Acara Haul ke-36 dan Akhirussanah Pesantren Al-Iman Bulus, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo dimanfaatkan sebagian alumni untuk pertemuan kecil reuni bersama angkatan pada Selasa (22/3).
Salah satu alumni tahun 2016 sekarang melanjutkan mondok di Lirboyo, Kediri M Khaizun Tafdlila menyampaikan, momentum pertemuan pada event haflah akhirussanah serasa reuni. Seperti mengumpulkan kekeluargaan kembali kenangan bersama jaman dahulu.
“Semoga silaturahmi seperti ini bisa terjaga, sehingga rasa kekeluargaan masih terjalin dengan baik,” ujarnya.
Khaizun menambahkan, Haul ke-36 ini merupakan acara istimewa di kalangan alumni karena pada 2 tahun kemarin tidak bisa diselenggarakan seperti biasanya karena adanya pandemi yang melanda Indonesia.
“Jadi ini adalah suasana yang memang telah dinanti-nanti alumni,” terangnya.
Alumni yang sekarang sudah bekerja Abdul Aziz menyampaikan, reuni seperti ini tidak sama dengan sekolah formal pada umumnya. “Reuni kali ini bukan sekadar pertemuan seperti anak sekolah formal pada umumnya akan tetapi dalam jangka waktu kurang lebih 6 tahun hidup bersama satu almamater membuat pertemuan lebih berkesan,” jelasnya.
Dikatakan, moment seperti ini membuat rasa khidmah kepada kiai dan guru-guru di masa lalu semakin meningkat. “Begitu juga rasa kangen dan kenangan bersama saat di pesantren,” pungkasnya.
Diketahui, Pesantren Al-Iman Bulus Gebang Purworejo merupakan pondok tertua di Purworejo. Alumni yang lulus sudah banyak bergelut di mana-mana. Ada yang melanjutkan mondok, kuliah, dan kerja.
Momentum haul ke-36 sekaligus akhirussanah membuat pertemuan tahunan alumni kali ini lebih istimewa. Karena biasanya di bulan Syawal alumni showan bareng ke guru-guru sepuh Pesantren Al-Iman Bulus.
Kilas Sejarah
Ponpes yang kini diasuh oleh KH Hasan Agil Ba’abud ini memiliki sejarah panjang. Wahid menuturkan, berdasarkan piagam pendirian, Ponpes ini didirikan pada tahun 1828 oleh Mbah Ahmad Ngalim seorang ghuroba’ atau pengembara yang konon termasuk murid Sunan Gresik.
Mbah Ahmad Ngalim datang ke wilayah yang kemudian disebut Desa Bulus ini karena dibuang oleh penjajah Belanda. Ketika itu, beliau membuka wilayah tersebut yang masih berupa hutan kemudian membangun masjid, pesantren, dan sumber air.
Setelah Mbah Ahmad Ngalim wafat pada tahun 1842, para murid banyak yang kembali ke daerah asalnya masing-masing, sedangkan putera-puteranya mendirikan pesantren sendiri antara lain di Maron. Oleh karena itu, pesantren sempat mengalami kekosongan selama sekitar tiga tahun.
Kemudian, pesantren dihidupkan kembali oleh Sayyid Ali, salah satu menantu Mbah Ahmad Ngalim, yang diberi amanah tanah pesantren. Setelah Sayyid Ali wafat, kepemimpinan pesantren kemudian dilanjutkan putranya, Sayyid Muhammad, dan selanjutnya diteruskan kepada putranya, Sayyid Dahlan.
“Waktu Sayyid Dahlan memimpin, pondok ini namanya Al Islamiyah, mengajarkan sistem menulis Arab di papan tulis yang waktu itu masih jadi perdebatan karena masih menjadi hal baru waktu itu,” tutur Wahid Anwar didampingi salah satu pengurus ponpes, Ahmad Fauha Fawaqih.
Kemudian, pada tahun 1955 pesantren di Bulus dihidupkan lagi oleh Sayyid Agil (ayah KH Hasan Agil Ba’abud), putra bungsu dari Sayyid Muhammad atau adik dari Sayyid Dahlan yang pindah ke Kauman. Oleh Sayyid Agil, nama pondok pesantren kemudian diubah menjadi Al Iman.