Search

Dinamika Penetapan Hukum Islam Dalam Menjawab Masail Furu’iyah (1)

1 of 2

Majalahaula.id – Tentangilhaq al-masa’il binadhairiha.Kalau kita berbicara tentang ilhaq, maka tidak bisa dipisahkan dengan tiga hal. Pertama adalah qiyas, kedua takhrij, ketiga ilmu al-ashbah wa al-nadhair. Namun secara singkat, kita tahu bahwa qiyas itu memiliki empat rukun yaitu, ashan, far’u, hukum asal, dan illat (semua ini sudah maklum).

Pembicaraan yang sangat panjang terkait dengan illat sudah tak asing lagi. Sekalipun tak asing, ada tiga istilah yang hampir mirip-sama pertama, adalah illat, kedua hikmah, ketiga mashlahah. Lalu apa perbedaan antara ketiganya?. Bahwa illat adalah sifat yang berfungsi sebagai pengenal bagi suatu hukum, sementara hikmah adalah sesuatu yang ada di balik illat, dan dengan menerapkan hukum dikaitkan dengan  illat, maka lahirlah sebuah mashlahah.

Misalnya, orang musafir diperbolehkan melakukan shalat qashar. Illat-nya adalah safar, dan dibalik safar ada hikmah. Lalu apa hikmahnya? Adalah masyaqqah yaitu dibolehkannya qashar bagi musafir dengan illat tersebut (safar). Dengan demikian, maka lahirlah mashlahah yaitu dhaf’u al-masyaqqah. Namun, dalam hal ini, tetap harus dibedakan antara masyaqqah dan dhaf’u al-masyaqqah.

Masyaqqah adalah hikmah yang ada di balik safar, sedangkan dhaf’u al-masyaqqah adalah mashlahah  yang lahir dari tartib al-hukm ala al-illat. Dan dengan menerapkan hukum pada illat, maka lahirlah kemudian mashlahah. Sisi lain, kadang kala illat dan hikmah menjadi satu seperti, setiap khamar pasti haram, dan illat-nya adalah memabukkan. Memabukkan selain merupakan illat, ia juga sekaligus hikmah. Karena itu, dengan diharamkannya khamr (alasan isyqat)  maka lahirlah mashlahah. Mashlahah-nya adalah al-hifdu al-aql.

Secara garis besar qiyas terbagi menjadi dua. Pertama qiyas qhoth’i dan kedua qiyas dhanni. Qiyas qhoth’i syaratnya hanya dua yaitu, al-qhat’i fi al-illiyah al-washli fi al-hukmi dan al-qath’ bi annahaa tujadu fi al-far’i. Syarat yang pertama kita yakin bahwa hukum ashal illat-nya adalah itu. Sementara yang kedua kita yakin bahwa, illat bukan hanya ada pada ashal, akan tetapi diyakini juga ada pada ashal.

Dengan demikian seperti ini, kira-kira terwujudnya qiyas qhoth’i di mana? Jawabannya adalah terjadi di dalam tiga hal. Pertama, ketika al-far’u lebih kuat dari pada ashal. Kedua, apabila al-far’u dan ashal setara. Akan tetapi, hal yang demikian biasanya tidak disebut dengan qiyas, melainkan disebut dengan mafhum mukhalafah atau disebut dengan dhalalah al-nass dalam versi Hanafiyah.

Sudah barang tentu yang kita bicarakan ini adalah qiyas juz’i. Dalam hal ini, yang di qiyas-kan adalah hadis-hadis “iya”, sedangkan untuk al-far’u yang di qiyasi adalah hadis-hadis “iya” juga. Kenapa demikian? Karena kadang kala ada yang namanya qiyas kulli yang di qiyas-kan adalah hadis-hadis “iya”, akan tetapi maqis aly-nya adalah adalah sesuatu yang kulli. Misalnya, bolehkah orang yang kerja keras meninggalkan (atau tidak) puasa? Tentu hal yang demikian ini di qiyas-kan dengan musafir, dan tidak bisa menggunakan qiyas kulli.

