Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Brebes KH Akrom Jangka Daosat meraih gelar doktor Ke-238 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Rabu (22/6). Pegawai Kantor Kementerian Agama Kabupaten Brebes itu berhasil mempertahankan karya disertasi berjudul ‘’Agama Orang Jalawastu, Pergumulan Pencarian Makna dalam Ritual Ngasa’’. Sidang terbuka promosi doktor berlangsung di ruang Promosi Doktor Lantai 3 Kampus 1 UIN Walisongo, Jrakah, Tugu, Semarang.
Ujian terbuka dipimpin Direktur Pascasarjana Prof Dr Abdul Ghofur, Sekretarus Dr H Muhyar Fanani MAg, Promotor Prof Dr H Mudjahirin Thohir MA dan Co-Promotor Dr H Agus Nurhadi MA. Para penguji terdiri Prof H Masdar Hilmy SAg., MA PhD (UIN Sunan Ampel), Prof Dr H Abdul Djamil MA, Prof Dr HM Mukhsin Jamil MAg dan Dr Zainul Adzfar MAg.
Hadir dalam sidang terbuka ayah kandung Akrom, KH Ibu Athoillah Al-Hafidz, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Brebes Fajarin, Kasubag TU Kantor Kementerian Agama Kabupaten Batang Abdul Wahab, keluarga besar dan teman sejawatnya di pascasarjana UIN Walisongo.
Akrom dalam disertasinya mengatakan, karya ilmiah itu membahas tentang corak keberagamaan orang-orang Dukuh Jalawastu Desa Ciseureuh Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes .
”Corak keagamaan orang Dukuh Jalawastu yakni relasi agama budaya terkait dengan pelaksanaan tradisi ritual Ngasa disinyalir tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan Islam. Ritual Ngasa sebagai wujud ekspresi rasa syukur kepada Batara Windu Buana sebagai pencipta alam semesta yang telah memberi banyak rezeki melimpah. Batara Windu Buana punya utusan bernama Guriang Panutus sebagai panutan hidup sederhana. Meski mereka kini muslim orang Jalawastu tetap nyaman menjalankan ritual Ngasa berdasarkan kepercayaan pada Batara Windu Buana,’’ katanya.
Menurut Akrom, secara historis, Orang Jalawastu menganut Sunda Wiwitan memiliki kedekatan dengan kultur Galuh dilihat dari adanya ritual Sewaka, Baritan dan tempat-tempat yang disebut Kabuyutan yang masih ada di Jalawastu. Beberapa nama raja Galuh seperti Prabu Jayeswara, Wastukencana, Purbasora masih diingat oleh tetua-tetua Jalawastu dengan corak keberagamaan masuk kategori Islam Jawa abangan.
‘’Mereka muslim tetapi tidak bisa meninggalkan konsep lama yakni keyakinan terhadap ruh aktif dan Batara Windu Buana. Mereka muslim tapi tetap melaksanakan ritual Ngasa. Ritual Ngasa sebagai simbol digunakan untuk merenungkan kondisi dan berkomunikasi dengan Tuhan. Ritual Ngasa itu seperti Idul Fitrinya orang Islam,’’ tambahnya.
Lanjut dia, ada dua hal pokok di Jalawastu terkait keyakinan terhadap yang ghaib. Pertama, meyakini dua personifikasi Sang Pencipta Alam dalam arti Tuhan yaitu Batara Windu Buana dan Allah Swt. “Bagi mereka (Jalawastu dalam) Batara Windu Buana adalah personifikasi yang berbeda dengan Allah dalam konsep Islam. Sementara bagi Jalawastu luar ada pergeseran makna bahwa Batara Windu Buana adalah Allah dalam konsep kini,’’ ungkapnya.
Kedua, meyakini arwah leluhur bersifat aktif dan mempengaruhi tata laku hidup, nasib baik buruk. Mereka juga percaya roh halus. Aspek ini membuktikan bahwa mereka adalah penganut anismisme dan dimanisme dalam wujud agama Sunda Wiwitan di Sunda atau Kapitayan di Jawa. Pengaruh keyakinan Hindu juga terlihat namun berbeda dengan konsep keyakinan orang Jalawastu karena tidak mengenal perantara untuk berhubungan dengan Tuhan.
Akrom menyimpulkan, pembelahan Jalawastu dalam dan luar berpotensi memicu konflik. Jalawastu luar yang semakin dominan sangat mungkin didukung oleh Islam mainstream diluar Jalawastu seperti penyuluh agama dan dai-dai yang lain yang berprinsip Fikih sentris bisa saja meniadakan ritual Ngasa secara paksa. Upaya penetrasi Islam normatif sebetulnya wajar apabila dilakukan dengan bahasa dan kultur Jalawastu yang selama ini secara sadar sudah mulai diterima oleh Jalawastu luar.