Search

PWI Jatim Gelar Edukasi Jurnalisme Empati dalam Perspektif Gender

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim bersama LPPM Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya menghelat diskusi bertajuk ‘Pengabdian Masyarakat, Edukasi Jurnalisme Empati dalam Perspektif Gender, Jumat (9/9/2022) siang.

Dilansir dari suarajatimpos.com, diskusi yang dilaksanakan di aula PWI Jatim, Jalan Taman Apsari nomor 15 – 17 Surabaya ini dihadiri puluhan wartawan dari berbagai media di Jawa Timur.

Nampak hadir dua narasumber, yakni Ketua PWI Jatim, Lutfil Hakim, sedangkan dari akademisi, hadir dosen fakultas ilmu komunikasi Untag, Dr Merry Fridha Tri Palupi. Sementara itu, bertindak sebagai moderator, Wakil Ketua PWI Jatim, Machmud Suhermono.

Ketua PWI Jatim, Lutfil Hakim menyampaikan, dalam UU Pers No 40 tahun 1999 pasal 3, jelas disebutkan fungsi pers menghidupkan kehidupan publik, dalam berbagai hal seperti edukasi, informasi dan kontrol sosial.

“Bagaimana kita bisa mencerdaskan mereka (edukasi), kalau kita sendiri tidak paham. Ada juga fungsi kontrol, bagaima mungkin kita mau kontrol kalau tidak mengerti. Banyak sekali berita-berita yang sebenarnya bukan produk jurnalistik. Garis besarnya itu, seorang wartawan harus mempunyai ethic of right dan ethic of care,” ungkap Lutfil Hakim.

Baca Juga:  Misteri Polisi Tembak Polisi di Rumah Kadiv Propam Irjen Sambo

Menurutnya, seorang jurnalis seharusnya tidak hanya mempunyai ethic of right tetapi ethic of care. Dalam arti, bagaimana anda yang maskulin iniketika menyusun sebuah narasi berita tidak berhenti kepada aturan, tetapi lebih dalam berempati menjadi seorang perempuan meski anda tidak pernah melahirkan.

Sementara itu, dosen fakultas ilmu komunikasi Untag, Dr Merry Fridha Tri Palupi menjelaskan, yang menjadi dasar pelaksanaan diskusi ini adalah sudah lebih dari setengah abad, Majelis Umum PBB mengadopsi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

“Indonesia sendiri sudah meratifikasi konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan sejak tahun 1984. Kenyataannya, hingga saat ini berbagai bentuk tindakan diskriminatif terhadap perempuan secara kultural maupun secara struktural masih saja terjadi,” tutur Dr Merry.

Lebih lanjut, Dr Merry mengatakan, 338.496 kasus KBG terhadap perempuan dengan rincian, pengaduan ke Komnas Perempuan 3.838 kasus, lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus. Pengaduan ke Komnas Perempuan meningkat secara signifikan sebesar 80%, dari 2.134 kasus pada 2020 menjadi 3.838 kasus pada 2021.

Baca Juga:  Heboh Batal Nikah gegara Pengantian Pria Kabur

“Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan banyak dilakukan oleh kelompok yang seharusnya jadi pelindung, tauladan dan pihak yang dihormati sekitar 90% dari jumlah total pelaku. Dalam hal penanganan dan penyelesaian kasus hanya 15% dari total kasus yang diselesaikan,” bebernya.

Menurutnya, upaya penyelesaian secara hukum 12% dan non hukum 3%. Sedangkan 85% kasus tidak ada informasi penyelesaiannya. Jenis kekerasan yang banyak dialami korban, tertinggi adalah seksual dengan angka 6.551, diikuti fisik 5.302 dan yang ketiga adalah penelantaran dengan angka 1.716 kasus. 80% kasus kekerasan terhadap perempuan tidak berpihak pada korban di pengadilan

“Media harus berperan dalam menciptakan kesetaraan dan keadilan gender karena adanya hubungan yang tidak setara atau ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan, sehingga menyudutkan perempuan, itulah yang dikatakan Subono pada tahun 2003 lalu,” ungkapnya.

Baca Juga:  Tilap Duit Sang Ayah Rp150 Juta, Guru di Mojokerto Ngaku Dirampok

Tak hanya itu, Merry juga menerangkan beberapa potensi pelanggaran kode etik jurnalistik khususnya dalam perspektif gender, seperti pasal 2 dimana seorang wartawan harus menjunjung tinggi privasi dengan tidak mengumbar relasi personal, aktivitas seksual, hubungan keluarga, identitas anak serta aktifitas reproduksi.

“Sedangkan, di pasal 3 diharapakan seorang wartawan tidak menulis asumsi tentang identitas yang belum resmi dikonfirmasi, asumsi personal narasumber. Lain lagi dengan pasal 4, narasi berita yang ditulis diharap tidak cabul dan sadis, dalam arti menulis eksplisit kalimat erotis tentang aktivitas seksual korban, reka ulang pembunuhan, diksi-diksi yang menimbulkan stereotipe negatif,” rincinya.

Sering dijumpai, lanjut Merry, potensi pasal 5 juga sering dilanggar, dimana penulisan identitas lengkap korban kejahatan, foto-foto korban kejahatan, yang harusnya disamarkan dengan inisial atau sebutan lain.

“Sehingga diskiriminasi gender sering kali terjadi, dimana ruang ekspos korban perempuan yang lebih besar daripada laki-laki pelaku kejahatan, substansi pemberitaan yang menimbulkan streotipe negatif, tidak berspektif korban,” pungkasnya.

 

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA