Search

Mahathir Mohammad: Singapura dan Kepri Seharusnya Milik Malaysia

Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. (Foto: RRI)

Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad menyampaikan pernyataan kontroversial saat berbicara di sebuah acara di Selangor yang digelar sejumlah organisasi nonpemerintahan. Acara dimaksud yakni Kongres Survival Melayu, Ahad akhir pekan lalu. Dia menyebut bahwa Tanah Melayu dahulu sangat luas. Dia merujuk Tanah Melayu pada Malaysia kini.

Tanah Melayu terbentang dari Tanah Genting Kra di selatan Thailand hingga ke Kepulauan Riau dan Singapura. Tapi kini hanya terbatas di Semenanjung Malaya. Karena itu dia mengklaim bahwa Negeri Jiran seharusnya mengklaim pulau Pedra Branca di Singapura dan Kepulauan Riau di Indonesia sebagai bagian dari wilayah mereka.

“Kita harusnya tak hanya meminta Pedra Branca dikembalikan, atau Pulau Batu Puteh, kita juga harus meminta Singapura pun Kepulauan Riau, mengingat mereka adalah bagian dari Tanah Melayu [Malaysia],” kata Mahathir dikutip dari Republika.co.id, Selasa (21/06/2022).

Baca Juga:  Layani Jamaah Haji, Petugas Sektor Khusus Masjidil Haram Siaga 24 Jam di Sembilan Posko

Mahathir menegaskan bahwa negara Singapura sebelumnya merupakan bagian dari Johor. Ia mengatakan bahwa Johor seharusnya mengklaim Singapura sebagai wilayah mereka. “Bagaimanapun, tidak ada tuntutan apa pun ke Singapura. Sebaliknya kami menunjukkan apresiasi kami kepada kepemimpinan negara baru bernama Singapura ini,” ujarnya.

Tahun 2002, ICJ memang memutuskan wilayah Sipadan dan Ligitan merupakan bagian dari Malaysia, bukan Indonesia. Pada 2008, ICJ memutuskan Pedra Branca sebagai bagian dari Singapura, sementara wilayah Middle Rocks menjadi milik Malaysia.

Pemerintah Malaysia sempat mengajukan banding atas putusan ini pada 2017 lalu, tetapi memutuskan untuk tidak menindaklanjuti masalah itu pada 2018, saat Mahathir kembali menjabat sebagai perdana menteri.

Diberitakan CNNIndonesia.com, Selasa (21/06/2022), kika menilik sejarah, kehadiran Malaysia bermula saat zaman Kesultanan Melayu Malaka sekitar 1400 Masehi. Di era kejayaanya, kesultanan ini meliputi sebagian besar Semenanjung dan Pantai Timur Sumatra, demikian dikutip Malaysia Gov.

Baca Juga:  Nyai Heni Maryam istri KH Maimoen Zubair Berpulang

Kesultanan ini juga terletak di posisi yang strategis antara Asia Timur dengan Asia Barat. Posisi tersebut dianggap menguntungkan, sebab kesultanan menjadi pusat perdagangan utama khususnya perdagangan rempah di Asia Tenggara.

Pada 1511, Malaka jatuh ke tangan Portugis dan di tahun ini lah catatan kolonialisme di Tanah Melayu dimulai. Setahun setelahnya, Belanda menyusul menjajah mereka. Kemudian pada 1786, Inggris mendirikan koloni di Semenanjung Malaya.

Mereka membangun pangkalan militer di Kuching, Penang dan Singapura sehingga mereka bisa menguasai wilayah yang disebut Malaysia. Selama berabad-abad Inggris menguasai Tanah Melayu, invasi Jepang berhasil menggeser posisi mereka pada 1941. Jepang menyerah setelah Amerika Serikat membombardir Hiroshima dan Nagasaki.

Baca Juga:  Persamaan dan Perbedaan Kiai Imron Hamzah dan Kiai Hasyim Latief

Kepulangan tentara Jepang memberi ruang Partai Komunis Malaysia (PKM) untuk menguasai Tanah Melayu. Namun, pada 1948, Raja Inggris, Edward Gent, mengisyaratkan darurat di seluruh Tanah Melayu karena perlawanan mereka. Kerajaan Britania mendeklarasikan pemerintahan darurat selama 12 tahun, mulai dari 1948 hingga 1960.

Pada 1952, Abdul Rahman Putra Al Haj membentuk Partai Perikatan dan mengobarkan semangat penduduk Melayu. Hal ini, membuat Inggris sadar warga Tanah melayu bisa menentukan nasibnya sendiri. Perpaduan antara tiga kelompok utama di Tanah melayu yakni Melayu, China dan India menghasilkan Perjanjian London pada 8 Februari 1956. Perjanjian ini memberi tanda bahwa Persekutuan Tanah melayu akan merdeka pada 31 Agustus 1957.

NF

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA