Search

Santri Pondok itu Dikukuhkan Jadi, Guru Besar Ke-32 UIN Walisongo

SEMARANG – Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Prof Dr Imam Taufiq MAg memuji Guru Besar Ke-32 Bidang Ilmu Filsafat Islam sebagai tokoh yang matang dalam bidang keilmuan didukung cukup lama menjadi santri pondok pesantren.

‘’Prof Ilyas, menurut saya, merupakan Guru Besar Filsafat Islam yang matang. Kematangan ini tergambar dalam rekam jejak akademik beliau. Ketika S1, dengan gelora mudanya, Ilyas Supena muda mengangkat tema skripsi Spirit Pembebasan yakni tasawuf sebagai pembebasan dalam pemikiran Seyyed Hossein Nasr. Apalagi Prof Ilyas pernah mondok yang cukup lama,’’ katanya.

Dia mengatakan hal itu dalam pidato Rapat Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat Islam UIN Walisongo, di auditorium 2 kampus 3 Jalan Prof Hamka, Ngalian, Semarang, Senin (25/7).

Dalam daftar riwayat hidup yang dibacakan oleh Wakil Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Mudhofi. Prof Dr Ilyas Supena pernah menjadi santri Pondok Pesantren Al-Ishlah,Rawamerta Karawang, Pondok Pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen Demak dan Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta.

Baca Juga:  Puasa Ramadlan di Pakistan, Mahasiswa Indonesia Ini Bagikan Banyak Keunikan

Ilyas Supena pada kesempatan itu menyampaikan pidato berjudul ‘’Redesain Ilmu-Ilmu Keislaman Masa Depan Berbasis Ratio Legis Al-Quran’’.

Para hadirin yang memadati auditorium UIN berdecak kagum saat mengetahui lima anas Prof Ilyas hafidz Qur’an. Mereka adalah Naela Nabila (lulusan Kebidanan Poltekes Semarang Reza Naquib Faishal (al-hafidh), Thoriq Nadhif Husein (al-hafidh), Muhammad Fazril Hadziq (al-hafidh) dan Shilla Arshamalika (al-hafidhah). Menurut Rektor UIN, sejak dilantik sebagai Dekan

Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) pada tahun 2019, Ilyas Supena secara aktif dan progresif merancang dan mewujudkan berbagai program yang akseleratif dan menunjang pencapaian rekognisi di UIN Walisongo. Bahkan di luar kesibukan beliau dalam ranah nonakademis, beliau tetap fokus dan konsisten dalam melahirkan karya-karya yang bermakna secara akademis.

‘’ Karya Prof Ilyas memiliki impact factor yang baik. Hal ini bisa kita lihat dari sitasinya yang mencapai 572 kali, berdasarkan Google Scholar per tanggal 25 Juli 2022. Berbagai output akademik tersebut menjadi representasi atas kepakaran dan produktivitas Prof

Baca Juga:  Kemenag Tetapkan Label Halal Baru

Ilyas sebagai seorang akademisi. Ketertarikan Prof Ilyas akan bidang kajian ilmu filsafat Islam telah menstimulasi beliau untuk memberikan pemikiran kontributif pada saat perumusan paradigma keilmuan yang melandasi cikal bakal pengembangan UIN Walisongo Semarang,’’ kata Imam Taufiq.

Dalam pidatonya, Prof Ilyas mengatakan, terjadinya disintegrasi antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu umum (sains modern) karena perseteruan yang tidak kunjung selesai dalam mencari titik temu antara nalar dan wahyu.

‘’Problem relasi nalar dan wahyu ini selalu menjadi polemik hingga saat ini yang mengakibatkan munculnya perbedaan umat Islam dalam merespons fenomena sosial, seperti contoh sederhana dalam menyikapi protokol Covid-19, vaksin dan lain-lain. Saya ingin fokus pada kritik terhadap konstruksi ilmu-ilmu keislaman tradisional,’’ katanya.

Baca Juga:  Pesantren Al-Baitul Atiiq, Pondok Pesantren Tertua di Ketapang

Menurut Ilyas, Islam secara epistemologi mengakui peran rasio, indra, ilham dan wahyu sebagai sumber pengetahuan, namun secara historis-empiris hubungan sumber-sumber pengetahuan itu dalam sejarah pemikiran Islam tidak berjalan harmonis.

Sebagai contoh, hukum lebih mengutamakan aspek formal-eksoterik- tekstual-harfiyyah, sehingga aspek rasio dan intuisi tersingkirkan. Tasawuf lebih mengutamakan aspek esoterik-intuitif-bâthiniyyah, sehingga aspek rasio dan indera dimarginalkan.

Sementara itu, teologi lebih mengutamakan penalaran rasional, sehingga aspek intuisi dan bahkan wahyu itu sendiri dipertentangkan dengan rasio. Ketidakharmonisan ini semakin diperparah dengan munculnya dikotomi ilmu-ilmu rasional (al-‘ulûm al-‘aqliyyah) dan ilmu-ilmu agama (al-‘ulûm al-dîniyyah) dalam sejarah pemikiran Islam. Fazlur Rahman dalam buku Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition menyebutnya sebagai kesenjangan antara Islam normatif (normative Islam) dan Islam historis (historical Islam).

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA