Majalahaula.id – Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Kabar duka menyelimuti dunia pendidikan dan pesantren di tanah air. KH. Imam Haromain Asy’ari, sosok ulama kharismatik yang dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Asrama Sunan Ampel, Ahad, 15 Desember 2025 yang bertepatan 13 Jumadil Akhir 1446 H Ba’da Magrib telah berpulang ke rahmatullah. Kepergian beliau meninggalkan duka mendalam bagi para santri, keluarga, dan umat Islam yang mengenalnya.
KH. Imam Haromain Asy’ari dikenal sebagai seorang ulama bersahaja, yang tidak hanya mengasuh pondok pesantren tetapi juga aktif di dunia birokrasi. Beliau pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Sidoarjo, Kepala Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur, hingga Kepala Kantor Kemenag Jawa Tengah.
Sosoknya, Kiai yang sederhana, ramah, dan penuh kasih sayang membuat para santri memanggilnya dengan sebutan “Bapak”, mencerminkan kedekatan emosional yang mendalam antara beliau dan para santri.
Semasa hidup, beliau selalu istiqomah dalam menjalankan amalan-amalan ibadah, termasuk membaca surat Al-Waqi’ah setelah salat Subuh. Nada bacaan beliau ketika menjadi imam shalat memiliki kekhasan tersendiri yang hingga kini masih melekat dalam ingatan banyak orang terutama para santri. Istiqomah dan keteladanan beliau menjadi inspirasi bagi para santri yang pernah merasakan didikannya.
Ada satu pengalaman pribadi yang begitu membekas dalam ingatan saya saat menjadi santri di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Asrama Sunan Ampel, tepatnya ketika saya kelas 1 MA Mu’allimin. Saat itu, saya merasa diri saya tertinggal jauh dalam kemampuan membaca kitab kuning. Padahal, itulah motivasi utama dari orang tua dan guru-guru saya untuk memasukkan saya ke MA Mu’allimin Denanyar—supaya saya bisa mahir membaca kitab kuning.
Namun, kenyataannya di asrama tempat saya tinggal, hanya saya dan seorang teman sekelas yang berasal dari MA Mu’allimin. Sebaliknya, banyak santri dari asrama lain di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang yang sudah terlihat mahir membaca kitab kuning. Saya merasa minder dan ragu akan kemampuan saya sendiri. Tekanan itu membuat saya berpikir bahwa saya membutuhkan lingkungan yang lebih mendukung untuk belajar.
Akhirnya, setelah berdiskusi panjang dengan orang tua, saya memutuskan untuk meminta izin kepada KH. Imam Haromain Asy’ari, pengasuh pondok, agar saya bisa boyong dan pindah ke asrama lain. Dengan sedikit ragu, saya sowan kepada beliau, menyampaikan niat dan alasan saya.
Ketika saya selesai berbicara, saya dikejutkan oleh reaksi beliau. Beliau tidak marah atau kecewa, melainkan meneteskan air mata. Dengan suara lembut namun penuh emosi, beliau dawuh, “Mas Fuad, saya minta maaf. Mungkin karena kesibukan saya, beberapa santri merasa tidak mendapatkan perhatian penuh, terutama dalam pembelajaran kitab. Tapi, sesibuk apapun saya, setiap Sabtu dan Ahad saya berusaha datang ke pondok untuk menyimak hafalan para santri kelas akhir mulai dari surat Yasin, Waqi’ah, Al-Kahfi, dan lainnya. Kalau Mas Fuad masih ingin mengembangkan kemampuan membaca kitab kuning, nanti saya minta salah satu pembina asrama untuk mendampingi Mas Fuad dan teman-teman yang sedang belajar di Mu’allimin.”
Dawuh beliau itu benar-benar menggugah hati saya. Seorang pengasuh sekaliber KH. Imam Haromain Asy’ari, dengan jabatan tinggi dan kesibukan luar biasa, justru meminta maaf kepada saya, seorang santri kecil, dan bahkan merasa bersalah atas keterbatasan yang saya alami. Beliau tidak menyalahkan saya, tidak juga sistem atau siapa pun, beliau malah mengambil tanggung jawab itu sepenuhnya ke pundaknya sendiri.
Saya tidak kuasa menahan air mata. Bagaimana mungkin saya meninggalkan seorang “bapak” yang begitu perhatian, yang rela merendahkan dirinya demi menyemangati santrinya? Saya akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal di asrama. Dawuh beliau menjadi cambuk semangat bagi saya.
Sejak saat itu, saya tidak lagi menyalahkan keadaan atau lingkungan tempat saya belajar. Saya sadar bahwa semua tergantung pada diri saya sendiri. Saya mulai meminta waktu dari beberapa guru dan Kiai untuk mengaji dan sorogan secara lebih intensif. Dengan dukungan dari KH. Imam Haromain Asy’ari, saya perlahan mulai memahami kitab kuning dan menemukan kepercayaan diri saya kembali.
Kenangan itu tidak hanya mengajarkan saya tentang kesabaran dan kerja keras, tetapi juga tentang kerendahan hati seorang pemimpin. KH. Imam Haromain Asy’ari adalah sosok yang luar biasa, yang tidak hanya membimbing dengan ilmu, tetapi juga dengan hati. Sugeng tindak, Bapak. Dawuh dan kasih sayangmu akan selalu menjadi teladan dalam hidup kami para santri.
Penulis: Mochammad Fuad Nadjib (Santri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Asrama Sunan Ampel Denanyar Jombang)