Search

Gus Ulil: Al-Ghazali dan Historis Ihya’

gus ulil

Majalahaula.id – Ulama-ulama Islam terdahulu begitu memukau amat mengesankan, baik sebagai ilmuwan maupun penulis. Sebagai ilmuwan, misalnya, Imam Abu Hamid al-Ghazali, sosok yang tak terkalahkan dalam seluruh forum debat yang ia ikuti pada zamannya untuk hampir semua bidang keilmuan Islam, menghafal seluruh kitab yang ia punyak.

Karya-karyanya begitu banyak dan masih terus dibaca, dikaji, diteliti, dan dijadikan rujukan untuk menjawab isu-isu keagamaan sampai hari ini. Konon, al-Ghazali dalam menulis Ihya’ Ulumuddin, sebuah kitab yang kebak oleh dalil-dalil dari al-Qur’an, hadits, atsar, dan qaul, semua referensinya ia ambil dari hafalannya itu.

Kata al-Ghazali, “saya menulis kitab ini (Ihya’) bertujuan untuk menghidupkan ilmu-ilmu agama dan, cara penyingkapannya melalui metode para imam terdahulu. Tujuannya, sebagai penjelas ilmu-ilmu yang kurang (penjelasannya) dari sisi para Nabi dan para lelulur yang shalih.”

Alkisah, Abul Hasan Ali bin Har-zahim al-Faqih atau yang populer dengan sebutan Al-Magribi, dalam kitab Ta’rifil Ahya’ bi Fadlo ilil Ihya’ diceritakan awalnya mengingkari dan hendak membakar kitab Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghazali. Namun, sebelum itu dilakukan, ia bermimpi bertemu Rasul. Dalam mimpi itu, Rasul menegur dan memberi hukuman cambuk kepadanya sehinga Abul Hasan bertobat.

Ia bermimpi seakan-akan masuk ke sebuah masjid. Di dalam masjid dia bertemu Nabi Muhammad Saw bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, serta al-Ghazali. Ketika kata-katanya datang, Imam Ghazali berkata, “Ya Rasulullah, dialah orang yang memusuhiku. Jika benar adalah seperti yang dia yakini, maka aku bertobat kepada Allah. Dan jika yang benar adalah apa yang aku tulis, karena mengharap berkahmu dan mengikuti sunnahmu, maka ambilkan untukku hakku dari orang yang memusuhiku.”

Nabi Muhammad Saw kemudian meminta kitab Ihya Ulumuddin. Ia membuka lembar demi lembar dan membaca isi kitab itu. Beliau lalu berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ini adalah sesuatu yang bagus.”

Singkat cerita, akhirnya, Nabi Muhammad Saw pun memerintahkan agar baju Al-Maghribi dilepas. Al-Magribi pun mendapatkan beberapa cambukan sebagai seorang yang telah berbohong. Ketika sampai cambukan kelima Abu Bakar berkata, “Ya Rasulullah, barangkali dia mengira telah mengikuti sunahmu dan ternyata ia keliru.”

Al-Ghazali sendiri juga berkenan untuk dihentikan hukuman itu. Sehingga, Rasulullah pun menghentikan cambukan itu. Beberapa saat kemudian, Al-Maghribi terbangun dari tidurnya. Anehnya, ia merasakan sakit di punggungnya dan terdapat bekas cambukan.

Baca Juga:  PUASA BULAN RAMADHAN, KENAPA DIWAJIBKAN??

Syahdan, prestasi-prestasi unik dan cemerlang seperti al-Ghazali ini (mungkin) tiada bandingnya dalam sejarah dunia. Tak heran jika banyak sebutan yang di alamatkan padanya seperti julukan sang “Hujjatul Islam dan lainnya. Sebuah hadits mengatakan:

إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا

“Sesungguhnya Allah Swt mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui untuk umat agama.”

Masih tentang al-Ghazali. Al-Ghazali, memang spesial dan beda. Dia punya motode indah saat menulis kitab-kitab; pertama-tama terlebih dahulu menjelaskan madzhab yang ingin dan akan dia kritik, tentu dia sudah mendalaminya. Gaya itu dituangkan dalam kitabnya yang dinamainya dengan Maqasid Al-Falasifah dan kitab Tahafut al-Falasifah. Seperti halnya didalam al-Munqid Min adz-Dzalal saat dia mengkritik aliran kebatinan.

Tentu metodenya tidak ditujuhkan kepada pembaca khusus melainkan kepada seluruh umat. Cara yang ditempuh al-Ghazali itu sudah banyak dilupakan oleh pengarang lain terutama pengarang kontemporer, karakteristik lain dalam Ihya’ Ulumuddin dia bermula menguraikan tentang “Ishlah al-Qulub” misalkan, dia, ketika membicarakan tentang keutamaan-keutamaannya. Dimulai dengan memuji memakai ayat-ayat, lalu dengan Hadist, khabar, atsar. Setelah itu, menuturkan sebuah kisah atau ceria yang dapat menyentuh pembacanya.

Tak heran, jika Ihya Ulumuddin sebagai karya monumental dari kian banyak karyanya terdiri dari empat juz: al-Ibadat, al-Adat, al-Muhlikat dan al-Munjiyat dan masing-masing bagian terdiri dari sepuluh pasal. Namun, al-Ghazali menggunakan kata “kutub” untuk menjelaskan bagiannya, karena di dalam keterangannya dia menjelaskan secara utuh. Inilah isi dari kitab Ihya itu, yang banyak mendapatkan sanjungan dan tidak sedikit menuai kritikan dari ulama ulama semasanya dan sesudahnya.

Al-Ghazali menggunakan metode sufistik etik dalam penulisannya dan kitab itu termasuk kekayaan islam dalam bidang akhlaq oleh karenanya ia adalah dikategorikan kitab akhlaq, bahkan ia dikategorikan sebagai kitab nalar sang sufi. Bukan hanya itu saja, Ihya’ Ulumuddin merupakan ensiklopedia Islam terbesar.

Bahkan, sebagian pakar menganggap Ihya’ adalah kitab yang membelah Islam dari peradaban materialisme yang menakutkan, sedangkan bagi para pakar fikih, Ihya’ adalah kitab usul yang disampaikan dengan gaya nasehat.

Baca Juga:  Maqashid Al-Syariah dan Kebebasan Berkeyakinan

Betapa besar pengaruh kitab Ihya’ Ulumuddin dalam dunia Islam khususnya dan dunia pemikiran umumnya, kitab yang bernuansa fikih tasawuf ini menghantarkannya menjadi terhormat dan melangit ketika sebagian penyanjungnya mencoba mensejajarkan dengan kitab suci walaupun dalam tataran pengandaian.

Di ceritakan oleh as-Syekh Abdul Qadir al-Idrus penulis at-Ta’rif Bi Al-Ihya’ dari Imam Nawawi berkata: “Kada Al-Ihya’ Yakunu Qur’anan” (Hampir saja (kitab) Ihya’ menjadi Qur’an), dan sebagian ulama memposisikan al-Ghazali sebagai sang Nabi, seperti yang di nukil oleh al-Yafi’i: “Law Kana Nabiyun Ba’dan Nabi Lakana al-Gazhali” (Jika saja ada Nabi sesudah Nabi (Muhammad), maka Nabi-nya adalah al-Ghazali)”.

Tentunya, dua sanjungan di atas meski bersumber dari ulama berbeda, tapi pada penyimpulannya terdapat perkaitan. Pertama adalah usaha pengkultusan Ihya’ Ulumuddin sebagai kitab teratas, dan yang kedua kepada pengarangannya. Namun demikian, kedua sanjungan itu tidak lebih hanyalah sebuah ekspresi penghormatan, dan tidak berlebihan jika sanjungan itu diucapkan untuk seseorang seperti al-Ghazali dan kitabnya yaitu Ihya’ Ulumuddin.

Sebuah pepatah mengatakan: “Seandainya ada agama baru, maka Nabinya adalah al-Ghazali dan kitab sucinya adalah Ihya’ Ulumuddin. Barangkali, inilah sanjungan terpuncak dari sekian banyak sanjungan untuk al-Ghazali dan kitab Ihya’-nya. Sekalipun di sanjung-sanjung, apapun predikat dan bentuk kehebatan al-Ghazali, tentu tidak akan mencapai kemaksuman seperti pada diri seorang Nabi.

Dr. Zwemmeer, salah satu tokoh penting Kristen yang terkenal berpendapat, bahwa sesudah Nabi Muhammad Saw, ada dua pribadi yang amat besar jasanya menegakkan Islam. Pertama, Imam Bukhari karena pengumpulan haditsnya, dan al-Ghazali karena kitab IhyaUlumuddinnya.

Gus Ulil juga mengatakan, saking besarnya pengaruh al-Ghazali, seandainya seluruh kitab-kitab dan buku-buku yang ada di dunia ini terbakar semua, termasuk al-Qur’an dan hadits (ini hanya pengandaian saja) yang tersisa hanya kitab Ihya’ maka, kitab ini sudah cukup menjadi panduan orang Islam untuk hidup dunia akhirat.

Lebih dari itu, perhatian kepada ajaran filsafat etika (akhlak) al-Ghazali sampai sekarang masih menjadi bahan yang kaya untuk direnungkan. Pendek kata, kupasan-kupasan tentang al-Ghazali tidak akan ada habisnya menjadi bahan study, misalnya tentang tasawuf, aqidah, filsafat, hingga persoalan etika (akhlak).

Baca Juga:  Usung Tema Moderasi Beragama, Alfath Lolos 25 Karya Terbaik Nasional FeLSI 2021

Syahdan, salah satu pembahasan yang cukup krusial (yang rentan terjadi pada manusia) dalam kitab Ihya Ulumuddin adalah bab tentang hasud (al-hasad). Kita tahu bahwa, sifat hasud adalah salah satu penyakit mental akut dan kronis. Di bilang kronis karena, sifat hasud ini memiliki karakter terus-menerus berlangsung dalam waktu yang lama dan berkelanjutan (tidak sembuh-sembuh).

Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, al-Ghazali berkata, hal yang paling sulit diobati dari sifat manusia adalah hasud, dengki. Ia menyakiti diri sendiri, menambah dosa dan tak menjadi mulia. Imam al-Syafi’i berkata:

كل العداوة قد ترجى سلامتها  الا عداوة من عاداك عن حسد

Semua kebencian masih bisa diatasi, kecuali kebencian karena dengki.

Seharusnya, siapapun harus memperhatikan bahwa setiap nikmat sudah pasti diberikan oleh Allah Swt pada makhluknya sehingga, tak perlu merasa iri dan hasud. Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an:

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisaa’: 32).

Gus Ulil menegaskan, hasud bukan sekedar iri hati atas keberuntungan orang lain, tetapi juga benci terhadap nikmat-nikmat yang ada pada orang lain, dan berharap agar nikmat tersebut hilang dari orang tersebut.

Mestinya, jika kamu memiliki teman yang baru mendapat juara lomba, karir dan nikmat apapun yang Allah Swt berikan, maka jadilah kamu orang pertama kali memberikan ucapan selamat, bukan dengki (iri). Sebab, dengan begitu, (berharap) kesuksesan tersebut akan menular padamu. Begitu juga sebaliknya, jika kamu iri dan hasud, maka kamu akan terus terpuruk. Wallahu a’lam bisshawaab.

 

)* Alumni PP Salafiyhah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton dan Kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA