Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur ini mengungkapkan bahwa fenomena intoleransi dan perundungan bagaikan gunung es. Pasalnya, kerap terjadi di kampung-kampung, berbagai daerah, sekolah, dan tempat pendidikan lainnya namun tidak terberitakan.
Menurut Gus Shodiq, hal itu disebabkan sering terjadinya kekeliruan dalam pemahaman agama. Selain itu, akhlak yang buruk juga menjadi penyebabnya sehingga kejadian itu masih terus berlangsung.
“Dunia maya juga menjadi penyebab tidak terduganya intoleransi. Selama dua tahun pandemi Covid-19 ini, semua siswa memegang HP hingga akhirnya mengalami shock budaya dan perubahan drastis yang mana mereka belum siap menghadapi fenomena di dunia maya,” tutur Wakil Rektor Universitas Islam Malang (Unisma) ini.
Menurut dia, sejauh ini di LP Ma’arif belum ada laporan perundungan dan kekerasan yang terjadi. Pemberitaan juga tidak ada. Tapi, bukan berarti itu tidak penting.
“Kita baru saja rapat kerja nasional dan membahas secara khusus perihal ini. Meskipun belum ada kasus yang muncul, tapi kita harus mengantisipasinya dengan cara membentuk satgas sekolah bermartabat. Satgas ini prinsipnya 3 hal yaitu haram terjadi intoleranisme, bullying, dan kekerasan baik seksual maupun verbal,” ungkapnya.
Gus Shodiq mengungkapkan bahwa intoleransi sering terjadi karena perbedaan suku, warna kulit, dan agama. Ini akan menjadi problem karena pemahaman tentang itu sangat kurang. Namun, alhamdulillah di LP Ma’arif NU sudah diajarkan sejak awal.
“Sering kali, satu kesalahan menutup sembilan kebenaran. Satu pesantren yang terjadi kasus kekerasan, orang menganggap kasus itu terjadi di seluruh pesantren. Sekolah Ma’arif sudah diwanti-wanti oleh muassis (pendiri) bahwa pendidikan di Ma’arif harus mengarahkan anak yang pintar dan benar. Jadi, anak tambah ilmunya, kuat ketrampilannya, tapi juga bagus akhlaknya,” terangnya.
Oleh karena itu, ketika diberi ilmu di pesantren dapat dipraktikkan langsung, sehingga sesuatu yang terasa berat akan menjadi ringan saat telah terbiasa. Ketika sudah menjadi kebiasaan, maka tidak enak jika ditinggalkan. (Ful)