Search

Menyongsong HSN 2023 Dari Resolusi Jihad Menuju Resolusi Adab

Pengurus Lakpesdam PWNU Jateng
Pengurus Lakpesdam PWNU Jateng

Majalahaula.id – Perjalanan kita ber NKRI sudah lewat tujuh puluh delapan tahun, sementara perjalanan organisasi Kyai sarungan sudah melewati satu abad. Dua perjalanan seiring sejalan itu telah memberikan pesan dan kesan yang kuat “jauh dekat ongkosnya sama”. Ketika perang kemerdekaan, Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari tanggal 22 Oktober 1945 telah membuktikan patriotisme Santri dan Kyai pada pertempuran hebat 10 Nopember 1945 di Surabaya. Begitu dekatnya Ulama dengan Umaro saat itu, bahu membahu dalam perang kemerdekaan. Semua ada dalam bingkai nasionalisme religius dan politik kebangsaan. Resolusi Jihad itu yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional (HSN) sejak tahun 2015.

Di era Orde Baru betapa organisasi kaum sarungan ingin dibonsai dalam partisipasi politik. Aspirasi Nahdliyin melalui Partai Nahdlatul Ulama (PNU) kemudian “dikandangkan” lewat bendera Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lihat saja fakta sejarah sepanjang rezim Orba, Santri dan Kyai NU dimarginalkan. Bahkan Gus Dur diperlakukan semena-mena. Jabatannya sebagai Ketua PBNU tidak dikehendaki. Lalu dibuatlah skenario berbagai cara untuk mendepak dia dan memarginalkan NU. Namun tetap saja Nahdliyin teguh dengan sikap santunnya, tahan uji dan tahan derita. Dan tetap mendoakan keselamatan negeri ini. Artinya jauh dari pemerintah tidak berpengaruh, dekat dengan pemerintah juga tidak merasa jumawa.

Sekarang kita lihat fenomena pemahaman beragama yang ditampilkan oleh segelintir saudara seiman kita. Merasa paling benar sendiri dan orang lain gak boleh benar. Lucu banget. Sangat mudah membid’ahkan amaliyah dan aktivitas keagamaan Nahdliyin. Lalu melabel sebutan kafir jika tidak sama dengan pemahaman kelompoknya. Bukankah perilaku berdakwah dan beragama yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW lebih mengedepankan wajah ramah, senyum dan bening. Suri tauladan Nabi adalah siddiq, tabligh, amanah, fathonah. Orang cerdas alias fathonah dalam menyampaikan dakwah tidak perlu pakai menu marah, mata melotot dengan sambal dalil. Hanya ribut soal dalil naqli tapi mengabaikan dalil aqli.

Baca Juga:  Rilis Peringatan Hari Santri 2022, Menag Minta Jawab Kebencian dengan Prestasi

Jadi pemahamannya yang perlu dipertebal dengan banyak mengaji kitab dan silaturrahim. Lantas kemudian apakah Nahdliyin ikut marah juga kepada saudaranya ini. Ternyata tidak kan. Semua disikapi dengan keteduhan dan kesejukan. Santai mawon. Dakwah itu mengajak bukan mengejek, merangkul bukan memukul, memupuk simpati bukan antipati. Jangan seperti tong kosong nyaring bunyinya, air beriak tanda tak dalam. Tampilnya pendakwah rahmatan lil alamin seperti Gus Baha mampu memberikan dakwah yang sejuk, santun dan beradab. Lihatlah dakwah Gus Baha dan yang lainnya, cermin berdakwah yang ramah.

Termasuk seorang pendakwah muda Gus Iqdam dari Blitar yang jamaahnya mayoritas disebut “garangan”. Mengapa disebut garangan karena yang hadir adalah kaum yang dimarginalkan, dipinggirkan karena perilaku. Dakwah Gus Iqdam yang merangkul, mengajak dan meng”uwongke” mampu menghadirkan puluhan ribu jamaah. Dan itu setiap minggu di majelisnya. Belum lagi di tempat lain. Bahkan dakwah Gus Iqdam di Taiwan belum lama ini dihadiri duapuluhan ribu jamaah yang sebagian besar pekerja migran Indonesia. Polisi Taiwan angkat topi dengan suasana dakwah yang santun, ceria dan tertib. Kita juga angkat topi dan hormat dengan pemerintah Taiwan yang memberi izin puluhan ribu “orang luar” berkumpul dan berdakwah. Inilah contoh dakwah annahdliyah yang rahmatan lil alamin, berwajah ramah dan ceria, bukan wajah marah dan murka.

Baca Juga:  PPPK Solusi Masalah Guru, Apakah Malah Jadi Problem Baru?

Perjalanan lima tahun terakhir ini tanpa kita sadari sebagai umat yang terikat ukhuwah wathoniyah,
sudah terbungkus polarisasi. Hubungan persaudaraan nasional kita saat ini penuh dengan kebencian karena pilihan politik yang berbeda. Seperti sudah sampai pada tahap patah arang. Situasi ini jelas berbahaya, menurut pendapat sebagian orang. Namun dari sudut pandang Santri dan Kyai kebencian dan permusuhan itu tidak lantas berakibat merasa patah arang. Pandangan ini juga bagian dari kalimat doa yang selalu dilantunkan para Kyai dan Santri di ribuan pondok pesantren. Selalu mendoakan keselamatan dan kesejahteraan negeri ini. Allahummaj’al baldatanaa Indonesia ma’murotan bithoatin bi wa’zhil ulama’.

Lalu apa masalahnya. Yang bermasalah sebenarnya adalah adab beragama dan adab kebangsaan. Karena adab beragama dan adab kebangsaan kita saat ini berada di titik nadir. Menjalankan tuntunan beragama tapi kurang beradab, kurang berakhlak. Tetapi lantas merasa paling beradab, paling benar. Kita bersyukur karena sepanjang perjalanan organisasi Nahdliyin selalu dipimpin dan dibimbing oleh Kyai-kyai NU yang beradab, santun dan tawaddu. Karakter kepemimpinan seperti ini adalah ciri khas ribuan Kyai dan jutaan Santri di seluruh tanah air. Patronnya sama. Karena adab dan akhlak sejatinya adalah kultur Pesantren.

Oleh sebab itu kita perlu mengedepankan dan mengumandangkan resolusi terkini yang terkait soal adab beragama dan adab kebangsaan. Dengan contoh adab perilaku yang sudah terbukti dalam perjalanan seabad organisasi Nahdliyin. Politik tertinggi Annahdliyah adalah politik kebangsaan. Dunia mengakui adab beragama dan adab kebangsaan menjadi kekuatan terhebat Nahdlatul Ulama. Buktinya berduyun-duyun organisasi keagamaan di negara berkarakter Islam mulai mengadopsi kurikulum karakter adab beragama dan adab kebangsaan yang menjadi way of life Nahdliyin.

Baca Juga:  Perlukah Mendirikan SMA/SMK/MA Negeri di Sidoarjo?

Eksistensi negeri tercinta, sebuah negara kepulauan terbesar, negara dengan penduduk muslim terbesar, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Indonesia sesungguhnya punya marwah hebat karena mampu mengedepankan fikroh, ghiroh dan haraqah nasionalis religius. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, dan yang terbesar dari ummat Islam negeri ini adalah kaum sarungan. Penampilan adab beragama dan adab kebangsaan Annahdliyah diniscayakan mampu menjadi cara pandang perspektif dunia Islam saat ini dan seterusnya.

Maka Resolusi Adab selayaknya menjadi model perjuangan yang harus dikembangbesarkan, dikuathebatkan atau bahkan bisa diekspor ke segala penjuru dunia. Bahwa sekarang dan ke depan semangat ukhuwah basariyah merawat jagat membangun peradaban bisa menjadi perekat kebersamaan. Inilah sesungguhnya hakekat dan martabat lakum dinukum waliyadin. Indonesia dengan 275 juta penduduk terbukti bisa mengelola semangat beragama dan semangat kebangsaan dalam kebhinnekaan. Dan ruh dari semua itu karena peran Kyai dan Santri yang mampu mengedepankan adab beragama dan adab kebangsaan sepanjang usia Republik. Selamat Hari Santri Nasional (HSN) 22 Oktober 2023.
****
Semarang 18 Oktober 2023
Penulis adalah pengurus Lakpesdam PWNU Jateng

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA