Search

KH Hasan Gipo dan Nahdlatul Ulama : Perencanaan Organisasi dalam Konteks Tradisi dan Modernitas
Oleh : Heri Junaidi, S.Sos.*)

Majalahaula.id – Hasan Basri Sagipodin atau sering disapa Hasan Gipo (1869-1934) adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode pertama kali yang mendampingi K.H. M. Hasyim Asyari sebagai Rais Akbar. Nama Gipo adalah kependekan dari Sagipodin, yakni nama sebuah keluarga yang dikenal saudagar kaya raya saat itu dan masih memiliki darah keturunan dari Sunan Ampel. Aktivitas dagangnya memberikan Beliau wawasan luas tentang pengelolaan organisasi dan pentingnya membangun jaringan yang kuat. Keterlibatannya dalam aktivitas sosial dan keagamaan mempertemukan Beliau dengan para ulama besar, seperti KH M. Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan tokoh-tokoh lainnya yang kemudian menjadi Pendiri NU.

NU lahir dalam konteks pergulatan antara tradisi Islam Nusantara dan pengaruh modernisasi, termasuk tekanan kolonialisme Belanda yang membatasi gerakan organisasi pribumi, termasuk organisasi keagamaan, dan juga dinamika gerakan Islam reformis. Sebagai organisasi, NU bertujuan untuk mempertahankan ajaran Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) yang berakar pada tradisi Islam klasik, sambil merespons tantangan zaman dengan strategi yang relevan.

Baca Juga:  Gus Ulil: Syarat Bolehnya Mengkafirkan

KH Hasan Gipo memahami bahwa keberlanjutan organisasi memerlukan kombinasi dari keduanya tradisi sebagai basis nilai dan modernitas sebagai alat untuk keberhasilan operasional. Dalam kepemimpinannya, KH Hasan Gipo memainkan peran krusial dalam meletakkan dasar-dasar organisasi yang memadukan nilai-nilai tradisional Islam dengan pendekatan modernitas.

Beberapa langkah strategis KH Hasan Gipo yang mencerminkan integrasi antara tradisi dan modernitas : 1) Penyusunan Struktur Organisasi. KH Hasan Gipo, bersama ulama lainnya, menyusun struktur organisasi NU yang berbasis pada tradisi Islam, seperti musyawarah (syura) dan kepemimpinan kolektif (ijma’). Namun, struktur ini juga diadaptasi agar sesuai dengan format organisasi modern, dengan adanya posisi ketua umum, sekretaris, dan berbagai bidang yang spesifik. Dan juga Beliau memastikan bahwa NU memiliki aturan dasar (Anggaran Dasar) yang menjadi pedoman dalam menjalankan roda organisasi dan memperlihatkan kemampuan perencanaan jangka panjang untuk menjaga keberlanjutan organisasi. 2) Penguatan Identitas Keagamaan. Di tengah tantangan dari kelompok-kelompok pembaru yang sering kali ingin mengubah tradisi Islam Nusantara, KH Hasan Gipo merancang langkah-langkah untuk memperkuat identitas NU sebagai penjaga tradisi. Beliau memanfaatkan momentum-momentum keagamaan seperti Maulid Nabi dan kegiatan tahlil untuk mempererat umat. 3) Penguatan Jaringan Ulama dan Santri. KH Hasan Gipo mendorong NU menjadi wadah konsolidasi ulama dan pesantren di seluruh Nusantara. Beliau memanfaatkan jaringan perdagangan dan relasi sosialnya untuk membangun jejaring komunikasi dan kerja sama yang kuat, memadukan semangat ukhuwah Islamiyah dengan pendekatan logistik yang sistematis. 4) Pemberdayaan Ekonomi. Dengan latar belakangnya sebagai saudagar, KH Hasan Gipo memperkenalkan pentingnya kemandirian ekonomi dalam mendukung kegiatan keagamaan. Hal ini diwujudkan melalui pembentukan koperasi dan usaha berbasis komunitas, yang menjadi ciri khas pendekatan NU dalam memberdayakan umat. 5) Penerbitan dan Pendidikan. Untuk memperkuat dakwah dan penyebaran ajaran Aswaja, KH Hasan Gipo mendorong penerbitan kitab-kitab dan media keagamaan. Beliau juga mendukung pendirian lembaga pendidikan yang berbasis pesantren, tetapi tetap terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern. 6) Kerjasama dengan Ulama Tradisional. Dalam merancang strategi perjuangan, KH Hasan Gipo membangun aliansi dengan ulama-ulama tradisional di berbagai daerah. Hal ini memperkuat basis NU di akar rumput dan memperluas jaringan organisasi.

Baca Juga:  Perlukah Mendirikan SMA/SMK/MA Negeri di Sidoarjo?

KH Hasan Gipo adalah sosok visioner yang mampu membawa Nahdlatul Ulama ke panggung sejarah sebagai organisasi yang adaptif dan berkelanjutan dengan mengintegrasikan tradisi Islam Nusantara dan prinsip-prinsip modernitas dalam tata kelola organisasi. Beliau mengajarkan bahwa keberhasilan organisasi terletak pada visi yang jelas, kemampuan membaca situasi, dan keberanian untuk bertindak. NU di bawah kepemimpinannya menjadi pelopor pergerakan keislaman yang kokoh dan inklusif hingga kini yang menjadi inspirasi bagi NU dalam merespons dinamika sosial, politik, dan budaya di Indonesia.

 

 

*) Penulis adalah Wakil Ketua I MWCNU Panji dan Sekretaris Pengurus Cabang Badan Perencanaan Nahdlatul Ulama (PC BAPENU) Kabupaten Situbondo

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA