Search

Santri Anak dalam Tantangan Perubahan Iklim

Majalahaula.id – Awal musim kemarau membuat pagi di Yogyakarta terasa terik. Namun, suhu panas tak begitu dirasakan oleh para santri di Pondok Pesantren Assalafiyyah 2 Mlangi, Sleman, Yogyakarta.

Hanya berjarak 350 meter dari Jalan Ring Road Barat, atmosfer pesantren ini terasa berbeda. Sejuk pepohonan di area pesantren menyamarkan panas dan polusi.

Meski tergolong tempat yang teduh, saat cuaca ekstrem sejumlah santri masih merasakan dampaknya. Pada cuaca panas misalnya, tak sedikit anak yang mengalami kegerahan hingga panas dingin.

“Kalau santri rata-rata mereka kegerahan, merasakan panas, kalau sakit paling panas dingin” kata Ahmad Afif Muzayyin, Pengurus Direktorat Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan (K3L) PP Assalafiyyah 2 Mlangi.

“Pakaian-pakaian yang belum kering sepenuhnya, ketika itu dipakai, itu kan bisa jadi masih ada kuman-kuman atau bakteri-bakteri yang masih ada menempel di situ” ujar Fajrul.

Baca Juga:  Pesantren Mambaul Ulum Jembrana Bali, Jadi Ponpes Tertua di Bali

Santri yang hidup dan beraktivitas secara komunal juga membuat scabies mudah menular. Misalnya, kebiasaan menggunakan handuk atau alat-alat pribadi bersama.

Selain suhu udara, curah hujan di DIY juga tercatat mengalami peningkatan. Misalnya, curah hujan di daerah utara Yogyakarta tepatnya di Pakem dalam kurun 1996 hingga 2020 mengalami kenaikan 24,14 mm per tahunnya. Hal serupa juga terjadi di persebaran wilayah Yogyakarta.

Mitigasi perubahan iklim mengacu pada upaya mengurangi atau membatasi penyebab utama perubahan iklim, yaitu emisi gas rumah kaca. Sementara adaptasi melibatkan upaya mengurangi risiko, membangun ketahanan, dan meningkatkan kemampuan manusia dan ekosistem dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Mengurangi konsumsi energi dan sumber daya, menggunakan energi terbarukan, dan mengelola air dengan efisien adalah contoh mitigasi yang dapat dilakukan di pesantren. Praktik-praktik ini bisa dilakukan santri baik di lingkungan pondok maupun di masyarakat.

Baca Juga:  Santri MUQ Langsa Studi Komparatif Ke Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah Medan

Sampah menjadi salah satu problem utama di pesantren. Mengelola sampah merupakan bagian penting mengurangi emisi gas rumah kaca. Ketika sampah terurai di tempat pembuangan, terjadi pelepasan gas metana (CH4), yang merupakan salah satu gas rumah kaca kuat dan berkontribusi terhadap pemanasan global.

Upaya serupa juga dilakukan oleh Pesantren Assalafiyyah 2 Mlangi, Sleman. Jika Al Imdad berfokus pada pengolahan sampah, Assalafiyyah justru melakukan mitigasi melalui pengurangan penggunaan sampah plastik.

Para santri diwajibkan menggunakan alat makan dan minum yang bisa dipakai berulang untuk mengurangi sampah plastik. Kantin pun hanya menjual makanan-makanan yang minim sampah plastik.

Ketika dijenguk, orang tua atau wali juga tidak diperbolehkan membawa makanan yang dibungkus oleh wadah sekali pakai. Hasilnya, produksi sampah saat penjengukan menurun drastis.

Baca Juga:  Peran Pesantren Diharapkan Jadi Tonggak Pendidikan Agama

Sebelum menerapkan aturan tersebut, sampah-sampah di Pesantren Assalafiyyah 2 Mlangi memang terbilang sangat banyak. Bahkan, di Kabupaten Sleman, pesantren ini termasuk penyumbang sampah terbesar. Hal ini yang berusaha diubah oleh para pengurus.

Penting bagi pesantren mengambil langkah-langkah konkret mengurangi dampak perubahan iklim dan melindungi anak-anak di dalamnya. Langkah ini bisa dilakukan melalui pendekatan yang holistik, mulai dari pendidikan perspektif iklim, peningkatan kesehatan, hingga menjaga lingkungan. Dengan begitu, pesantren dapat memberikan perlindungan bagi anak-anak dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan menjadi agen perubahan dalam masyarakat.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA