Dr HM Sulthon MAg dan Dr H Nasihun Amin MAg.
Penguji eksternal Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Drs KH Yudian Wahyudi MA PhD mengatakan, Ahlu Kitab bagi masyarakat Indonesia ada dua yaitu Ahlu Kitab teologis dan Ahlu Kitab konstitusi. Ahlu Kitab teologis maksudnya Muslim dan Kristen, sedangkan ahlu kitab konstitisi artinya pemeluk Konghucu, Hindu, Budha, dan agama-agama lokal.
Menurut Prof Yudian, Pancasila tidak hanya tidak bertentangan dengan Islam, tapi sangat Islami. Karena sila-silanya bersumber dari ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Ketika Sekretaris Sidang Dr Muhyar Fanani menyampaikan pertanyaan kepada Khoirul Anwar, ‘’Jika ada yang bertanya, apakah orang-orang yang mempolitisasi agama dapat dibenarkan?’’ Koordinator Kajian Elsa itu menjawab dengan tegas tidak dibenarkan. ‘’Politik Islam bukan berdiri di atas fanatisme kesukuan, tetapi kemanusiaan,’’ tegas Anwar. Menurutnya, fanatisme telah melahirkan diskriminasi terhadap orang-orang yang berbeda.
Dalam Desertasinya, Khoirul Anwar mengatakan, kebebasan beragama dalam Islam telah mengalami pergeseran. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan antara kondisi kebebasan beragama pada masa Nabi Muhammad dengan masa berdirinya kerajaan-kerajaan di dalam sejarah Islam yang dimulai dengan berdirinya Dinasti Umayyah.
‘’Pada masa Nabi Saw setiap orang memiliki hak kebebasan menganut dan menjalankan agamanya tanpa ada pembatasan dan diskriminasi di dalamnya. Penganut Yahudi dibebaskan melaksanakan ajaran agamanya dengan tetap mendapatkan hak sosial, ekonomi, dan politik yang sama sebagaimana umat Islam. Demikian juga perbedaan kabilah tidak menjadikan seseorang terpisah dari ikatan sosial dan politik yang disebut umat,’’ kata pria kelahiran Brebes itu.
Menurutnya, kondisi kebebasan beragama pada masa Nabi Muhammad selain tercermin di dalam Al-Qur’an, juga dapat dibuktikan melalui dokumen bersejarah yang disebut dengan Sahifah Al-Madinah. Dalam dokumen yang berisi perjanjian antara orang-orang yang berbeda agama dan kabilah ini memuat beberapa poin penting yang menegaskan bahwa setiap orang berhak menganut dan menjalankan agamanya masing-masing tanpa ada pembatasan-pembatasan.
Hak itu menurut Anwar berdiri di atas nilai-nilai yang diperjuangkan Nabi Saw dalam dakwahnya yang menjunjung tinggi kehormatan manusia (ihtiram al-insaniyyah), persaudaraan (al-ukhuwwah), dan keadilan (al-‘adalah).
Kondisi kebebasan beragama pascaNabi Muhammad wafat mulai mengalami pergeseran hingga puncaknya pada masa berdirinya Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah, masa yang menjadi permulaan kodifikasi ilmu-ilmu keislaman, telah terjadi berbagai pembatasan beragama bagi nonmuslim. ‘’Umat Kristen, Yahudi, dan yang lainnya dipersilahkan menganut agamanya masing-masing, namun tidak boleh dipraktikkan secara terbuka dan penuh pembatasan di dalamnya, bahkan perbedaan agama ini berdampak pada pengurangan hak sosial, ekonomi, dan politik. Nonmuslim tidak boleh membangun rumah ibadah, wajib memakai pakaian tertentu ketika keluar rumah, tidak boleh berbisnis dengan umat Islam, tidak boleh menjadi pegawai kerajaan, dan sejumlah aturan lainnya yang memperlihatkan kerendahan dan kehinaan bagi orang yang tidak beragama Islam,’’ katanya.
Aturan bagi nonmuslim yang di dalamnya mencerminkan perbedaan dari masyarakat muslim terlihat dalam aturan yang disebut dengan al-Syurut al-‘Umariyyah, perjanjian yang dinisbatkan kepada Umar bin Khatab, namun secara riwayat lemah.