Search

Al-Ghazali: Dosis Ilmu Yang Harus Kita Pelajari (3) Ilmu dan Ilmuwan

Majalahaula.id – Di dunia barat, ilmu dan ilmuwan adalah dua sisi yang berbeda dan tidak berkelindan, dimana etika ilmu dan etika ilmuwan bercerai. Misalnya, berguru kepada profesor suatu bidang ilmu, maka yang berlaku hanyalah etika ilmu, dan jika si profesor beretika buruk, maka ini tidak dianggap masalah.

Tentu ini berbeda dengan dunia Islam di mana etika ilmu dan etika ilmuwan berkelindan, tidak cerai. Pengetahuan dan kesalehannya berintegrasi. Karena itu, menurut al-Ghazali, ada beberapa etika yang harus di perhatikan bagi ilmuwan dalam menjadi ilmuwan, memandang ilmunya dan menggunakan ilmunya.

Etika pertama, ilmu adalah ibadah batin kita, shalatnya bahkan kurban batin. Karenanya, dalam beribadah batin melalui cara belajar ilmu pengetahuan atau menggunakan ilmu pengetahuan, maka diharapkan bersesuci atau wudhu dari kotoran-kotoran yang mengotori batin (membersihkan dari niat yang selain mencari ridha Allah SWT). Lebih dari itu, mencari tujuan-tujuan yang sepenuhnya duniawi semata harus di hindari walaupun tak dilarang, karena yang utama tetap mencari ridha Allah SWT.

Imam al-Ghazali mencontohkan batin manusia yang sepenuhnya pamrih mencari tujuan-tujuan duniawi serupa dengan anjing. Ciri-cirinya adalah agresivitas, suka menyerang orang-orang lain demi mencapai tujuan duniawinya. Lalu bagaimana dengan orang yang sukses jadi ilmuwan terkenal, tapi tak pernah wudhu batin? Jawaban al-Ghazali, itu kondisi yang tidak mungkin terjadi. Meski kelihatannya berilmu, tapi bukan benar-benar berilmu, karena ilmu membuat si ilmuwan makin jauh dari tujuan sejati ilmu. Dapat di katakana, ilmu seperti itu bisa menjadi racun yang mematikan.

Sejatinya kata al-Ghazali, pengetahuan adalah yang membuat kita menyadari kehadiran Allah SWT dalam diri kita (God consciousness), bukan membuat kita takut seperti takut pada hantu, tapi takut-tunduk pada kebesaran Allah SWT sehingga mengikuti jalan yang lurus.

Al-Ghazali sendiri menyukai dua jenis ilmu yaitu ilmu fiqih (ilmu tasawuf, ilmu kedokteran batin) dan ilmu kedokteran (ilmu kesehatan fisik). Meski al-Ghazali sendiri sering berdebat dengan para fuqaha (pada zamannya), karena baginya para penuntut ilmu dan penerapan ilmu fiqih dalam kehidupan sering membuat orangnya tergelincir karena tergoda oleh pamrih-pamrih duniawi. Di sini titik di kritik al-Ghazali adalah perilaku menyimpang para fuqaha yang mengejar pamrih duniawi, bukan ilmu fiqih itu sendiri.

Baca Juga:  Cetak Generasi Berakhlak, Didik Siswa ala Pesantren

Etika kedua, ketika belajar ilmu, maka dianjurkan bagi penuntut ilmu (bagi murid) untuk mengurangi interaksi (hubungan-hubungan) dengan duniawi atau hal-hal duniawi. Ini bertentangan dengan modernitas, dimana ada konsep “link dan match” karena dimaksudkan menuntut ilmu untuk mencari ridha Allah SWT, bukan untuk mencari jabatan atau kesuksesan duniawi semata.

Lebih dari itu, karena Allah SWT menciptakan hati dan batin kita hanya satu. Jadi tidak mungkin ada dua tujuan pada waktu bersamaan. Karena itu harus ada prioritas sehingga mencari ridha Allah SWT diutamakan.

Etika ketiga, tidak boleh bersikap sombong kepada suatu ilmu, orang yang berilmu (guru, master, suhu) dan tidak boleh merendahkan kepada guru. Al-kisah, Zaid ibn Tsabit, pada masa itu merupakan orang-orang berpengetahuan dan ulama, menyalati jenazah dan selesai shalat seekor keledai dituntun dan dihadirkan untuk jadi tunggangannya, lalu beliau naik dan Abdullah Ibn Abbas, keponakan Rasulullah SAW, bergegas menuntun keledai itu.

Akhirnya, Zait ibn Tsabit kaget dan meminta untuk dilepas, tidak perlu dituntun tapi Ibn Abbas berkata: “beginilah kami dicontohkan Rasulullah SAW cara untuk menghormati ulama (orang yang berpengetahuan) dan orang mulia.” Lalu segera Zaid ibn Tsabit turun dari keledainya dan mencium tangan (salim) kepada Abdullah Ibn Abbas yang dan penjelasan dari Zaid bin Habits “beginilah kami dicontohkan memperlakukan keluarga Rasulullah SAW.”

Etika keempat, orang yang sedang mencari ilmu di masa awal (junior), sebaiknya mendengarkan ajaran gurunya, hindari mendengarkan perdebatan dan dialektika dari mereka yang sudah senior atau ulama lain. Itu artinya, bagi pemula yang sedang mencari ilmu, maka carilah panutan dan saat sudah ketemu maka ikutilah. Jangan cari sana-sini tiada ada ketetapan, labil dan juga jangan cela panutan (ulama, guru, kiai) orang lain. Tidak setuju pada panutan orang lain tidak apa-apa, tapi jangan dicela apalagi diajak adu mulut untuk menang-kemenangan.

Syahdan, dalam dunia Islam antara ilmu dan akhlak itu berkelindan, saling berhubungan dan mendukung. Satu paket. Sedangkan di dunia modern, khususnya di barat antara ilmu dan akhlak tidak berkelindan atau bercerai. Karena itu, bagi ahlul Islam dalam mencari ilmu, menuntut ilmu, maka diperhatikan juga akhlak dari sang guru.

Baca Juga:  Syarat Dapat Tunjangan Profesi, Guru Harus Kantongi Sertifikasi

Pada masa sekarang ada sekularisme, yaitu kondisi di mana ilmu dan akhlak dari guru atau dari penuntut ilmu bisa bertolak belakang. Ilmu yang diajarkan baik, tapi yang mengajarkan berakhlak buruk. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, menuntut ilmu itu adalah ibadah batin bagi kita maka harus mensucikan diri. Dalam hal ini mensucikan anggota badan batin. Ini adalah sudut pandang tasawuf. Sama seperti wudhu untuk anggota badan fisik, maka ada wudhu untuk anggota badan batin (caranya dengan mensucikan diri dari pamrih-pamrih duniawi).

Dua macam ulama menurut al-Ghazali yaitu, good scholar (ulama akhirat) dan bad scholar (ulama su’ul). Ulama akhirat adalah ulama yang menuntut ilmu dengan wudhu batin, yaitu menuntut ilmu sebagai jalan menuju akhirat. Sementara ulama su’ul adalah ulama yang menuntut ilmu karena menginginkan pamrih-pamrih duniawi.

Sebuah hadits mengatakan: “Ilmu itu ada dua jenis yaitu pertama ilmu lisan (ilmu yang ada di lisan kita, seperti ceramah) yang ilmunya hanya sampai di lisan saja, tapi tidak sampai hatinya. Kelak di akhirat ilmu itu akan ditanyakan oleh Allah SWT kenapa tidak digunakan sebagai manfaat. Ilmu kedua adalah ilmu yang meresap ke batin (hati) dan inilah ilmu yang diterapkan untuk menuai manfaat (akhirat).”

Pada masa modern sekarang, dengan mudahnya akses internet dan Google, ilmu hanya sebagai kenikmatan pikiran saja dan tidak meresap sampai hati apalagi diamalkan agar bermanfaat. Buku-buku dan berbagai pengetahuan hadir dalam bentuk digital, tapi hanya stop sebagai kuliner atau tamasya ilmu.

Al-Ghazali mengatakan, jika seseorang tidak mampu mengamalkan ilmunya, maka akan terjadi kesenjangan dan tiada tahu kebahagiaan dan kenikmatan dari ilmu itu sendiri. Ilmu jadi sumber kesengsaraan batin. Pendek kata, orang bertambah ilmunya, tapi tidak bertambah amalnya akan semakin jauh dirinya dari jalan menuju Allah SWT.

Baca Juga:  Mahasiswa KKN UIN Walisongo Ajak Warga Kandri Semarang Manfaatkan Limbah Minyak Jelantah

Tak hanya itu, al-Ghazali juga mengatakan bahwa tanda-tanda ulama alim dan ulama akhirat (good scholar) diantaranya; pertama adalah ulama yang semata-mata tidak mencari ilmu karena pamrih duniawi. Terbalik dengan bad scholar (ulama su’ul). Termasuk juga ilmu-ilmu selain ilmu agama, dengan niat akhirat, maka akan berubah menjadi ilmu ukhrawi. Sebaliknya, ilmu agama jika diniatkan mencari pamrih duniawi, maka akan menjadi ilmu dunya saja.

Kedua, tindakan dan amalnya cocok, pengetahuan dan akhlaknya sejalan. Ini adalah cara pandang dunia Islam yang berbeda dengan dunia barat atau dunia modern. Di dunia pendidikan barat sekalipun guru atau profesor yang buruk ahklaknya tetapi ilmunya (kelasnya tetap dicar) digemari. Ini contoh ulama su’ul karena ilmu dan akhlaknya tidak sejalan.

Ketiga, orang yang mencari ilmu yang ada manfaatnya, terutama dengan tujuan dan manfaat akhirat. Berbeda dengan ulama su’ul, mereka mencari ilmu agar bisa menang dalam perdebatan (dimasa al-Ghazali). Meski perdebatan atau dialektika sendiri netral, tetapi jika digunakan untuk menang-kemenangan, agar terlihat lebih alim lebih intelektual dari yang lain, maka ini tujuan mencari ilmu yang salah. Misalnya juga buat nambah follower, like dan sejenisnya yang merupakan pamrih duniawi.

Di masa modern ada istilah “link dan match” antara lembaga pendidikan dan dunia kerja, di mana ada tujuan pamrih duniawi, orang-orang mencari ilmu atau gelar pendidikan agar siap memasuki dunia kerja. Ini tidak sepenuhnya buruk, tapi sebaiknya jangan berhenti semata-mata di pamrih duniawi.

Jelasnya disarankan belajar ilmu untuk mencari ridha Allah SWT yang utama, dan berikutnya agar bisa mencapai kenikmatan duniawi yang tetap berada di koridor ridha Allah SWT. Jadi mencari ilmu dengan niat mencari ridha Allah SWT dan juga menerapkan etika dalam menerapkan ilmu. Berilmu dan sikap berilmu yang dicontohkan sayyidina Umar ra adalah ciri kematangan berilmu. Salah satu cirinya adalah dalam memberikan pendapat dan penilaian atas suatu pertanyaan perkara dilakukannya dengan hati-hati dan tidak tergesa-gesa (tidak asal jawab). Wallahu a’lam bisshawab.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA