Search

Spiritualitas Haji, Buku Karya Rektor UINSA Yang Menjadi Pengobat Rindu Makkah Madinah

AULA – Rukun Islam yang kelima adalah ibadah haji bagi yang mampu. Begitulah sepenggal rukun Islam yang menjadi sebab mengapa ibadah Haji adalah impian bagi kaum muslimin yang ingin menyempurnakan iman dan Islam-nya.

Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 196:

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah.

Seperti kita ketahui, Kerajaan Arab Saudi tepat pada Kamis (5/3/2020) tahun lalu, mengumumkan penangguhan ibadah umrah termasuk haji, sementara waktu sebagi bentuk antisipasi penyebaran virus corona. Pada awal tahun 2021, perizinan ibadah ‘umrah kemudian dibuka kembali dengan batasan usia bagi jemaah umrah WNI adalah 18-60 tahun, setelah sebelumnya hanya berlaku hingga usia 50 tahun.

Sebelum pembatasan umrah, penulis (Lia Istifhama, red.) bersempat menjalani ibadah umrah pada 12 Februari 2020. Sedangkan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. H. MASDAR HILMY S.Ag.,M.A.,Ph.D., menuntaskan rukun Islam ke lima dengan ibadah Haji pada 2019. Ibadah Haji tersebut merupakan ibadah haji terakhir sebelum pandemi Covid 19 sehingga 2020 dihentikan sementara. Ibadah haji bagi WNI baru diberlakukan lagi pada 2021 namun dengan syarat vaksinasi terlebih dahulu.

Baca Juga:  Memondokkan Anak Tidak Harus Menunggu Usia Remaja

Saat melangsungkan ibadah Haji, Guru Besar Ilmu Sosiologi tersebut menyempatkan menulis buku “Spiritualitas Haji: Prosesi, Refleksi, dan Serba-serbi”, yang ditulis hanya selama 40 hari ibadah haji melalui media mobile phone. Buku tersebut tentunya menjadi sebuah karya dengan esensi istimewa, karena ditulis secara nyata melalui pengalaman ibadah di tanah suci. Buku setebal 230 halaman tersebut seakan menjadi pengobat rindu para jamaah haji dan umroh yang telah menunda perjumpaan dengan Makkah-Madinah.

Dalam buku tersebut, dijelaskan banyak pengalaman inspiratif yang dikaitkan dengan fikih. Diantaranya adalah konsep Istita’ah, yaitu kemampuan.

Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 97:

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Baca Juga:  95 Tahun Usia NU Dalam Hitungan Masehi, Ini Ucapan Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Konsep kemampuan tersebut dijelaskan oleh banyak Jumhur ‘Ulama adalah keterkaitan antara kemampuan materi dan kemampuan fisik. Namun oleh Prof Masdar, kemampuan memiliki makna sebagai kemampuan iktikad dan komitmen.

“Sekalipun seseorang diberkati harta berlimpah dan Kesehatan prima, jika dia tidak tertanam keinginan (iktikad dan komitmen) yang kuat, maka dia tidak akan terpanggil untuk mendaftarkan sebagai calon haji. Orang-orang dengan profesi sebagai pemungut sampah, penjual kue, penjual daun pisang, dan profesi lain dipandang “rendahan”, telah membuktikan dapat beribadah haji. Inilah yang disebut iktikad dan komitmen.”

Baca Juga:  Keutamaan Do’a Seorang Bapak Pada Anaknya

Begitu sedikit penggalan isi buku yang menjelaskan bahwa panggilan haji bukan terukur kemampuan materi. Haji bukan ajang pamer, melainkan panggilan dari Allah SWT kepada kaum muslimin yang telah membangun iktikad dan komitmen untuk beribadah secara tulus ikhlas di tanah suci. (*)

Dr. Lia Istifhama, MEI, Wakil Sekretaris MUI Jatim

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA