Secara geografis, pondok pesantren putra-putri Assalafie terletak di Desa Babakan, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Didirikan pada tahun 1966 M / 1386 H oleh Almaghfurlah KH Syaerozie (1935 – 2000 M) bin KH. Abdurrohim bin KH. Junaid bin Kiai Nursaman, yang nasabnya tersambung hingga Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Keberadaan pesantren Assalafie merupakan pengembangan dari lembaga pendidikan agama Islam di Desa Babakan Ciwaringin yang telah ada semenjak kurang lebih 300 tahun silam, yang merupakan lembaga pendidikan Islam tertua dan terbesar di Jawa Barat, yang didirikan oleh Raden KH Hasanuddin (Kiai Jatira). Tahun pelajaran 2015, santri yang mukim di pondok pesantren Assalafie berjumlah 1.200 orang, dengan perincian 700 santri putra dan 500 santri putri.
Dalam visinya, Pondok Pesantren Assalafie bertekad memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang pendidikan, ikut berpartisipasi mencetak sumber daya manusia yang kompeten, serta menciptakan kader-kader muslim yang berilmu, beriman, bertaqwa dan berakhlaqul karimah, sehingga mampu menampilkan dirinya sebagai figur khairul ummah (teladan masyarakat).
“Pendidikan berkarakter berbasis religi menjadi ciri khas pesantren kami, agar tercipta generasi muslim Indonesia yang peduli terhadap agama dan bangsanya” jelas Abah Hammam, panggilan akrab KH. Azka Hammam Syaerozi, Lc, sebagai pengasuh pesantren.
Menjaga Tradisi, Menumbuhkan Inovasi Keistimewaan lain dari pondok pesantren putra-putri Assalafie Babakan Ciwaringin adalah mampu mengkombinasikan sistem pendidikan salaf (trandisional) dan kholaf (modern) dalam satu waktu. Hal ini tentunya mengacu pada kaidah “Al-muhafadzotu ‘ala as-salafis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah” (menjaga tradisi lama yang baik, dan mengadopsi dengan tradisi baru yang lebih baik). Para santri putra-putri Assalafie bisa dipetakan ke dalam dua katagori.
Pertama, santri yang hanya mengaji dan belajar di madrasah diniyah kurikulum lokal, yaitu Madrasah Al Hikamus Salafiyah (MHS) dan Madrasah Al Hikamus Salafiyah Putri (MHSP) yang memiliki jenjang pendidikan dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Ma’had Aly. “Mereka adalah santri takhosus putra dan putri, hanya mengkaji kitab kuning, namun dibekali juga dengan life skill atau keterampilan”. lanjut Abah Hammam.
Kedua, para santri yang mengikuti sekolah formal, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Di Assalafie sendiri, telah disediakan sekolah berkurikulum Kementerian Agama RI, yaitu Madrasah Tsanawiyah NU Assalafie (MTs NUSA) dan Madrasah Aliyah NU Assalafie (MA NUSA). Kedua lembaga ini diperuntukkan untuk para orang tua yang anaknya ingin disekolahkan pendidikan model “satu atap”. Di samping itu, telah disediakan fakultas Agama Islam jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) dan jurusan Ilmu Filsafat, cabang Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Cirebon.
Terkait dunia jurnalistik, para santri mengembangkan potensinya melalui majalah Salafuna yang terbit per triwulan, website resmi pesantren Assalafie, dan jejaring sosial. Di samping itu, terdapat juga buletin-buletin berkala yang diterbitkan oleh sekolah dan perguruan tinggi di lingkungan pesantren Babakan Ciwaringin.
Sedangkan pengembangan seni Islami, disalurkan melalui grup nasyid Basmatussalaf, yang telah melakukan beberapa kali rekaman studio dan pergi tampil ke berbagai kota. Melalui kursus qiro’ah, shalawat dan kaligrafi setiap pagi hari Jum’at, dan melalui kegiatan seni bela diri Taekwondo. Di antara kontribusi di bidang pemberdayaan masyarakat, pesantren Assalafie mempunyai Lembaga Amil Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf (LAZISWA) Qinthorul Barokah. Lembaga ini bergerak di bidang pengumpulan dan pendistribusian ke para mustahiq.