Majalahaula.id – Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini turut menyoroti pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat (Jabar) Uu Ruzhanul Ulum. Bahwa Uu menyebut poligami sebagai solusi untuk menekan angka penularan HIV/AIDS.
Kiai Moqsith menilai, pernyataan Uu tidak memiliki landasan. Karena hingga kini tidak ditemukan data yang menunjukkan bahwa poligami sebagai salah satu solusi untuk menekan kasus penularan HIV/AIDS.
“Tak ada data yang menunjukkan bahwa poligami ampuh menahan laju peningkatan HIV/AIDS,” katanya, Rabu (31/08/2022).
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU periode 2015-2021 juga menegaskan bahwa poligami bukan solusi penanganan HIV/AIDS, apalagi jika tidak memiliki ilmu mengenai kesehatan seksual reproduksi. Dalam pandangannya, setiap kalangan hendaknya berhati-hati saat menyampaikan komentar, apalagi sebagai pejabat publik.
“Alih-alih mengurangi HIV, bahkan jika pelaku poligami tetap menjalankan aktivitas seksual tidak sehat, maka yang bersangkutan bisa menularkan penyakit pada istri-istrinya termasuk menularkan HIV/AIDS,” tegas dosen UIN Syarif Hidayatullah ini.
Teranyar, Uu menyampaikan permintaan maaf terkait pernyataannya yang menyebutkan agar para suami melakukan poligami untuk menekan kasus HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga. Ia meminta maaf jika pernyataannya membuat publik gaduh.
“Saya, kalau memang ada hal yang disampaikan oleh saya, tidak sependapat dengan masyarakat banyak, ya saya permohonan maaf. Tentang statemen saya dalam sebuah wawancara seperti itu,” kata Uu di Bandung, Rabu (31/08/2022).
Di kesempatan yang hampir sama, dr Syifa Mustika mengatakan tidak ada bukti yang menyatakan poligami dapat menekan angka HIV/AIDS. Ia menilai hal itu justru akan menambah jumlah kasus.
“Secara medis anjuran poligami untuk mencegah HIV/AIDS jelas menyesatkan. Justru poligami malah berpotensi menambah jumlah kasus HIV/AIDS jika tidak disertai ilmu soal seksualitas,” ujar dokter dari Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama (PDNU) itu.
Diterangkannya, solusi untuk penanggulangan HIV/AIDS bisa dilakukan dengan aktif menyosialisasikan pendidikan kesehatan seksual reproduksi pada masyarakat.
“Pendidikan ini penting dikenalkan dari mulai remaja sekolah sampai kepada lingkaran sosial masyarakat, di posyandu-posyandu atau Puskesmas,” terang dia. (Ful)