Search

MENJADI KEKASIH ALLAH DI FUJIKANG
Oleh: Moh. Al-Faiz Sa'di (Dai Internasional LD PBNU)

Majalahaula.id – Perjalanan dari Keelung ke Fujikang yang memakan waktu kurang lebih 1,5 jam terasa singkat. Mengasyikkan. Sepanjang perjalanan kami banyak disuguhi pemandangan pantai dan tempat-tempat wisata. Sempat berhenti tiga kali untuk sekedar mengabadikan momen, salah satunya di Lion Park, Manli, perbatasan Keelung dan New Taipei. Ada tugu yang berdiri tegak di pinggir jalan raya, dek kayu yang cukup tinggi sebagai spot foto, dan sunset yang terlihat hinggap di permukaan air laut yang menghampar. Perpaduan keindahan panorama alam yang cukup memuaskan pandangan. Mas Nanang membantu mengambilkan foto-foto saya. Demikian pula Mas Andre, mahasiswa S2 asal Padang. Kami bertiga menumpang mobil yang dikemudikan Ibu Anggun.

Kami tiba di Fujikang sekitar 15 menit sebelum masuk waktu Magrib. Beberapa orang ABK antusias menyambut kedatangan kami di pinggir pantai dengan banyak kapal-kapal bersandar. Saat turun dari mobil, cuaca dingin begitu menusuk. Beruntung saya masih mengenakan jaket dan dilapisi jas Dai Internasional sisa program tahun lalu. Tangan yang dingin juga lumayan teratasi oleh hand warmer. Sebelumnya, panitia dari PCINU Ranting Keelung menghadiahi saya beberapa barang yang cukup membantu mengatasi masalah kedinginan, seperti jaket bulu, kaos tebal, dan pasir penghangat tangan.

Setelah bersalaman dengan para penyambut, kami berjalan kaki menuju musala. Tampak dari jauh sebuah tenda terpal berwarna hijau dengan tiang-tiang besi yang berdiri tegak di pinggir pelabuhan. Setelah cukup dekat, barulah terlihat tulisan nama musala tersebut tepat di atas pintu: Thariqul Hidayah. Di sisi bagian luarnya terdapat drum plastik yang berisi air dengan satu kran untuk digunakan berwudu.

Baca Juga:  PPPK Solusi Masalah Guru, Apakah Malah Jadi Problem Baru?

Mereka menggelar karpet di luar musala. Air mineral, teh hangat dan bubur kacang hijau disajikan di atasnya. Kami duduk rapi mengelilinginya. Saling sapa dan mengobrol seadanya. Sebagian mereka yang dari tadi masih di tempat lain terus berdatangan memadati lokasi seiring semakin dekatnya waktu berbuka. Namun ada pula yang masih sibuk merapikan jejaring udang sambil diteriaki oleh bosnya.

Sehabis salat Magrib, sambil menunggu masuknya waktu Isya, saya sempat berbincang dengan beberapa orang, seperti Pak Jahuri selaku Ketua Pelabuhan, Pak Yanto sebagai pengajar di musala, dan Bu Anggun.
Menurut penuturan mereka, umur Musala Thariqul Hidayah ini baru satu tahun. Tepat menjelang Ramadan tahun lalu ia didirikan. Ibu Anggun membantu proses perizinan dan peminjaman tanah dari pihak Pemerintah Pelabuhan. Sedangkan pembangunannya atas kerjasama KDEI, PCINU dan LAZISNU. Rencananya, musala ini akan digeser ke sebuah gedung yang letaknya tidak terlalu jauh dari situ apabila pembangunannya sudah selesai. InsyaAllah.

PMI yang bekerja sebagai ABK di Fujikang ini berjumlah sekitar 140 orang. Ada yang masih bujang, berkeluarga, ataupun duda. Semua berasal dari Jawa, terutama Jawa Barat dan Jawa Tengah. Seluruh aktifitas harian mereka dilakukan di atas kapal, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Cuaca di sana ekstrem. Ketika musim dingin, pakaian tebal tidak cukup menghangatkan. Ketika tiba musim panas, kipas angin pun menghembuskan hawa panas. Durasi di tengah laut beragam, rata-rata 3-4 hari, karena kapal mereka hanya untuk daerah lokal saja. Berbeda dengan ABK kapal besar yang bisa berbulan-bulan di tengah lautan.
Keberadaan musala benar-benar menjadi secercah cahaya bagi mereka. Setidaknya, setiapkali sandar ke darat, musala menjadi jujukan baru mereka, baik untuk beribadah ataupun sekedar melepas lelah.

Baca Juga:  Idul Fitri Bukanlah Hari Kemenangan

“Sebelum didirikan musala, ketika sedang ke darat, mereka menempati pinggiran pelabuhan sambil bermabuk-mabukan. Pada saat itu, seringkali terjadi kecelakaan kerja akibat kesadaran belum sepenuhnya pulih sehabis menenggak miras. Namun, sejak adanya musala, alhamdulillah, kejadian tersebut menjadi jauh berkurang.” Ujar Ibu Anggun.

Hal lain yang juga mengesankan dari musala sederhana ini, saya mendapati di dalamnya rak buku yang berisi sejumlah buku Iqro’, selain mushaf Alquran tentunya. Rupaya banyak ABK yang semangat belajar mengaji Alquran. Pak Yanto lah yang selama ini telaten mengajari mereka.

“Mereka merasa malu untuk belajar mengaji Alquran saat di Indonesia, karena faktor usia. Namun, di sini, bersama sesama perantau mereka justru menjadi semangat untuk belajar. Saling menginspirasi dan memotivasi.” Ungkap Pak Yanto.

Di sela-sela buka puasa bersama, seorang jamaah menanyakan masalah yang kerap mereka alami. Mereka menyangka bahwa merokok, makan atau minum kopi dapat membatalkan wudu. Oleh karenanya, setiapkali selesai merokok ataupun makan dan minum mereka harus berwudu lagi untuk dapat melaksanakan salat. Rupanya pemahaman yang nyatanya menimbulkan kerepotan itu mereka dapatkan dari hasil nguping tidak tuntas di Youtube. Menanggapi itu, saya mencoba mengetengahkan perspektif fikih mengenai makanan yang dimasak oleh api (ma massathu an-nar) dan hubungannya dengan wudu, termasuk soal riwayat yang mengalami nasakh, yang pada kesimpulannya tidak membatalkan wudu.

Baca Juga:  LKKNU Pantau Program Konseling Keluarga Sakinah di Surabaya

Dalam sesi tanya-jawab pada kajian bakda Tarawih, para jemaah juga tidak segan-segan mengutarakan pertanyaan-pertanyaannya. Antara lain mengenai orang bertindik yang ditunjuk sebagai imam, ragu soal jumlah rakaat di tengah-tengah salat, puasa orang yang muntah akibat ombak laut, memakan makanan pemberian majikan non muslim dan yang dijadikan sebagai persembahan untuk dewa, bahkan ada yang terus terang menanyakan, “bagaimana jika setelah saya mabuk miras lalu ingin salat ke musala, bolehkah?”

Ala kulli hal, saya melihat ketulusan dan kesungguhan belajar pada mereka. Saya datang mengunjungi mereka, bukan mengajari mereka. Sungguh, justru saya yang banyak belajar dari mereka. Betapa kurang bersyukurnya saya selama ini. Di antara kami yang seringkali lupa bersujud dalam keleluasaan dan kemampuan, ada saudara-saudara kita di sana yang penuh perjuangan untuk bisa bersujud dengan segala kelemahan dan keterbatasan. “Potensi para jenengan untuk jadi wali itu lebih besar daripada saya. Mari kita gunakan potensi ini sebaik-baiknya agar dicintai oleh Allah Swt.” Motivasi saya pada mereka.

Pintu rahmat dan hidayah terbuka lebar-lebar di hadapan mata-mata binar. Kami pamit pulang dengan mahabbah dan ukhuwah yang begitu ber- atsar.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA