Majalahaula.id – Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan meminta kepada pemerintah untuk serius menegakkan aturan pembangunan fasilitas pemurnian (smelter) yang ditujukan bagi pelaku usaha tambang.
Hal ini telah diperintahkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) Pasal 170A Ayat (1) yang pada intinya memberikan batas waktu maksimal tiga tahun kepada pelaku usaha tambang untuk dapat melakukan ekspor mineral mentah. Ini artinya, jika perusahaan tambang belum juga menyelesaikan pembangunan smelter sampai 10 Juni 2023, maka dilarang melakukan ekspor.
“Saya kira hal terpenting adalah konsistensi dalam kebijakan hilirisasi mineral. Pemerintah kerap kali menyatakan bahwa hilirisasi adalah kunci untuk meningkatkan nilai tambah dan dampak ekonomi. Perintah UU ini seharusnya dijalankan oleh pemerintah agar memastikan perusahaan tambang menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian. Jika ternyata gagal dilaksanakan, maka patut disebut pemerintah gagal menegakkan perintah UU,” ujar Syarif dalam keterangannya, Senin (26/6/2023).
Ia menyampaikan, kebijakan yang baik adalah kebijakan yang terencana, kalkulatif, dan berlandaskan pada kapasitas pelaku usaha tambang. Kebijakan tidak bisa dibuat dengan tergesa-gesa. Jika ternyata pelaku usaha belum siap, atau dampak kebijakan itu justru mengorbankan rakyat, kebijakan itu mesti dievaluasi.
Hal ini sangat beralasan karena sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7 tahun 2023 Pasal 2 Ayat (2), pemerintah memberlakukan relaksasi ekspor khusus sampai 31 Mei 2024. Tetapi, menurutnya regulasi pengecualian ini justru rawan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini menilai, kebijakan relaksasi ekspor hanya menjelaskan kurang terarahnya kebijakan hilirisasi. Pelarangan ekspor setelah batas waktu yang diatur dalam UU Minerba justru menimbulkan perkara dalam hal operasionalisasi perusahaan yang berdampak pada nasib tenaga kerja dan pendapatan daerah. PT Freeport Indonesia, misalnya, dengan jumlah total tenaga kerja sebanyak 27 ribu dan 40 persennya dari penduduk lokal Papua, akan menjadi terdampak langsung dari regulasi penghentian ekspor ini.
“Lokus persoalannya harus berangkat dari konsistensi dan rasionalitas kebijakan. Konsistensi ini tercermin pada kesesuaian antara perintah UU dengan regulasi di bawahnya. Jika regulasi turunan ini bertabrakan dengan aturan diatasnya, tentu regulasi ini yang keliru. Selain itu yang juga penting adalah kebijakan itu mestinya rasional. Memaksakan kebijakan tanpa melihat fakta dan kapasitas pelaku usaha hanya akan mengorbankan rakyat dan daerah. Untuk ini, kita mestinya prihatin,” tutup Syarief.