Search

Sufisme dan Karisma Kiai NU : Studi atas Pengaruh Spiritual dalam Kepemimpinan Keagamaan
Oleh : Heri Junaidi, S.Sos.*)

Majalahaula.id – Sufisme, sebagai dimensi spiritual dalam Islam, telah memainkan peran penting dalam membentuk kepemimpinan keagamaan di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Kiai, sebagai pemimpin spiritual dan sosial di komunitas NU, seringkali dianggap sebagai representasi dari nilai-nilai sufistik yang mendalam. Karisma yang dimiliki oleh Kiai tidak hanya berasal dari pengetahuan keagamaan mereka, tetapi juga dari kedalaman spiritual dan kemampuan mereka untuk mempengaruhi pengikutnya melalui ajaran-ajaran sufisme.

NU, sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia bahkan dunia, memiliki akar kuat dalam tradisi Ahlussunnah wal Jamaah yang mengintegrasikan ajaran tasawuf (sufisme) sebagai bagian integral dari praktik keagamaan. Sufisme dalam konteks NU tidak hanya dipahami sebagai praktik ritual semata, tetapi juga sebagai cara hidup yang menekankan kedekatan dengan Tuhan, akhlak mulia, dan kepedulian sosial. Kiai NU, sebagai penerus tradisi ini, seringkali menjadi figur yang menghubungkan masyarakat dengan dimensi spiritual Islam. Tradisi Sufisme dalam NU berakar pada tarekat-tarekat yang berafiliasi dengan organisasi ini, seperti Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN), Tarekat Syattariyah, dan Tarekat Naqsyabandiyah.

Para kiai NU sering kali menjadi mursyid dalam tarekat-tarekat ini dan berperan dalam membimbing murid-muridnya secara spiritual. Pembinaan spiritual ini menekankan aspek akhlak, dzikir, serta kedekatan dengan Allah SWT. Oleh karena itu, keberadaan seorang kiai tidak hanya sebatas sebagai pemimpin keagamaan, tetapi juga sebagai pemimpin spiritual yang dihormati oleh masyarakat.

Baca Juga:  Peran Orang Tua Dalam Pendidikan Karakter Anak

Karisma kiai NU tidak dapat dipisahkan dari kedalaman spiritual mereka. Karisma ini muncul dari kemampuan kiai untuk memadukan pengetahuan keagamaan formal (seperti fikih dan tauhid) dengan praktik sufistik seperti zikir, tawassul, dan riyadhah (latihan spiritual). Kiai seringkali dianggap sebagai “wali” atau orang suci yang memiliki kekeramatan (karomah), yang dipercaya dapat memberikan berkah (barokah) kepada pengikutnya. Kepercayaan ini memperkuat posisi kiai sebagai pemimpin yang dihormati dan dipatuhi.

Pengaruh spiritual kiai NU memiliki dampak yang luas terhadap kepemimpinan keagamaan, antara lain : 1) Meningkatkan Kesadaran Keagamaan. Melalui pengajaran tasawuf, masyarakat lebih memahami pentingnya ibadah dan akhlak dalam kehidupan sehari-hari. 2) Menjaga Stabilitas Sosial. Kiai NU sering menjadi mediator dalam konflik sosial dan politik karena dianggap sebagai figur yang netral dan bijaksana. 3) Penyebaran Islam Moderat. Tradisi tasawuf yang menekankan nilai-nilai kesabaran dan toleransi menjadikan NU sebagai organisasi Islam yang berkarakter moderat.

Baca Juga:  Mendorong Kemandirian Ekonomi Pesantren

Pengaruh spiritual Kiai juga terlihat dalam kemampuan mereka untuk memimpin dan memobilisasi masyarakat. Kiai tidak hanya menjadi pemimpin dalam urusan keagamaan, tetapi juga dalam masalah sosial, politik, dan budaya. Kepemimpinan mereka seringkali didasarkan pada nilai-nilai sufistik seperti kesederhanaan, kerendahan hati, dan kepedulian terhadap sesama.

Sebagai contoh, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, Pendiri NU, dikenal tidak hanya sebagai ulama besar tetapi juga sebagai pemimpin spiritual yang karismatik. Kedalaman spiritualnya tercermin dalam tulisan-tulisannya tentang tasawuf dan akhlak, serta dalam kepemimpinannya yang penuh kebijaksanaan. Kiai-kiai lain seperti KH. Wahab Chasbullah dan KH. Sahal Mahfudh juga dikenal karena integritas spiritual mereka yang memengaruhi cara mereka memimpin dan berinteraksi dengan masyarakat.

Baca Juga:  Sulitnya Berhijrah

Sufisme memainkan peran sentral dalam membentuk karisma kiai NU. Melalui praktik dan ajaran sufistik, Kiai mampu membangun hubungan spiritual yang mendalam dengan pengikutnya, yang pada gilirannya memperkuat posisi mereka sebagai pemimpin keagamaan. Karisma kiai NU tidak hanya berasal dari pengetahuan keagamaan mereka, tetapi juga dari kemampuan mereka untuk menghidupkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Studi ini menunjukkan bahwa spiritualitas sufistik merupakan elemen kunci dalam kepemimpinan keagamaan di kalangan NU.

 

 

*) Penulis adalah Wakil Ketua I MWCNU Panji dan Sekretaris Pengurus Cabang Badan Perencanaan Nahdlatul Ulama (PC BAPENU) Kabupaten Situbondo

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA