Majalahaula.id – PCINU Kuwait masih membutuhkan bimbingan langsung dari para ulama dan kiai untuk bisa membesarkan NU. Pasalnya, mayoritas Muslim Indonesia di sana bukan dari latar belakang santri atau cendekiawan yang banyak paham tentang berbagai hal, termasuk Muslim yang menjadi pengurus di PCINU Kuwait. Mereka kebanyakan adalah para pekerja yang ingin mengubah nasibnya lebih baik.
Jarak tempuh yang memakan waktu lebih dari 24 jam dari Indonesia ke Kuwait, membuat negara ini kurang populer sebagai tujuan transit para pelancong. Meskipun berbatasan langsung dengan Saudi, waktu transit dari pesawat ini, bagi para jamaah umrah dan haji relatif singkat. Sehingga dianggap kurang efektif jika dijadikan sebagai tujuan destinasi ataupun wisata. Karena itu, sejumlah kalangan lebih banyak yang memilih transit di Turki daripada Kuwait.
Bogi Haryo Nugroho, Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Kuwait menuturkan, unsur kepengurusan PCINU Kuwait rata-rata berasal dari para pekerja asal Indonesia, yang dari awal mereka tertarik datang ke Kuwait untuk meningkatkan ekonominya. Sebab Kuwait merupakan salah satu dari 10 negara terkaya di dunia.
“Jadi rata-rata warga NU di sini berasal dari para pekerja. Mulai dari bidang perminyakan, perawat, mebel, pekerja rumah tangga, dan lain sebagainya,” tutur Bogi yang saat ini bekerja sebagai Project Leader di salah satu perusahaan minyak Kuwait.
Untuk itu, lanjut Bogi, dalam bidang dakwah dan keorganisasian para anggota masih kurang menguasai. Sehingga membutuhkan lebih banyak para ulama, guru, maupun Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk bisa bersafari dakwah di Kuwait.
“Kami sekarang sangat membutuhkan kiai atau ulama khususnya NU. Untuk bisa membantu meningkatkan dakwah dan memberi pemahaman agama di sini,” tuturnya.
Memang, kata Bogi, sebelumnya ada Habib Haidar, salah satu alumni dan pendiri PCINU Kuwait yang menjadi pendakwah sekaligus Rais Syuriyah pertama. Namun saat ini sudah pulang ke Indonesia, sehingga belum ada penerusnya.
“Karena untuk mengundang penceramah ke sini membutuhkan biaya besar jadi kami kesusahan. Terlebih para ulama besar memiliki jadwal padat. Paling tidak mereka harus meluangkan waktu minimal seminggu,” kisahnya.
Menurutnya, PCINU Kuwait tidak seperti PCINU lain di Asia, seperti Jepang, Korea, Taiwan yang sering mendapatkan kunjungan karena jaraknya dekat. Sehingga para pengurus di tubuh PBNU sering datang ke sana rutin. Seperti Kiai Said, Gus Baha, serta ulama NU lainnya yang semuanya sudah pernah datang ke PCINU yang ada di Asia.
Makanya, ungkap Bogi, untuk menghadirkan langsung kiai atau ulama, selain kendala biaya, juga kesulitan dalam mengatur waktunya. Meski demikian, hal itu sudah menjadi program PCINU Kuwait untuk dicarikan solusinya. Lain halnya dengan kegiatan yang dilangsungkan melalui virtual, PCINU Kuwait sudah kerap kali mengundang kiai. Kendati demikian, menurutnya, belajar secara tatap muka dianggap lebih penting untuk meningkatkan semangat para jamaah.
Memang, tutur Bogi, dulu ada pesawat ke Saudi yang transit ke Kuwait, tapi itu waktunya cuma sebentar. Tidak cukup untuk digunakan sebagai bagian dari safari dakwah. Dirinya menginginkan, ke depannya Kuwait menjadi salah satu tujuan destinasi warga NU khususnya. Baik untuk wisata atau sekadar bersilaturahim.
Selain membutuhkan bimbingan ulama, kata Bogi, dibutuhkan juga para generasi penerus untuk bisa melestarikan budaya dan sejumlah amaliah NU. Seperti hadrah, rotibul hadad, diba, dan lain sebagainya. “Memang dulu ada dua mahasiswa program bahasa yang berasal dari pondok pesantren di Indonesia yang bisa memimpin. Sehingga dengan dua orang itu sudah bisa mengadakan peringatan hari besar. Namun sekarang belum ada,” paparnya.
“Kami sangat mengharapkan ada program pengiriman guru dari pesantren atau perbanyak beasiswa pendidikan pelajar NU ke Kuwait. Karena rata-rata yang mendaftar untuk kuliah di Kuwait adalah orang-orang kelompok dari non NU,” lanjutnya.
Dengan demikian, ke depan banyak ulama, guru, pelajar dari NU yang bisa mewarnai kepengurusan PCINU Kuwait.
Hal ini menurutnya sangat penting karena rata-rata warga Indonesia di Kuwait itu latar belakangnya bukan dari kalangan pesantren, atau dari akademisi.
Mahasiswa NU di Kuwait juga masih cukup jarang. Walaupun ada alumni dari pondok pesantren, tapi masih belum bisa dijadikan sosok guru, mengajar, atau pemateri dalam setiap forum kajian yang diadakan PCINU.
Kilas Sejarah
Terbentuknya PCINU Kuwait berawal dari kumpulan jamaah rutinan. Rais Syuriyah pertama PCINU diamanatkan kepada Habib Ahmad Haidar periode 2017-2020. Sedangkan Ketua Tanfidziyah diamanatkan kepada Gus Dian periode 2017-2021 dengan Gus Bogi sebagai wakil.
”Pembentukan PCINU Kuwait dihadiri oleh perwakilan warga NU Kuwait dari berbagai profesi yang tergabung dalam Majelis Ta’lim Al Inabah, di antaranya adalah pelajar bahasa arab Kuwait University, perawat, IT, guru lughoh dan pekerja lain berjumlah 23 orang,” kata Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan (IATMI) Chapter Kuwait ini.
Bogi menjelaskan, cikal bakal berdirinya PCINU Kuwait bermula sejak tahun 2012, tepatnya tanggal 10 Desember, 11 orang warga NU kultural mengadakan pertemuan. Pada saatlah muncul wacana pembentukan PCINU Kuwait. Karena situasi waktu itu mendekati kontestasi politik pemilu legislatif.
PCNU Kuwait baru terbentuk pada tanggal 20 September 2017. Tepatnya seusai pembacaan doa akhir dan awal tahun 1439 Hijriah yang dipimpin oleh Al Habib Ahmad Haidar. Habib Haidar merupakan keponakan dari KH Prof Said Aqil Al-Munawar.
Di dalam Majelis Ta’lim Al Inabah terbesitlah keinginan yang kuat untuk membentuk wadah yang sesungguhnya. Mengingat makin banyaknya warga NU yang datang ke Kuwait. Terutama sejak mulai di bukanya kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Amir Kuwait.
Bogi menceritakan, pembentukan PCINU Kuwait untuk mencegah terpengaruhnya warga NU kepada paham-paham Islam radikal. Juga paham yang tidak sesuai dengan Manhaj Ahlussunnah wal Jamaah. Seperti yang telah meracuni sebagian besar warga NU yang sudah bertahun-tahun bekerja dan tinggal di Kuwait. Sehingga mereka bisa mempertahankan paham dan tradisi yang sesuai dengan Aswaja an-Nahdliyah.
”Dari keinginan tersebut akhirnya dibentuklah tim dalam grup WA, yang tidak disengaja berjumlah sembilan orang, yang terdiri dari berbagai profesi dan keahlian yang kemudian kami menyebutnya sebagai tim sembilan,” ungkapnya.
Berikut tim sembilan yang mewakili warga NU di Kuwait. Yaitu, Mustiqa Yani, Ketua Gerakan Rakyat Daerah Buruh Migran Indonesia (Garda BMI) Kuwait, Usman Ismail, Ketua Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) Kuwait, Habib Mustofa, Ketua Majlis Ta’lim Al Inabah Kuwait, Budi Restiaji, Ketua Majlis Fatayat Ta’lim Al Inabah Kuwait, Moh Sybli Alfarisi, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kuwait, Gus Hasyim Wakil Nahdliyin, Gus Marwan Wakil Nahdliyin, Gus Idham Cholid, Wakil Nahdliyin, dan M Sholahuddin, Wakil Nahdliyin.
“Sembilan orang itulah yang disebut banyak orang sebagai wali (perwakilan/orang-orang kepercayaan) orang-orang NU di Kuwait,” pungkasnya. *Diah Rengganis