Search

Sulitnya Berhijrah

Setiap peringatan Tahun Baru Hijriyyah, saya teringat sebuah hadis yang harus saya hafalkan ketika sekolah di SMP berbasis Islam pada tahun 1978. Hadis yang dimaksud adalah ”Al muhaajiru man haajara maa nahaa allaahu ’anhu”. Artinya, orang yang berhijrah adalah orang yang berpindah (menghindar) dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT kepadanya.

Hadis tersebut tampaknya simpel maknanya dan mudah menghafalkannya. Tapi, ketika harus mengamalkan dan menjabarkannya setiap hari, susahnya bukan main. Mengapa? Karena sabda Rasulullah SAW itu secara implisit mengajak umatnya agar menjadi umat Islam yang makin baik dari waktu ke waktu. Kalau kita sudah seperti itu, maka baru dapat disebut orang yang beruntung. Bila amal kita masih sama dengan hari yang kemarin, maka dikatakan orang yang merugi. Bahkan, kalau perbuatan kita lebih jelek dari hari ini, maka kita malah dikategorikan orang yang celaka. Na’uudzubillahi min dzaalik!

Ego dan proses

Konsekuensi pertama untuk mengamalkan hadis tersebut adalah kita dituntut untuk selalu menghitung amal perbuatan kita dari waktu ke waktu, baik dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, maupun hari ke hari. Itu berarti kita harus menghisab amal yang kita lakukan dengan penuh kejujuran. Kita harus meneraca amal tersebut dengan hati nurani yang jernih, tanpa rasa subjektif sedikit pun, agar hasil penilaiannya benar-benar murni dan mendekati hasil penilaian Allah SWT yang kelak akan kita terima di akhirat. Mungkinkah itu? Pasti sangat sulit, bukan?

Letak kesulitan untuk menghitung secara pribadi tersebut adalah timbulnya rasa ego yang lebih besar daripada rasa kejujuran terhadap diri sendiri. Secara individual, manusia memang lebih senang melebihkan dirinya sendiri daripada menerima penilaian yang miring. Ego manusia lebih suka dipuja daripada dicerca. Ego juga cenderung menuntut perhatian daripada cemoohan. Ego selalu menganggap diri sebagai jagoan, bukan pecundang. Ego selalu meminta dirinya dianggap sebagai pahlawan, bukan pengkhianat.

Akibat ego yang lebih lebih dikuasai hawa nafsu tersebut, maka penilaian yang dihasilkan pun penuh dengan penyelewengan, fatamorgana, dan euforia yang menyesatkan. Jadi, dipastikan hasilnya jauh melenceng dari penilaian yang diberikan oleh Allah SWT di yaumul hisab.

Baru menilai amal yang telah kita perbuat saja sulitnya bukan main, bukan? Kita sudah dituntut menjadi juri atau wasit yang baik terhadap diri sendiri. Kita dituntut untuk berbuat amal sendiri, kemudian menilainya sendiri. Amal itu dari diri sendiri untuk dinilai oleh diri sendiri pula. Mengapa demikian? Karena selain Allah SWT yang Mahatahu, hanya kita sendirilah yang bisa mengetahui secara pasti berapa nilai kuantitas maupun kualitas amal kita.

Orang lain mungkin mengetahui nilai kuantitatif perbuatan kita karena menghitung jumlah berapa kali kita melakukan suatu ibadah yang kasat mata itu memang mudah. Berapa kali kita salat dalam sehari, berapa kali kita melakukan ibadah haji, atau berapa kali kita datang ke masjid taklim itu mudah diukur kuantitasnya oleh orang lain. Tapi, segi batiniah atau kualitatif ibadah yang kita lakukan, hanya Allah SWT yang Mahatahu yang mengetahui secara pasti. Kita sendiri sebagai pelakunya juga bisa mengetahuinya walaupun dengan berbagai kekurangan seperti yang telah disebutkan di atas.

Belum lagi kita dituntut melaksanakan konsekuensi kedua, yaitu mengamalkan sebanyak mungkin ibadah dan amaliyah lainnya yang dituntun dan dituntut oleh ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pengamalan itu pun dituntut makin baik dari waktu ke waktu, baik secara kuantitatif maupun kualitatif di mata Allah SWT. Wah, makin sulit, bukan?

