Majalahaula.id – Sejumlah kalangan melakukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi terkait sistem pemilu yang akan berlaku tahiun 2024 mendatang. Karenanya, Hakim konstitusi ini menanyakan modifikasi sistem pemilu yang paling cocok untuk diterapkan di Indonesia. Hal itu melihat fenomena kutu loncat petualang politik hingga kekurangan proporsional terbuka dan tertutup.
“Kalau dari hasil kajian Bu Titi sendiri, sesungguhnya dari perjalanan panjang sejak kita memodifikasi sistem itu, termasuk yang most open tadi itu sudah tidak murni lagi, termasuk yang tertutup pun ada yang tidak murni lagi, itu modifikasi-modifikasi yang selama ini dari hasil riset yang tepat, paling tidak, yang cocoklah, paling tidak, dengan kondisi bangsa kita ini dengan kepemiluan kita ini yang seperti apa sebetulnya dari modifikasi itu?” tanya Enny yang tertuang dalam risalah sidang MK, Selasa (15/05/2023).
Pertanyaan itu disampaikan kepada pengajar hukum kepemiluan FH UI, Titi Anggraini. Menjawab pertanyaan itu, Titi menjelaskan panjang lebar soal pemilu yang menggunakan sistem campuran. Dalam praktik sistem pemilu dunia, modifikasi juga bisa dilakukan dengan menemukan upaya mengurangi kelemahan antara satu sistem dan mengambil kelebihan dari satu sistem yang lain. “Jadi, sebagai contoh yang jamak dilakukan adalah dengan memilih sistem campuran atau mix member,” jawab Titi.
Titi menjelaskan sistem campuran ada dua, yaitu mix member proportional dan paralel. Contoh mix member proportional itu ada di Selandia Baru dan ada di Jerman. Sementara itu, untuk paralel ada di Jepang dan Filipina. “Tetapi memang dia bukan sesederhana menggabungkan dalam satu surat suara. Kita juga harus membagi dapil, ada kursi yang diperebutkan untuk memilih partai, ada kursi yang diperebutkan untuk memilih caleg,” papar Titi Anggraini.
Untuk memilih partai, biasanya menggunakan closed list, sedangkan untuk memilih caleg dia menggunakan sistem pluralitas. “Sebagai contoh, mix member proportional yang dianut di Selandia Baru memberikan dua suara kepada pemilih, yaitu satu suara untuk memilih partai politik atau party vote dan satu suara untuk memilih kandidat atau electorate vote,” ujar Titi. (Ful)