Lalu bagaimana jika menggunakan qiyas juz’i? Yang jelas sebab, karena bolehnya tidak berpuasa bagi musafir adalah karena, safar itu memiliki illat qashir yang hanya dimiliki oleh musafir tidak dimiliki oleh siapapun. Berhubung orang yang kerja keras bukan musafir, maka tidak boleh (harus berpuasa). Namun, jika melakukan terobosan di balik safar sudah pasti ada masyaqqah. Jadi yang menjadi acuan bukan safar, melainkan hikmah yang ada dibalik illat.

Tentang  takhrij. Jika rinci ada tiga macam. Pertama, adalah takhrij al-ushul min al-furu’ (melahirkan kaidah-kaidah ushuliyah dari furu’). Hal ini biasanya dilakukan oleh Hanafiyah. Kita tahu bahwa dalam ushul fiqih ada dua thariqoh. Yaitu thariqotul mutakallimin dan thariqotul Hanafiyah. Thariqotul mutakallimin adalah top down, sedangkan thariqotul Hanafiyah adalah bottom up.

Artinya, dari furu’ ini, maka lahirlah kemudian yang namanya ushul. Contohnya, apakah al-amru itu li at-tarkhhi apakah li al-fauri. Tentang hal ini, Imam Malik sendiri tidak punya pendapat, akan tetapi Ulama Malikiyah  mengatakan bahwa al-amru ala al-fauri. Kenapa mereka mengatakan seperti ini? Karena, Imam Malik mengatakan bahwa al-Hajj ala al-fauri (dari al-far’u lahirlah ushul).

Baca Juga:  Tazkiyatul Muthmainnah Segera Laporkan Kasus KDRT

Contoh lain, apakah dhalalah-nya lafad am itu qath’iyah apa dhanniyah? Ulama Hanafiyah tidak pernah bilang apa-apa tentang hal ini. Berbeda dengan Ulama Hanafiyah yang mengatakan bahwa, dhalalah-nya lafad am selama belum di takhshis adalah qath’iyah. Karena itu, maka tidak bisa di takhshis dengan dalil-dalil dhanni semacam hadis ahad. Pertanyaanya adalah apa dasarnya?

Ada hadis yang mengatakan artinya “hasil bumi (zakatnya) adalah 1/10”. Sementara ada hadis lain yang mengatakan sayur-mayur itu tidak ada wajib zakatnya”. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa, hadis yang pertama tidak bisa di takhshis dengan hadits yang kedua. Kenapa demikian? Karena yang pertama adalah am, lafad am, dan dhalalah-nya selama belum di takhshis adalah qath’i (sehingga tidak bisa di takhshis dengan hadis ahad yang bersifat dhanni). inilah contoh takhrijul ushul min al-furu’ (melahirkan kaidah-kaidah ushuliyah dengan mengumpulkan far’u-far’u yang ada disimbolkan dengan sebuah kaidah ushuliyah).

Kedua, adalah takhrij al-furu’ ala al-ushul. Yang jelas hal Ini bentuknya ada dua. Bentuk pertama, ada sebuah masalah, Imam Syafi’i misalnya sudah punya pendapat tentang masalah itu, akan tetapi kita melakukan takhrij untuk sekedar ingin mengetahui ma’khot furu’ itu. Pertanyaanya adalah al-far’u ini berdasarkan kaidah apa?

Misalnya, seperti kebijakan-kebijakan ulama NU. Ulama NU menerima pancasila sebagai dasar negara ini adalah far’u. Mereka menyetujui pencoretan Piagam Jakarta dan seterusnya, serta mau bergabung dengan NASAKOM (inilah far’u-far’u). Dari sini, jika di tanya, kira-kira ushul-nya apa? Atas alasan apa furu’-furu’ ini di bangun?

Bentuk kedua adalah, ada suatu masalah yang kita tidak tahu hukum dari masalah itu karena tidak ada nass dari pada imam. Kita melakukan takhrij untuk apa? Misalnya, kalau di jadikan ushul apa masalahnya, lalu kita memutuskan persoalan dikaitkan dengan ushul yang sudah dibangun oleh para ulama zaman dulu.

Contoh lain misalnya, kita punya konsep ijbar. Konsep ijbar didalam wilayah pernikahan kira-kira patokannya apa? Ada hadis yang mengatakan “perempuan yang sudah janda lebih berhak menyangkut dirinya dari pada walinya”. Kalau kita ambil mafhum mukhalafah-nya, berarti “perempuan yang masih perawan walinya lebih berhak dari pada dirinya”, sehingga lahirlah konsep ijbar.

Sembelihan yang tanpa membaca basmalah, halalkah apa tidak? Ayatnya mengatakan janganlah kamu makan hewan yang ketika disembelih tidak disebut nama Allah”. Menurut Imam Syafi’i hal itu tetap halal. Sementara Imam Abu Hanifah mengatakan tidak halal. Kenapa  Imam Imam Syafi’i mengatakan halal? Karena di takhshis dengan hadis yang mengatakan “sembelihannya orang muslim halal”. Sementara Imam abu hanifah mengatakan haram karena, hadits ini adalah ahad (tidak bisa men-takhshis keumuman ayat yang bersifat qath’i).

Contoh lain juga, apakah al-ashlu al-ta’abbud atau al-ashlu al-ta’lil? Dalam hal ini, ada perbedaan antara Imam Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i mengatakan al-ashlu fi al-hukmi adalah al-ta’abbud. Sementara Abu Hanifah mengatakan al-ashlu fi al-hukmi adalah al-ta’lil.

Karena perbedaan ini, akhirnya terjadi perbedaan banyak dalam persoalan-persoalan furu’. Misalnya, Imam Syafi’i mengatakan bahwa “hanya air saja yang bisa digunakan untuk mensucikan najis”, sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan “barang cair apapun bisa menggantikan air”.

Kemudian juga, takbir Allahu akbar menurut Imam Syafi’i “tidak bisa diganti dengan lafad yang lain” sekalipun memiliki satu arti (karena al-mutaabbad fi al-lafdi). Berbeda dengan se Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa “bisa saja dengan yang lain”. Demikian juga dengan salam (Assalamualaikum) tidak bisa diganti diganti dengan yang lain, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah boleh asalkan satu makna.

Tentang takhrij al-furu’ ala al-furu’ (furu’ melahirkan furu’). Berbicara hal ini, maka perlu membahas tentang al-ashbah wa al-nadhair. Sebagian ulama membedakan antara al-ashbah dan al-nadhair. Karena itu, para ulama di dalam melakukan takhrij melalui al-ashbah wa al-nadhair berpedoman kepada wasiat Sayyidina Umar kepada Abu Musa al-Asy’ari ketika beliau berhadapan dengan persoalan hukum.

Baca Juga:  Zannuba Ariffah Chafsoh Keliling demi Panjat Tebing

Beliau berwasiat “kamu harus tahu persoalan-persoalan yang mirip satu sama lain,  kemudian lakukanlah qiyas pada saat itu, kemudian pilihlah yang menurut engkau itu lebih dekat kepada kebenaran dan lebih disukai oleh Allah Swt. Dalam hal ini, kita memahami dan melakukan qiyas far’in ala far’in. Oleh karena itu, dalam melakukan takhrij ini, maka tidak bisa dipisahkan dari pada qiyas.

2 of 2

Sudah mafhum, jumhur ulama telah sepakat bahwa Allah Swt. Tidak akan menetapkan sesuatu hukum, kecuali untuk kemashlahatan ambanya. Jika di rinci, kemashlahatan itu ada dua macam. Pertama, berupa mantaat bagi manusia dan kedua, berupa terhindarnya manusia dari kemudharatan.

Oleh karena itu, yang menjadi pendorong untuk menetapkan suatu hukum syara adalah menarik kemanfaatan bagi manusia dan menolak kemudharatan bagi mereka. Dan pendorong ini yang menjadi tujuan yang dicapai dengan menetapkan hukum itu. Inilah yang dinamakan hikmah suatu hukum (hikmah hukum).

Misalnya, seorang yang sakit diperbolehkan tidak berpuasa pada bulan ramadhan. Hikmahnya adalah, untuk menghindari kerusakan baginya. Diwajibkan qishash atas orang yang membunuh dengan sengaja, hikmahnya adalah untuk memelihara jiwa manusia pada umumnya, dan diwajibkan memotong tangan pencuri yang memenuhi syarat-syaratnya, hikmahnya adalah untuk memelihara milik menusia. Dengan demikian, suatu hukum syara adalah untuk mewujudkan mashlahat serta menolak kemudharatan.

Pendapat yang menyamakan illat dengan hikmah, bahwa setiap hukum itu dibina atas sesuatu hikmah. Dan, terwujud atau tidaknya suatu hukum sangat tergantung pada hikmah itu. Akan tetapi, setelah diadakan penyelidikan yang mendalam, ternyata hikmah itu hanya pada beberapa hukum adalah merupakan perkara yang samar (yang tidak dapat disaksikan oleh panca indera).

Karena itu, tidak mungkin menetapkan adanya hikmah atau ketiadaannya, dan tidak mungkin pula untuk menetapkan ada tidaknya suatu hukum dengan ada atau tiadanya hikmah. Contohnya, dibolehkan tukar menukar dalam bidang muamalah yang hikmahnya untuk menolak kesempitan bagi manusia, disebabkan hal itu dapat memenuhi hajat mereka. Sedang hajat itu sendiri merupakan hal yang samar dan tidak mungkin diketahui dengan pasti bahwa, tukar menukar itu suatu hajat yang urgen atau bukan suatu hajat.

Namun demikian, kadang kala perkara yang dikira-kirakan, bukan merupakan perkara yang pasti. Karena itu, juga tidak tepat untuak membina hukum dan mengaitkan ada atau tidaknya hukum. Seperti, diperbolehkan tidak berpuasa bagi orang dalam keadaan sakit, hikmahnya ialah untuk menghilangkan kemdharatan. Kemudharatan itu merupakan perkara yang dikira-kirakan saja yang berbeda-beda mengingat situasi dan kondisi masing-masing manusia. Oleh karena di kira-kira, andaikan hukum dibina atas dasar ini, maka taklif tidak akan sempurna.

Tentunya, disamping sebagian hukum itu mempunyai hikmah yang sifatnya masih samar, terdapat pula sebagian hukum yang lain yang mengandung perkara jelas yang dapat dijadikan dasar pembinaan hukum, dan dapat dijadikan untuk menentukan ada atau tidakya hukum. Perkara yang sudah jelas dapat dijadikan dasar pembinaan hukum itu, oleh para ahli ushul, disebut illat.

Memang, ulama ushul membicarakan masalah illat ketika mambahas qiyas. Illat merupakan rukun qiyas, dan qiyas tidak dapat dilakukan bila tidak dapat ditentukan illatnya. Setiap hukum pasti ada illat yang melatarbelakanginya. Sehingga, jika illat ada, maka hukum pun ada, dan begitu sebaliknya. Sebuah kaidah menyatakan “Hukum berputar beserta illatnya (alasan), ada dan tiadanya.

Penjelasan kaidah tersebut adalah keberadaan hukum itu berkutat pada keberadaan illat (sebab)-nya, sehingga jika ada illat maka ada hukumnya, dan jika tidak ada illat-nya maka tidak ada hukumnya. Inilah yang menjadi kekhususan illat, dan illat-lah yang menentukan adanya sebuah hukum bukan hikmah. Dengan demikian, sesuatu dikatakan sebagai illat harus jelas (dhahir), cocok atau sesuai dengan ketentuan hukum (munasib) dan pasti serta terukur (mundhabith).

Syahdan, kita tahu bahwa, dasar pemikiran qiyas adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab (illat). Hampir dalam setiap hukum di luar bidang ibadat, dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum oleh Allah Swt. Maka, alasan hukum yang rasional itu oleh ulama ushul fiqh disebut “illat.

Tak hanya itu, di samping dikenal pula konsep mumatsalah, yaitu kesamaan atau kemiripan antara dua hal yang diciptakan Allah Swt. Apabila dua hal itu sama dalam sifatnya, tentu sama pula dalam hukum yang menjadi akibat dari sifat tersebut. Dengan konsep mumatsalah, maka peristiwa yang belum jelas hukumnya dapat disamakan hukumnya dengan yang ada hukumnya dalam nash.

Sementara itu, illat adalah sifat yang terdapat dalam hukum ashal yang digunakan sebagai dasar hukum. Illat juga termasuk salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan unsur yang terpenting. Karena adanya illat itulah kita dapat menentukan adanya qiyas atau menentukan suatu hukum untuk dapat direntangkan kepada masalah yang lain. Dan, tentulah kriteria sifat yang dapat dijadikan illat itu sifat yang nyata, jelas, serta dapat dijangkau oleh nalar, bahkan mengadung relevansi, sehingga kuat dugaan bahwa ia merupakan alasan penetapan suatu ketentuan Allah Swt. dan Rasul-Nya.

Jelas, pada prinsipnya, semua hukum syari’at itu ditetapkan pasti memiliki latar belakang, sebab-sebab dan unsur kemaslahatan bagi umat manusia. Adalah menolak bahaya dan menghilangkan kesulitan bagi manusia. Tujuan tersebut dapat dilihat dari beberapa isyarat atau tanda yang terdapat di dalam nash.

Sebagian disebutkan dengan jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah, sebagian lagi hanya berupa isyarat, dan ada pula yang harus diamati dan dianalisa terlebih dahulu. Sehingga, para mujtahid memerlukan cara atau metode tertentu untuk mengetahuinya, disebut masalik al-illat atau turuq al-illat.

Masalik al-illat, adalah suatu cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau illat dari suatu peristiwa, yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum. Cara yang pupuler digunakan ulama ushul fiqh, untuk mencari dan mengetahui illat di antaranya dengan nash itu sendiri.

Dalam hal ini, nash-nash al-Qur’an dan Sunnah telah menerangkan suatu sifat merupakan illat hukum dari suatu peristiwa (kejadian). Penunjukan nash tentang sifa sesuatu kejadian sebagai illat itu, adakalanya “sarahah” (dengan jelas dan secara langsung ) dan adakalanya dengan “ima’ atau “isyarah(dengan syarat, secara tidak langsung).

Sedangkan, kalau di tinjau dari segi apakah penunjukannya kepada illat hukum itu secara pasti, bahwa illat hukum itulah yang ditunjukkannya atau secara dugaan keras, karena ada kemungkinan dugaan yang lain. Maka, dhalalah sarahah itu dibagi kepada dua macam. Pertama, dhalalah sarahah qath’iyah, adalah bila penunjukan lafaz nash kepada illat hukum itu, tidak mungkin dapat dibawa kepada illat hukum yang lain.

Kedua, dhalalah saraahah danniyah, yaitu bila penunjukan lafaz nash kepada illat hukum itu, ada kemungkinan dapat dibawa kepada illat hukum yang lain. Sedangkan, dhalalahi ima’ (isyarah) adalah, dhalalah yang diperoleh dari sifat yang membaringinya. Dengan kata lain, dari adanya sifat yang membarengi itu, dapat dipahamkan ke-illat-annya suatu hukum. Jika tidak, dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya berbarengan sifat tersebut.

Selain itu juga, bahwa cara atau metode untuk mengetahui illat adalah dengan ijma’. Adalah apabila para Mujtahid dalam suatu masa telah sepakat bahwa, yang menjadi illat suatu hukum syaraadalah suatu sifat. Maka, tetaplah sifat itu menjadi illat bagi suatu hukum tersebut secara ijma’. Hingga akhirnya, dengan as-sabru wat-taqsim, yakni para Mujtahid mencari semua sifat-sifat yang terdapat pada pokok. Kemudian, menggugurkan sifat-sifat yang tidak layak dijadikan illat, dan memilih suatu sifat yang patut dijadikan illat menurut pendapatnya. Wallahu a’lam bisshawaab.

 )* Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus Kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA