Ketika pendiri dan pengasuh pondok telah wafat, para penerusnya dihadapkan pada ujian masa transisi. Syukurlah, para pengurus Ponpes Al-Fithrah berhasil melewati ujian itu dan pondok salaf ini di Kota Pahlawan ini terus berkembang. Kepercayaan masyarakat senantiasa meningkat, jumlah santrinya makin bertambah, fasilitas pendidikannya makin berkembang, dan jumlah pondok pesantren cabang di berbagai daerah juga terus bermunculan.
“Saat ini total ada 3259 santri. Sedangkan pondok cabangnya ada enam dan sebentar lagi akan bertambah menjadi sembilan. Mengapa dari tahun ke tahun jumlah santri terus meningkat? Ya faktor pertamanya memang haibah atau kharisma Almaghfurlah Hadratussyaikh Kiai Asrori. Kemudian adanya tuntunan ubudiyah yang menjadi ruh pendidikan dan khas thariqah serta sistem pengelolaan pesantren yang sudah jalan. Mungkin ini yang menarik bagi para wali santri,” kata Kepala Ponpes Al-Fithrah H. Muhammad Musyafa’.
Di antara wujud perkembangan yang cukup kentara adalah bertambahnya luas lahan dan bangunan pondok pesantren. Saat ini total luas lahan Ponpes Al-Fithrah adalah sekitar dua hektar dengan sejumlah gedung berlantai empat dan masjid sebagai pusat kegiatannya. Semua ini dilakukan demi memberikan pelayanan terbaik kepada para santri yang terus bertambah, baik putra maupun putri.
“Di satu sisi kami kan tidak boleh menolak santri, tapi di sisi lain fasilitasnya terbatas. Jadi mau tidak mau harus kami siapkan. Untuk siswa madrasah ibtidaiyah kelas 1, misalnya, sekarang ini sampai lima kelas. Artinya lima tahun ke depan butuh lima kelas kali enam tingkat. Nah, awalnya lahan-lahan itu milik warga kemudian dilakukan pembebasan. Yang menarik dari cara almaghfurlah melakukan pembebasan adalah menawari warga tempat tinggal baru. Nanti ada pesangon dan sebagainya. Jadi masyarakat malah senang,” tutur pria yang akrab disapa Ustadz Musyafa’ ini.
Menurut Ustadz Musyafa’, keberhasilan melewati masa transisi juga tak lepas dari kecakapan Kiai Asrori membangun sistem. Empat tahun sebelum wafat, Mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah tersebut sudah membangun sistem terkait dengan thariqah, jamaah (Al-Khidmah), pesantren, yayasan dan pemangku keluarga. Masing-masing sudah ada penanggung jawabnya sehingga ketika Kiai Asrori wafat, semuanya bisa berjalan dengan baik.
“Lima pilar tersebut adalah representasi perjuangan beliau selama ini. Beliau memposisikan semuanya sebagai amanat Allah yang tidak diwariskan, tapi harus dijaga. Dan sejak 2005, beliau menata semuanya menjadi satu-kesatuan sistem sehingga ukuran kebaikannya adalah jalan dan tidaknya sistem itu, bukan ketergantungan pada kharisma beliau,” tambah alumnus Ponpes Lirboyo, Kediri ini.
Sejak awal, pondok pesantren yang dirintis Kiai Asrori ini memang menekankan pada aspek pengamalan nilai-nilai tasawuf. Bermula dari kediaman Kiai Asrori pada 1985, Kiai Asrori hanya ditemani beberapa santri dari Pondok Pesantren Darul Ubudiyah Jatipurwo Surabaya asuhan KH Muhammad Utsman al-Ishaqy. Kemudian pada 1990 datanglah sejumlah santri lain mengikuti kegiatan ubudiyah dan mengaji di mushalla.
Dy