Majalahaula.id – Pergantian tahun bukan lagi media untuk mengumbar kesenangan karena bangsa ini harus mengenang sosok yang terus abadi. Siapa lagi kalau bukan almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Ya, seperti diketahui bahwa Gus Dur wafat 30 Desember 2009. Bagi kalangan yang masih terlibat dalam peristiwa tersebut, tentu pandangan akan menerawang suasana pemakaman di Pesantren Tebuireng, Jombang 13 tahun silam. Lautan manusia dari berbagai daerah dengan beragam latar belakang tumpah ruah di sekitaran pesantren legendaris itu. Tangis haru melepas sosok yang demikian bermakna bagi perjalanan bangsa ini dengan beragam idenya yang visioner. Bahkan hingga kini, makamnya terus diziarahi tidak saja oleh warga Nahdlatul Ulama, juga dari mereka yang berbeda agama dan keyakinan.
Dari KH Z Arifin Junaidi atau Arjuna, diingatkan bahwa Gus Dur sudah mengingatkan masalah politik identitas lebih dari 30 tahun lalu. Bahwa di awal 1990, Indonesia berada dalam diskursus masyarakat yang sektarian yang sekarang lebih sering disebut politik identitas. Saat itu Orde Baru masih berkuasa penuh.
“Gus Dur mengorganisir sekelompok intelektual publik yang gencar melancarkan gerakan yang tetap ingin mempertahankan keadaan Indonesia yang demokratis, tanpa adanya gejala sektarianisme. Sehingga lahirlah Forum Demokrasi atau Fordem,” katanya.
Sekadar diketahui bahwa isu sektarian makin kuat dan menguat dalam masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan isu sektarian lewat kepentingan kelompok agama mayoritas yang diakomodir pemerintah dan hal ini dapat mengancam keharmonisan antarumat beragama. Terlebih Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia yang rentan dapat memberi ancaman kepada kaum minoritas, jika kepentingan mereka diprioritaskan oleh pemerintah.
“Alangkah berbahayanya jika semangat primordial dan sektarianisme tertanam dalam jiwa umat Islam di Indonesia. Padahal, bagaimanapun Indonesia sudah kadung hadir sebagai bangsa yang heterogen dan plural,” terang pria yang pernah diamanahi sebagai Ketua Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU tersebut.
Di kesempatan berbeda, AS Hikam menjelaskan bagaimana bangsa ini harus keluar dari politik identitas. Dalam artian mengelola identitas di bawah satu frame atau kerangka Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pengejawantahan secara konkret, terlebih akan melaksanakan pesta demoktrasi.
“Kita saat ini belum bisa melihat apakah 2024 itu akan menghasilkan suatu pemerintahan yang akan kembali kepada semangat reformasi atau makin lama makin jauh dari reformasi, karena oligargi dan pembelahan masyarakat itu makin tajam,” katanya.
Menteri Negara Riset dan Teknologi era Presiden KH Abdurrahman Wahid ini kembali mengingatkan seluruh elemen bangsa untuk belajar konsisten. Dalam artian, kalau memang menjadikan Gus Dur sebagai panutan dan rujukan, maka harus mengenal dengan baik perjuangan yang telah dilakukan, sekaligus berupaya mengejawantahkan dengan baik.
Apa yang harus diteladani dari Gus Dur? Pertama, Gus Dur sangat komitmen dengan penegakan demokrasi. Kedua, akar kebangsaan dan akar keislaman dalam pengertian yang dipahami oleh NU. Ketiga, Gus Dur seorang yang humanis, yang memiliki komitmen terhadap kemanusiaan. Keempat, Gus Dur sosok antikekerasan.
“Dari sinilah Gus Dur menjadi tokoh yang sangat bisa inklusif didukung oleh semua pihak, bukan hanya NU atau orang Islam secara umum, tapi juga oleh kaum minoritas,” tegasnya.
Selengkapnya baca di majalah Aula edisi Desember 2022.