Letak kesulitannya disebabkan lagi-lagi oleh ego manusia itu sendiri. Ego menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Bahkan, kalau mungkin tanpa pengorbanan sama sekali. Ego maunya kita memperoleh pahala sebanyak mungkin tanpa harus berbuat sesuatu ibadah apapun. Maunya ego, apa yang diinginkan saat ini harus dipenuhi saat ini juga. Katakanlah kalau kita sering salat tahajud, maka akan memperoleh kedudukan yang tinggi. Ego ingin kedudukan yang tinggi itu langsung terpenuhi hari ini setelah tadi malam melaksanakan salat sunat yang selalu dikerjakan oleh Rasulullah Muhammad SAW itu. Jadi, ego kita inginnya sak dek sak nyek. Padahal, hasil itu baru kita peroleh setelah melalui proses.

Proses inilah yang saat ini sering kita lupakan. Dalam kata ”proses” itu, terkandung makna konsistensi (istiqomah) atau keajegan dan waktu yang relatif lama. Proses sangat jauh dan tidak identik dengan hal-hal yang serba instan, cepat, praktis, dan serba spontan. Contoh, kalau kita berdoa kepada Allah SWT, maka Dia lebih dulu menunjukkan rasa senang-Nya kepada kita. Tidak langsung mengabulkannya.

Baca Juga:  MENGHADAPI KENAKALAN ANAK

Dia juga akan lebih senang lagi jika kita terus bermunajat kepada-Nya. Makin sering kita memanjatkan doa, makin senang pula Allah SWT mendengarkannya. Dan kalau terus memohon kepada-Nya, maka itu berarti kita baru menjalankan proses terkabulkannya doa. Nah, pada suatu saat yang ditentukan oleh Dzat yang Maha Pengabul Doa sampailah kita pada terpenuhinya doa tersebut.

Jadi, jelaslah untuk beramal yang makin lama makin baik jauh lebih sulit daripada menilai amal kita sendiri. Semua itu butuh proses. Dan proses butuh kesabaran, keajegan, dan waktu yang lama. Maka, jangan bermimpi indah atau menganggap bahwa kita sudah bisa menjadi hamba yang lebih baik daripada hari ini. Lebih baik kita waspada dan hati-hati dalam setiap tingkah laku kita dari waktu ke waktu agar yang apa yang kita lakukan itu tetap berada dalam koridor aturan Ilahi.

Indonesia harus hijrah

Sekarang mari kita mencoba jujur menilai kehidupan kita sebagai bangsa. Ini sekedar untuk menjawab dengan jujur pula tentang sampai sejauh mana kita sebagai sudah mengejawantahkan ajaran hijrah dari hadis di atas.

Saya yakin sebagian besar dari kita sependapat bahwa bangsa kita masih jauh dari makna hijrah yang dikehendaki hadis Nabi Muhammad SAW tadi. Kita cenderung memberikan penilaian bahwa bangsa kita masih harus hijrah dan hijrah setiap saat. Mengapa? Karena kualitas kehidupan bangsa yang kita cintai bersama ini masih terseok-seok, bukan malah bertambah baik seperti yang dituntun dan dituntutkan hadis tersebut.

Bukti-bukti dengan mudah kita lihat dalam keseharian. Bencana demi bencana terus mendera bangsa kita. Mulai dari gempa bumi, tsunami, banjir bandang maupun yang nonbandang, tanah longsor, demam berdarah, flu burung, dan lain-lain. Semua bencana itu hadir terus-menerus bak cerita komik berjilid-jilid. Bencana demi bencana datang silih berganti seiring berjalannya waktu. Bala’ seolah tak bosan menghajar bangsa kita dari saat ke saat. Sungguh, kita dibuat kalang kabut dengan kehadiran malapetaka yang tidak diinginkan tersebut.

Semua itu pasti ada rahasianya. Ada apa di balik semua ini? Apakah ini ujian dari Allah SWT? Kalau kemungkinan pertama ini yang terjadi, maka kita tentu sangat bersyukur. Mengapa? Karena itu merupakan pertanda Allah SWT akan meningkatkan derajat bangsa kita di mata-Nya jika kita lulus dalam ujian itu. Kita gembira karena kita akan ”naik kelas” di ”sekolah” Allah SWT setelah sabar mengahadapi ujian-Nya yang berupa rentetan bencana tersebut. Kita pun akan tersenyum setelah menerima ”ijazah” tanda lulus dari Allah SWT dalam acara ”wisuda”-Nya.

Setelah itu, kita akan memperoleh limpahan rahmat dan karunia-Nya yang tanpa batas itu. Mungkin dalam bentuk alam yang makin tertata rapi dan subur kembali. Mungkin dalam wujud iklim yang selalu bersahabat dengan kehidupan kita di daerah tropis. Misalnya, musim hujan tanpa disertai angin kencang, badai, atau banjir. Begitu juga musim kemarau berlangsung dengan ramah tanpa menimbulkan kekeringan atau pun kebakaran hutan.

Dan masih banyak lagi ragam rahmat-Nya yang akan kita reguk setelah lulus menempuh ujian tersebut. Atau kita akan dikaruniai oleh Allah SWT berupa pemimpin yang adil, jujur, dan tegas sehingga mampu mengantarkan bangsa dan negara kita menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur. Alangkah nikmatnya bila bencana-bencana itu memang merupakan batu ujian Allah SWT bagi kita karena bila kita mampu melewatinya dengan ketawakalan dan kesabaran, pasti nikmat Allah SWT akan melimpah ruah di Negeri Loh Jinawi kita ini.

Kemungkinan kedua, yaitu semua bencana itu merupakan peringatan. Maka, kita semua harus segera introspeksi diri. Apa yang telah kita perbuat sehingga Allah SWT sedikit marah dengan memukulkan ”cambuk kecil”-Nya. Mungkin banyak dari kita yang mengaku diri sebagai umat Islam, namun belum menjalankan syariat Islam secara 100%. Istilahnya Islam kita masih belum kaaffah. Kita harus berani ”membelah” diri kita menjadi serpihan-serpihan kecil untuk kita teliti di mana letak bercak-bercak kita menurut kacamata Islam.

Kemudian, dengan kesadaran pula kita bersihkan noda-noda tersebut dengan amal dan ubudiyah yang bernuansa taubatan nashuuha. Insya Allah, Dia yang Maha Pengampun berkenan memberikan ”penghapus”-Nya untuk kita gunakan menghapus dosa-dosa dalam badan kita.

Yang harus sangat kita khawatirkan adalah jangan-jangan malah kemungkinan ketiga, yaitu bencana-bencana itu merupakan azab dari Allah SWT. Wah, kalau ini yang terjadi, maka harus ada langkah percepatan untuk bertobat kepada-Nya. Kita sebagai warga bangsa ini harus memohon dan terus memohon ampunan-Nya atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat.

Sekecil apapun yang telah diperbuat harus kita istighfari setiap hari. Dengan demikian, terciptalah gerakan tobat nasional yang dilakukan secara individu warga negara ini kepada Allah SWT. Syukur-syukur bila ada political will dari Pemerintah untuk mewajibkan dan mewujudkan tobat nasional itu secara nasional, di suatu tempat dan di suatu saat secara berjamaah, kemudian dilanjutkan dengan tobat harian secara pribadi.

Baca Juga:  ISNU dan CIC: Mau Apa?

Langkah tobat nasional itu rasanya sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kita memang harus mengakui dosa-dosa yang telah kita perbuat. Kemudian, kita pun harus menyesali dosa-dosa yang telah kita lakukan yang makin hari makin menumpuk, menggunung, bahkan sudah melimpah bak air bah di samudra lepas. Wujud penyesalan itu bisa kita tumpahkan dalam bentuk linangan air mata yang tulus di hadapan Allah SWT saat kita mengakui segala dosa tersebut pada qiyaam al lail, salat tahajud, atau salat tobat.

Langkah terakhir dari ritual taubatan nashuuha adalah berjanji sepenuh hati bahwa kita tidak akan mengulangi perbuatan dosa lagi. Kita berjanji untuk tidak terperosok ke dalam jurang nista yang sama untuk kedua, ketiga, keempat, atau pun kesekian kalinya lagi. Cukup sampai di sini saja laku kotor kita. Kita berjanji untuk tidak meneruskan aksi-aksi terkutuk yang membuat kita malah terpuruk.

Maka, kita jangan lagi melakukan illegal logging yang membabi buta itu. Alasannya sudah jelas penebangan hutan yang liar itu menyebabkan bencana hutan gundul, kekeringan, tanah longsor, dan banjir bandang yang hebat. Alasan yang kedua dan ini sangat penting adalah kita ini manusia. Cipataan Allah SWT yang paling sempurna. Kita bukan babi, apalagi babi buta. Maka, kita tidak layak lagi disebut manusia jika kita masih bertingkah seperti babi buta saat menebangi hutan. Ngawur pol !

Kita juga jangan mendukung, apalagi melakukan dan memperjuangkan pornografi dan pornoaksi di tanah Indonesia yang agamis ini. Itu bak mempertemukan anjing dan kucing. Pasti akan terus terjadi pertengkaran yang tak ada hentinya. Kedua laku bejat itu jelas-jelas bertentangan dengan pasal 282 juncto. pasal 532 KUHP. Itu menjadi pergunjingan hanya karena kemandulan aparat penegak hukum saja dalam memberantas tindak pidana perusak moral bangsa Indonesia itu.

Termasuk kegamangan penegak hukum menindak goyang Inul Cs dan lolosnya majalah Play Boy yang akan terbit Maret 2006 nanti. Padahal, sudah jelas itu menggerogoti pondasi moral bangsa kita yang Pancasilais. Apalagi, sebagian besar penduduknya beragama Islam yang diharamkan berbuat pameran aurat tersebut.

Untuk itu, DPR harus segera menuntaskan RUU Antipornografi dan Pornoaksi dengan menancapkan kuku kekuasaannya dalam membuat rumusan pasal-pasal yang tegas dan lugas dalam memberantas pornografi dan pornoaksi. Jangan sedikit pun diberi ruang penafsiran pasal untuk menindak tegas pelanggar dan pelaku pornografi dan pornoaksi. DPR jangan gamang, bahkan harus berani mati, untuk memperjuangan disahkannya UU sesegera mungkin.

Kita juga harus hijrah dari laku korupsi. Sebab, itu jelas merugikan keuangan negara dan makin memperbesar utang kita ke luar negeri. Itu berarti pula membangkrutkan perekonomian negara kita. Kalau negara sudah bangkrut, maka kita sebagai rakyatlah yang akan sengsara. Sumber daya alam dan manusia yang dimiliki Indonesia harus diserahkan ke negara lain untuk membayar hutang.

Bahkan, ada negara yang mewajibkan setiap warga negaranya yang memenuhi syarat untuk mendonorkan darahnya yang kemudian darah itu dijual oleh negara untuk membayar hutang. Na’uudzubillahi min dzaalik!

Kalau kita saat ini tidak korupsi, bersyukurlah kepada Allah SWT. Karena, itu berarti kita telah dihidayahi-Nya sehingga tidak terjerumus ke jurang korupsi la’natullah itu. Tapi, kita jangan lupa berdoa agar para koruptor itu insaf. Jika masih belum juga bertobat, maka kita sebagai rakyat yang dizalimi oleh ulah koruptor itu harus mengadukan mereka kepada keadilan Allah SWT.

Biarlah tangan-tangan-Nya yang Mahaadil itu yang menindak dengan penuh keadilan. Kita masih ingat bahwa doa orang yang dizalimi itu sangat maqbul di sisi Allah SWT. Dengan gerakan doa anti koruptor oleh rakyat yang terzalimi korupsi itu, insya Allah negeri kita yang sekarang dikenal korup ini menjadi negara yang bersih dari kejahatan white collar crime tersebut.

Hijrah dan psikologi

Pendek kata, kita dituntut untuk hijrah dan terus hijrah menuju keadaan yang lebih baik dan lebih baik lagi. Tidak ada kata ”henti” dalam berhijrah. Karena, kita dituntut untuk terus dinamis, bergerak, berkarya, beramal, dan ber-fastabiqul khairaat sepanjang hayat menuju perpindahan yang lebih baik. Jangan ada kata ”berhenti” dalam berbuat kebaikan demi kebaikan sepanjang zaman. Kita harus berpacu dengan waktu untuk hijrah menjadi menuju keadaan yang lebih mapan. Kita harus berteriak lantang, ”Aku tak kan berhenti!” demi menuju esensi hijrah sesuai dengan tuntunan dan tuntutan hadis Rasulullah SAW di atas.

Baca Juga:  Sajian Khusus: Ahl-Kitab dalam Islam (1): Sebagai Anggota Masyarakat

Di dalam hijrah, juga tidak ada kata ”sudah cukup”. Dua kata itu bila kita ucapkan berarti kita sudah merasa puas atas kebaikan telah kita lakukan saat ini. Itu berarti pula kita sudah merasa baik. Kita menjadi orang yang stagnan, mandeg, statis, dan diam dengan keadaan yang ada. Akibatnya, posisi kita tetap. Tak berubah sedikit pun. Diri kita yang sekarang sama dengan kita saat ini. Tidak menjadi lebih baik. Kalau demikian, maka rugi besarlah kita karena tidak ada peningkatan sama sekali seiring dengan makin berkurangnya jatah umur kita yang sudah dimodali oleh Allah SWT. Maka, jangan merasa sudah cukup dalam berbuat kebaikan. Hanya orang-orang yang sombong dan takabur yang mengucapkannya. Na’udzubillahi min dzaalik!

Kata ”hijrah” juga anti terhadap kemungkaran. Kata yang berarti ”berpindah” atau ”menghindar” dalam hadis di atas memang memerintahkan kita untuk hijrah dari hal yang dilarang oleh Allah SWT untuk kita. Maka, sudah jelas jika hijrah itu juga berarti anti terhadap hal-hal yang membuat diri berlumuran dosa. Jika kita menjumpai kemaksiatan di depan mata, maka tancapkan dalam-dalam di hati kita untuk menolak dan menghindarinya. Dengan langkah spontan ini, akan lebih memudahkan kita untuk hijrah dari kemaksiatan yang sudah di pelupuk mata tersebut. Kalau tidak, maka kita sendirilah yang akan ditelan oleh ganasnya kemaksiatan itu.

Berkaitan dengan hijrah versus kemungkaran itu, layak kita acungi jempol slogan-slogan yang bermunculan di masyarakat. Misalnya, Say No To Drugs, Say No To Free Sex, Freedom Yes Free Sex No, dan lain-lain yang intinya memasang harga mati untuk menolak kemaksiatan dalam bentuk penyalahgunaan obat dan kebebasan seks.

Terakhir, ”hijrah” juga berarti antimalas. Sebab, hijrah menutut perubahan dan perbaikan menuju hal yang lebih baik. Mana mungkin itu terjadi pada orang yang memiliki penyakit malas dalam jiwanya. Orang yang malas maunya hanya santai, rileks, dan tanpa melakukan sesuatu meski memiliki waktu yang cukup banyak.

Mari kita mencontoh orang Jepang. Di seluruh pelosok Negeri Sakura itu, pada tahun 1980-an, terpampang slogan dengan tulisan besar-besar yang isinya ”Musuh utama bangsa Jepang adalah malas.” Implementasinya, polisi Jepang juga tegas menindak setiap pelajar yang kedapatan di luar sekolah pada jam-jam sekolah. Mereka dan orang tuanya akan berurusan dengan pihak kepolisian karena anaknya terbukti malas belajar dengan membolos sekolah.

Begitu juga dengan para pekerja di Jepang. Mereka akan malu bila sampai di perusahaan terlambat walaupun satu menit. Mereka rela berangkat kerja pagi-pagi agar tidak terlambat sampai di perusahaannya. Jika mereka sampai terlambat, maka cap sebagai orang malas distigmakan kepadanya oleh rekan-rekan seperusahaannya. Itu belum termasuk sanksi yang akan diberikan oleh perusahaan. Berita tentang cap sebagai orang pemalas itu pun cepat menyebar di lingkungannya. Akibatnya, istri para pekerja yang dicap pemalas itu pun melakukan protes terhadap suaminya karena dia malu kepada para tetangganya yang sinis melihat sikap dan tingkah laku suaminya yang dicap pemalas.

Maka, jangan heran istri orang Jepang akan curiga jika suaminya pulang kerja lebih awal daripada biasanya. Bahkan, mereka tak segan-segan menelepon perusahaan tempat suaminya bekerja itu untuk memastikan kebenaran kepulangan suaminya yang dianggap tidak wajar tersebut. Maka, jangan heran pula jika Negeri Matahari terbit itu kini menjadi salah satu negara dengan julukan ”Macan Asia” karena perkembangan ekonomi dan industrinya yang sangat pesat.

Kita sebagai umat Islam tentu malu mengapa kita yang memiliki ajaran hijrah yang demikian berbobot, tapi justru orang non-Islam yang mengamalkan dan memetik buahnya. Oleh karena itu, sudah saatnya sekarang kita bernawaitu berhijrah sesuai tuntunan dan tuntutan Rasulullah SAW demi mencapai ridha Allah SWT. Kalau kita bisa melaksanakan esensi ajaran hijrah itu, maka kita umat Islam memiliki nilai plus di mata Allah SWT.

Disamping sudah berusaha mengamalkan esensi hijrah tadi, kita juga memperoleh poin tersendiri di sisi Allah SWT kelak. Sedang mereka yang kafir hanya sukses saja di dunia. Mereka tetap buntung di akhirat karena ibadahnya tidak bernilai sama sekali di hadapan Allah SWT akibat kemusyrikan dan kekafirannya. Di situlah nilai plus kita bila mampu mengamalkan esensi hijrah secara Islami.

Maka, tidak ada pilihan lain, kecuali kita harus berhijrah sebelum kita dihijrahkan ke alam kubur oleh Allah SWT. Nah, selamat berhijrah. Semoga kita semua berhasil menjadi muhaajiriin. Amin.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA