Oleh: Salman Akif Faylasuf *
Salah satu intisari politik (al-siyasah) adalah pemimpin atau imamah. Secara umum, imamah di bagi dua, pertama imamah keagamaan, kedua imamah politik (yang sekaligus mencakup imamah keagamaan). Karena itu, penguasa atau pemimpin dalam Islam (Imam Negara) juga menjadi imam dalam shalat. Penyatuan antara imamah politik dengan imamah dalam shalat di Indonesia sudah buyar, berbeda dengan Arab Saudi, Turki dan Negara Islam lainnya yang masih kuat.
Pertanyaannya, bagaimana jika ada orang keliru berpendapat dalam masalah politik? Siapakah yang bertanggung jawab? Misalnya, jika ada orang Syi’ah berpendapat bahwa imamah hanya menjadi monopoli Ahlu Al-Bait, maka kita tidak boleh mengkafirkannya, karena kesalahan dalam imamah tidak dapat mengantarkan menjadi kafir (imamah tidak masuk bagian akidah atau ushul al-dhin disamping juga tidak menganggap bohong Nabi Saw). Pun dengan orang Syiah mengatakan bahwa yang berhak mengganti Nabi Saw adalah Sayyidina Ali.
Atau seperti pendapatnya al-A’sham, salah satu Tokoh Mu’tazilah mengatakan, “Imam tidak harus ada, masyarakat tidak membutuhkan pemimpin jika mereka bisa mengatur dirinya secara alamiah, dan Negara tidaklah menjadi sebuah keharusan”. Baginya, Negara terlalu mencampuri urusan internal sebagai komunitas yang bisa mengatur dirinya.
Syahdan, menurut al-Ghazali, baik ada yang mengatakan kepemimpinan bagian dari iman seperti pendapat kelompok Syi’ah, atau mengkafirkan kelompok Syi’ah seperti Salafi dan Wahabi, kita tidak perlu untuk meresponnya. Al-Ghazali juga menyatakan, posisi sebenarnya Sunni mayoritas, ia cenderung tidak mencari dan membuat masalah. Disebut Sunni, bukan berarti Mu’tazilah, Salafi, Wahabi dan lainnya tidak masuk kategori Sunni, melainkan semuanya bagian dari Sunni meskipun berbeda-beda.
Kita tahu, misalnya, Sunni ala NU mempunyai ciri pertama, mengikuti sistem bermazhab dalam beragama; kedua, mengikuti akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang teologi; ketiga, mengikuti tasawufnya dalam ilmu akhlaq (kerohanian). Inilah Sunni mayoritas yang ada sejak abad-10 M hingga sekarang. Berbeda dengan Muhammadiyah yang merujuk langsung kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Karena itu, menurut Gus Ulil, jika ada orang Sunni dengan mudah mengkafirkan satu kelompok, sudah pasti mereka bukan Sunni mayortitas, sebagaimana termaktub dalam kitab Faishal al-Tafriqah, bahwa Sunni mayoritas selalu menahan mulut untuk tidak mencampuri imannya orang lain. Tidak mengherankan, sambung Gus Ulil, jika sebagian muslim senang berteman dengan orang non-muslim, karena toleransi antara sesama muslim susah ketimbang toleransi kepada umat lain. Dan permusuhan golongan dalam Islam lebih keras dari permusuhan orang Kristen misalnya.
Masih tentang kafir. Jelasnya, definisi kafir adalah, mereka tidak mempercayai apa yang dikatakan Kanjeng Nabi Saw dan ditegaskan dalam al-Qur’an (berbeda dengan menafisirkan al-Qur’an). Namun demikian, kata al-Ghazali, para kelompok atau golongan tidak boleh dianggap kafir jika mereka tetap dalam garis memahami teks dengan 5 koridor wujud (dzati, hissi, khayali, aqli dan syabahi).
Sebaliknya, kapan pun ada unsur (takdib) kebohongan-menganggap bohong Nabi Saw, maka wajib mengganggap kafir sekalipun dalam malah furu’ (cabang). Misalnya, tidak mempercayai kehidupan setelah kematian, atau mengatakan bahwa Neraka dan Surga tidak ada maka, perkataan orang seperti ini akan jatuh pada kekafiran.
Contoh lain misalnya, seseorang yang menisbahkan Siti Aisyah kepada perbuatan keji (al-fahisah) melalukan zina seperti pendapat salah Tokoh Syi’ah ekstrim dari Kuwait (sekarang tinggal di London) yaitu Yasir al-Habib yang menulis buku Aisyah. Ia menganggap Siti Aisyah telah berbuat zina, sementara wahyu al-Qur’an telah turun untuk memberikan penjelasan dan putusan kebebasan Siti Aisyah dari perbuatan keji, maka orang seperti ini wajib di kafirkan.
Gus Ulil juga menegaskan, kita jangan mudah mengkafirkan sesama muslim, karena tindakan takfir disamping menimbulkan permusuhan, juga sangat berbahaya, baik secara keagamaan, sosial dan politik. Tentu saja, sisi lain tindakan mentakfir tak bisa di hindarkan, ada orang-orang yang harus di kafirkan. Dalam hal ini, menurut al-Ghazali, kita tidak boleh mengkafirkan secara serampangan seperti, kecenderungan “tren” yang kita saksikan dalam 10 dan 20 tahun terakhir di Indonesia.
Lalu bagaimana makna kafir dalam al-Qur’an?
Faktanya, umat Islam pasti pernah mendengar kata kafir, karena kata ini adalah lazim diucapkan oleh satu kelompok kepada kelompok lain terutama dengan niat merendahkan (menyesatkan). Bagaimana sebenarnya kata kafir di konseptualisasikan di dalam al-Qur’an?
Kalau kita perhatikan secara semantik, kata kafir sering kali di artikan sebagai “penutup”. Itu sebabnya, al-Qur’an menyebut seorang petani al-kuffar (kafir), karena ia menutup benih dengan tanah. Dengan demikian kafir adalah suatu tindakan tutup-menutupi. Sama dengan orang tertutup hatinya, yang tidak bisa menangkap kebenaran, maka ia disebut orang kafir.
Alih-alih tertutupkan, jika kita perhatikan ayat-ayat lain, kafir merupakan antonim dari iman, yaitu orang yang mengingkari Allah Swt dan ayat-ayatnya. Tak hanya itu, kata kafir juga menunjuk pada orang tidak mensyukuri karunia nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. Al-Qur’an sudah menyatakan dengan tegas; “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim: 07).
Lebih dari itu, secara spesifik, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa orang yang berputus asa adalah kafir. Allah berfirman: “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah Swt. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87).
Termasuk bagian dari kategori kafir adalah mereka yang dhalim. Mereka yang melakukan penindasan, ketidakadilan dan membiarkan orang-orang miskin (mustad’afin) tetap berada dalam kemiskinan. Kedhaliman adalah perbuatan tidak terpuji yang dilarang langsung oleh Allah Swt. Berbuat dhalim memiliki makna berbuat tercela yang banyak ragamnya.
Ada puluhan sinonim dari kata dhalim dalam bahasa Indonesia. Dhalim bisa bermakna bengis, kasar, kejam, jahat, nakal, keji dan lainnya. Kata dhalim juga disebut dalam al-Qur’an sebanyak 289 kali. Ini membuktikan bahwa, dhalim bukan hal sepele dan tidak boleh diangap sepele. Sebagai umat Islam, kita harus mewaspadai, mencegah dan menjauhi perkataan, perilaku, dan tindakan yang dhalim karena akan mendatangkan mudharat dan dosa.
Cara kita menyikapi orang-orang kafir ini
Ayat al-Qur’an surah Al-Imran menyatakan: “Janganlah orang-orang beriman mangambil orang-orang kafir sebagai pemimpin yang akan mengendalikan mereka dengan meninggalkan orang-orang beriman.” (QS. Al-Imran: 28).
Itu artinya, jika kita mengartikan kafir dengan orang mudah berputus asa, maka tidak boleh mengangkat pemimpin yang pesimis, seorang pemimpin yang selalu mengirimkan pesan ke-putus asa-an ke tengah masyarakat. Begitu juga jika mengartikan kafir adalah orang-orang dhalim, maka orang beriman tidak boleh menjadikannya sebagai pemimpin.
Sudah mafhum, bahwa kata kafir tidak memonopoli satu individu secara terbatas, melainkan menunjuk pada makna yang sangat luas seperti, kepada orang berputus asa, dhalim, mengingkari ayat-ayat Allah Swt dan lainnya. Jika orang kafir diangkat menjadi pemimpin, maka akan merugikan kepada seluruhnya. Wallahu a’lam bisshawab.
)* Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, dan Kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.