Majalahaula.id – Hari ini agenda kajian saya cukup padat, online dan offline. Setelah berbuka bersama di warung Indonesia miliki Ibu Eli yang terdapat di samping Masjid Al-Hidayah, Keelung, saya didampingi oleh Mas Nanang, pelaut yang juga jemaah masjid, bergegas mendatangi Musala Darul Iman di Pelabuhan Patoce. Saya terjadwal mengimami salat Tarawih dan mengisi kajian di tempat ini.
Ibu Anggun selaku kordinator kegiatan dakwah saya di Keelung dan Ibu Sina turut hadir. Selain membawakan makanan sajian untuk para jemaah di Musala, Ibu Anggun juga bersiap jika nanti dibutuhkan sebagai penerjemah ke dalam bahasa Mandarin, karena sebelumnya ada informasi bahwa kegiatan kali ini juga akan dihadiri oleh pihak Depnaker dan Kepolisian.
Kami tiba di Musala Patoce sesaat sebelum masuk waktu Isya, disambut oleh belasan orang yang sudah mengenakan busana muslim dan siap untuk mengikuti serangkaian salat Isya dan Tarawih. Kami dipersilakan duduk.
Saya menyempatkan diri menyapa sebagian jemaah dan berbincang dengan mereka. Menanyakan asal daerah, aktivitas sehari-hari, agenda dan pola kerja, serta tema-tema lainnya. Saat itu, saya tercengang melihat di sisi selatan musala yang sekeliling dindingnya dihiasi oleh kaligrafi lafaz-lafaz mulia itu terdapat sebuah papan tulis bertuliskan materi tajwid mengenai bacaan izhhar dan idgham.
“Tampaknya di sini ada yang mengajar mengaji Alquran, ya?” Tanya saya pada seorang jemaah yang duduk persis di depan saya.
“Ya, Gus. Dia yang mengajar.” Jawabnya sambil menunjuk kepada seorang berbaju koko hitam dengan logo NU yang sedang tahiyat akhir di saf kedua dari depan.
Sesaat kemudian, setelah mengakhiri salatnya, pria paruh baya yang dimaksud itu menghampiri saya. Kami berkenalan dan saling bertukar cerita. Kalau tidak salah ingat, Pak Iriyanto, namanya. Seorang pengurus masjid yang juga pelaut. Ia menyampaikan rasa syukurnya bahwa di sela-sela kesibukan kerja para ABK di bawah pengawasan -bahkan tekanan- majikan, mereka masih berkesempatan untuk hadir ke musala, beribadah, dan bahkan belajar agama.
Tak lama kemudian, datanglah Pak Huda, Ketua Ranting PCINU Keelung yang sekaligus takmir masjid Al-Hidayah. Kami memang janjian untuk bertemu di lokasi sebab pabrik tempat ia bekerja terletak tidak jauh dari situ.
“Gus, nanti jenengan yang ngimami dan setelah itu langsung ceramah.” Bisiknya pada saya, dan saya pun menyanggupi.
Rangkaian salat Isya, Tarawih dan Witir kami laksanakan.
Seusai salat, Pak Iriyanto menyampaikan sambutannya atas nama pengurus musala. Ia menyampaikan terima kasih dan permohonan maaf, terutama bila di tengah-tengah penyampaian materi kajian nanti para jemaah tidak bisa tenang dan menyimak dengan seksama, karena memang demikian kebiasaannya.
Dan tibalah giliran saya.
Dalam kesempatan kajian bakda Tarawih itu, saya menyampaikan materi dengan tema utama mengenai etos kerja perspektif Islam. “Sungguh Allah menyukai apabila salah seorang kalian mengerjakan suatu pekerjaan, ia mengerjakannya dengan sempurna/profesional (itqan).” Demikian sabda Nabi riwayat al-Baihaqi dari Aisyah Ra. yang menjadi salah satu landasan utama kajian yang saya sampaikan. Namun sebelum itu, sebagai pengantarnya, saya terlebih dahulu mengajak saudara-saudara saya yang mayoritas para ABK itu bermuhasabah; merenung, bercermin bersama, melihat ke dalam diri masing-masing.
“Mudah-mudahan kita semua senantiasa dianugerahi rahmat, ‘inayah dan hidayah oleh Allah Swt. sehingga istikamah dalam keimanan dan ibadah kepada Allah Swt. Karena hakikat tujuan hidup kita tidak lain hanya untuk beribadah. Sebelum kita diperintahkan untuk melakukan apapun, Allah mengamanatkan satu hal kepada kita: Ibadah. ‘Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku’ (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Oleh karena itu, kalaupun kita punya profesi, jabatan, pekerjaan dan kesibukan, seluruhnya haruslah membawa kita kepada tujuan utama dari kehidupan, yakni untuk beribadah kepada Allah Swt.
Kita boleh sibuk, berprofesi dan bekerja apapun, asalkan membawa kita kepada ibadah dan pengabdian kepada Allah. Itu yang kita mohon dan harapkan. Supaya ketika nanti meninggalkan dunia, kita telah memenuhi amanah Allah sebagai hamba-hamba-Nya yang benar-benar beribadah kepada-Nya. Apalah artinya hidup ini jika keringat, kesibukan dan pikiran yang kita curahkan tidak bernilai ibadah yang menjadi tujuan utama dari kehidupan ini?!”
Demikian saya membuka kajian. Ternyata tidak sebagaimana disampaikan Pak Iriyanto sebelumnya, jemaah justru terlihat hening, antusias menyimak dengan seksama, merenung dalam-dalam. Suatu hal yang patut kami syukuri. Alhamdulillah.
Pada sesi tanya-jawab, beberapa pertanyaan dilontarkan oleh jemaah. Antara lain mengenai hukum azan dan iqamah bagi yang salat di rumah, zakat fitri dan pendistribusiannya, problematika salat di kapal bagi ABK, dan lain sebagainya yang insyaAllah akan kami sajikan dalam format tulisan yang lain.
Kajian segera saya akhiri dan pamit undur diri karena sudah tiba saatnya saya masuk kelas pengajian online via Line bersama para jemaah yang tergabung dalam KOMIT (Komunitas Muslim Indonesia Taiwan) yang kajian dan diskusinya juga tidak kalah seru dan menarik. Tidak lupa, sebelum meninggalkan musala dan kembali ke masjid di Keelung, kami terlebih dahulu foto bersama sebagai kenang-kenangan.